Ekonomi Indonesia sedang menghadapi gejolak mata uang. Salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang rupiah adalah dengan mendorong
masuknya investasi asing, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) di
sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan
perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan di sisi lain kepastian
hukum harus dijaga.
-------------------------------------
Salah satu fasilitas produksi Blok Mahakam |
Dalam satu minggu terakhir rupiah
mengalami tekanan hebat. Rupiah tertekan dan mengalami penurunan drastis dari
tingkat di bawah 10,000 menjadi di atas 11,000 terhadap dolar AS. Rupiah atau
nilai tukar ibarat darah dalam transaksi ekonomi.
Bila rupiah mengalami fluktuasi
tajam, hal itu akan berpengaruh pada harga barang-barang, utang dolar
membengkak dalam nilai rupiah, terjadi penurunan dan bahkan kekeringan
likuiditas di perbankan karena pemilik modal ramai-ramai membeli dolar, entah
untuk membayar impor atau membayar utang dalam dolar.
Pemerintah dan beberapa pengamat
ekonomi mencoba mencari jawab dibalik pelemehan rupiah, antara lain kebijakan
quantiative easing di Amerika Serikat yang menyebabkan arus balik investasi
global, defisit perdagangan yang kemudian tercermin pada berkurangnya cadangan
devisa di Bank Indonesia.
Kondisi ini menyebabkan sebagian
investor asing melepas saham mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI), lalu membeli
dolar, sehingga menyebabkan rupiah melemah dan dolar menguat. Intinya, terjadi
ketidak-seimbangan suplai dolar dan rupiah.
Jumat lalu (23 Agustus), pemerintah telah
mengumumkan kebijakan atau paket ekonomi sebagai upaya meningkatkan suplai
dolar ke dalam sistem perbankan. Diantaranya, membebaskan perusahaan yang
bergerak di sektor pertambangan untuk menjual langsung produk mineral; berupaya
mengurangi impor minyak dengan meningkatkan komposisi biodiesel dalam minyak
yang dikonsumsi masyarakat, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan penstabilan Neraca Pembayaran, kondisi Moneter, Fiskal dan meredam ancaman Inflasi.
Bila kita melihat kondisi pasar uang,
menguatnya dolar sebetulnya dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk atau
berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan atau investor-investor asing
yang berencana memasukan investasi ke Indonesia perlu didorong oleh pemerintah
untuk mempercepat rencana investasi mereka, termasuk investasi di sektor minyak
dan gas bumi atau sektor energi.
Sektor minyak dan gas biasanya
memiliki daya tahan terhadap krisis. Bahkan saat krisis merupakan peluang emas
untuk berinvesasi sehingga pada saat ekonomi membaik, perusahaan siap
beroperasi atau mulai berproduksi. Investasi di sektor migas butuh
betahun-tahun sebelum operasi komersial beroperasi.
Proyek raksasa Blok Masela,
misalnya, dapat didorong oleh pemerintah untuk dipercepat, agar mulai
berproduksi mulai tahun 2018 seperti yang direncanakan. Pemerintah dapat pula
mendorong BP untuk mempercepat proyek Train 3 Tangguh. Demikian juga dengan
kelanjutan pengembangan Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Total E&P
Indonesie sebagai operator dan Inpex asal Jepang sebagai mitra non-operator.
Pada kondisi ekonomi seperti
dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca
2017, apakah diperpanjang atau melalui joint-operation antara operator lama dan pemain baru, dalam hal
ini BUMN Migas nasional Pertamina. Pemerintah tidak perlu lagi menghabiskan
energi untuk melobi investor untuk masuk ke blok ini, karena Total E&P dan
Inpex telah berkomitmen untuk menanamkan investasinya sebesar US$7.3 miliar
untuk mengembangkan Blok Mahakam dalam 5 tahun ke depan.
Saat ini industri migas dapat
memainkan peran strategis untuk meredam gejolak ekonomi seperti yang terjadi
pada tahun 2008. Pada tahun 2008, perbankan nasional luput dari guncangan
global, setelah perusahaan-perusahaan minyak menggunakan bank-bank nasional
seperti Bank Mandiri, Bank BNI sebagai transaction bank maupun untuk cash
management.
Ini terjadi setelah BPMIGAS (sekarang SKK Migas) saat itu ‘memaksa’
perusahaan-perusahaan minyak dan gas global di Indonesia untuk menggunakan bank
nasional untuk berbagai transaksi mereka. Kebijakan ini paling tidak membuat
suplai dolar di perbankan nasional cukup terjaga, sehingga tekanan terhadap rupiah berkurang.
Pelemahan rupiah saat ini akan
menguji sejauh mana daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi
global. Solusi textbook dapat dilakukan dengan menggenjot ekspor, namun itu
tidak mudah karena kondisi beberapa negara tujuan ekspor Indonesia sedang lesu
darah. Namun, untuk produk-produk tertentu, ekspor dapat ditingkatkan untuk
meningkatkan pasokan dolar ke dalam sistem keuangan dalam negeri.
Seperti yang dijelaskan di atas,
salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang adalah dengan mendorong
masuknya investasi asing, khususnya di foreign direct investment (FDI) di
sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan
perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan disisi lain kepastian
hukum harus dijaga. (*)