Tampilkan postingan dengan label Syria. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syria. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 September 2013

Harga Minyak Naik Lagi, Ekonomi Indonesia Terancam


Harga minyak naik


Tahun 2008, harga minyak mentah dunia meroket hingga US$145 per barel, menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis ekonomi. Tapi ekonomi Indonesia lolos dari kelesuan ekonomi dunia tersebut didukung oleh sektor konsumsi dalam negeri dan ekspor komoditas. Kini, ekonomi Indonesia kembali menghadapi ancaman eksternal, yakni naiknya harga minyak mentah dunia. Dalam beberapa hari ini harga minyak (WTI) dan Brent telah bergerak di kisaran US$106-US$114 per barel.

Apa yang menyebabkan harga minyak naik? Apa yang dilakukan Indonesia agar tidak mudah terancam dari gejolak harga minyak? Apakah Indonesia dapat kembali lolos dari guncangan eksternal ini?

Beberapa pengamat minyak mentah di bursa Wall Street memprediksi harga minyak bisa naik antara US$20 hingga US$40 per barel.

Apa yang menyebabkan harga minyak naik? Faktor pertama adalah kekhawatiran memburuknya kondisi geopolitik di Timur Tengah bila Amerika dan sekutunya menyerang Suriah. Suriah (Syria) sebetulnya bukan negara penghasil minyak. Produksi minyaknya tidak signifikan, hanya sekitar 50.000 barel per hari, jauh di bawah produksi minyak mentah Pertamina.

Namun dari sisi geopolitik, Suriah berbatasan dengan negara Irak, produsen minyak kedua terbesar OPEC, serta Jordan, Turki, Israel dan Lebanon. Dikhawatirkan, bila Suriah chaos, kekacauan politik dapat berpengaruh (spill-over) ke negara-negara tetangga.

Disamping itu, tampaknya sulit bagi Amerika untuk mendapat dukungan dari negara-negara seperti Rusia, Iran, dibanding, misalnya, ketika negara Paman Sam menyerang Irak dan Libya. Bila Amerika tetap ngotot menyerang Suriah, dan ditentang oleh Rusia, boleh jadi eskalasi akan memburuk. Apa yang terjadi Rusia dan Iran turut "bermain" melawan serangan AS?

Akankah terjadi Perang Dunia ke-III? Pertanyaan yang provokatif, tapi perlu agar kita menaikan bendera waspada. Saat ini, dunia sedang menunggu perkembangan politik di Paman Sam dan dunia, menanti apakah pemerintah Obama betul-betul menyerang. Bila kita mengamati gerakan-gerakan di belakang layar, pertanyaannya bukan “jika”, tapi “kapan”.   

Kondisi ini, dapat membuat para spekulan dunia memainkan harga minyak.

Lalu, apakah “faktor Suriah”, menjadi satu-satunya penyebab harga minyak naik? Tidak juga. Faktor lain adalah menurunya harga obligasi Amerika, yang turun tajam 10 tahun terakhir. Hal ini, yang membuat investor memindahkan sebagian dana mereka instrumen lain, termasuk emas dan “emas hitam” atau minyak. Faktor ini pula yang menyebabkan harga emas kembali merangkak naik belakangan ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu waspada. Tampaknya, pemerintah sudah melakukan beberapa langkah antisipasi. Misalnya, untuk penetapan Indonesia Crude Price (ICP) untuk APBN 2014, sudah memasukan faktor kenaikan harga minyak ini.

Beberapa hari lalu, pemerintah dan DPR belum menetapkan ICP, namun, mereka setuju ICP akan berada di kiaran US$100-US$115 per barel. Produksi terjual atau lifting minyak mentah dan kondensat dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2014 sebesar 870.000 barel per hari.

DPR dan pemerintah juga itu juga menyepakati lifting gas bumi 1,24 juta barel setara minyak per hari, sehingga lifting minyak dan gas tahun depan diusulkan 2,11 juta barel setara minyak per hari.

Kenaikan harga minyak sangat tidak menguntungkan Indonesia karena negara kepulauan ini sudah menjadi net-importer. Tidak ada lagi cerita ‘windfall profit’ dari kenaikan harga minyak. Produksi minyak Indonesia kini turun hingga menjadi sekitar 860.000 barel per hari turun dari 1,6 juta bph tahun 1995.

Kenaikan harga minyak, melemahnya rupiah akibat anjloknya neraca perdagangan, serta memanasnya kondisi politik jelang Pemilihan Umum 2014 diperkirakan akan berdampak buruk pada kondisi ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan. 

Dalam situasi ini, pemerintah perlu waspada dan menyiapkan langkah-langkah antipasi. Protokol krisis perlu disiapkan sehingga bila pemerintah terpaksa harus melakukan langkah drastis  untuk menyelamatkan ekonomi, tidak lagi ragu-ragu dan tidak menyebabkan kerancuan dan keraguan hukum seperti yang terjadi pada kasus bail-out Bank Century tahun 2009, yang kemudian menyebabkan kasus berkepanjangan.

Langkah lain yang perlu diambil adalah membuat terobosan untuk meningkatkan investasi sektor minyak dan gas bumi. Investasi migas bersifat jangka panjang. Investasi eksplorasi hari ini, baru akan membawa hasil dalam 5 hingga 10 tahun mendatang. Biasanya, perusahaan minyak dan gas justru melakukan investasi ketika terjadi krisis ekonomi. Sehingga ketika ekonomi kembali pulih, mereka siap memproduksi minyak dan gas. 

Pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan migas untuk mempercepat dan merealisasikan investasi mereka. Disamping pasokan dolar meningkat, ekonomi akan tetap bergerak dan produksi minyak dan gas dapat meningkat.

Dalam perspektif ini, kita menyambut baik rencana Investasi perusahaan-perusahaan migas besar seperti BP, yang berencana membangun train 3 proyek LNG di BP Tangguh, Papua; Inpex dengan proyek Masela, serta rencana Total E&P Indonesia untuk menginvestasikan US$7.2 miliar untuk mengembangkan Blok Mahakam. Tentu dengan asumsi kontrak pengembangan blok tersebut diperpanjang atau paling tidak Total E&P tetap dilibatkan dalam pengembangan Blok Mahakam pasca 2017.  (*)