Kamis, 04 September 2014

Pembebasan Bersyarat Hartati Murdaya Mencederai Semangat Pemberantasan Korupi Indonesia

Hartati Murdaya
Hukuman penjara terpidana Siti Hartati Murdaya seharusnya berakhir pada Mei 2015. Namun baru-baru ini ia memperoleh pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, mengatakan bahwa meski kini bebas berkeliaran di luar sel tahanan, Hartati tetap berkewajiban untuk memenuhi beberapa persyaratan.

"Seseorang yang berstatus bebas bersyarat itu berkewajiban melapor, mengikuti pembinaan, dan dia tidak boleh meninggalkan Indonesia selama jangka waktu yang ditentukan," jelas Amir.

Menurut Amir, Hartati mendapatkan tambahan ekspirasi di dalam masa percobaan satu tahun. Artinya, di luar masa hukuman penjara selama setahun Hartati dilarang ke luar negeri, kecuali melaksanakan ibadah atau alasan kesehatan. Meskipun demikian, Amir menambahkan bahwa alasan kesehatan hampir tidak pernah diberikan. "Jadi, pembebasan bersyarat itu bukannya bebas, namun dia masih dalam masa percobaan (selama satu tahun)," ujarnya.

Amir mengatakan bahwa keputusan itu telah berjalan sesuai mekanisme yang berlaku, yakni PP Nomor 99 Tahun 2012. Amir juga menegaskan bahwa ia hanya melakukan penyesuaian dengan aturan yang ada dan bukanlah dalam rangka pembelaan.

Pengacara Hartati, Dodi mengatakan bahwa setiap bulan kliennya akan menjalani wajib lapor ke Bapas Salemba. "Pada 6 Oktober klien saya akan kembali melakukan wajib lapor," ujarnya.

Seperti yang sudah diketahui, pembebasan bersyarat Hartati tersebut memang sangatlah kontroversial dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. KPK menilai pembebasan bersyarat Hartati itu sangat mencederai semangat pemberantasan korupsi. Bahkan salah satu terpidana korupsi pun, Nunun Nurbaeti, protes dengan mengirim surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Dia merasa bahwa dia telah didiskriminasi. "Saya ingin memberikan masukan pada Presiden SBY serta pembantunya dan Presiden terpilih Jokowi, bahwa kenyataannya diskriminasi maupun perbedaan penerapan hukum di negara ini masih terjadi," ungkap Nunun.

Sebelumnya, Hartati terbukti bersalah melakukan penyuapan terkait pengurusan lahan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Ia divonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai bahwa persetujuan pemberian uang sebesar Rp3 miliar untuk Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu terkait pengurusan Hak Guna Usaha lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol.

Padahal vonis Hartati sudah lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menuntut Hartati lima tahun penjara dan membayar denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Sungguh sangat disayangkan keputusan Kemenkum HAM tersebut. Sudah vonis Hartati lebih ringan dari yang dituntut, eh malah sekarang dibebaskan bersyarat pula. Seharusnya tiada maaf bagi para koruptor untuk membuat efek jera yang lebih nyata. Kalau lembek begini, budaya korupsi Indonesia sampai kapan pun tidak akan hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar