Tampilkan postingan dengan label Bank Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bank Indonesia. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Agustus 2013

Pelemahan Rupiah, Investasi dan Industri Migas



Ekonomi Indonesia sedang menghadapi gejolak mata uang. Salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang rupiah adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan di sisi lain kepastian hukum harus dijaga. 

-------------------------------------

Salah satu fasilitas produksi Blok Mahakam
Gejala guncangan yang dihadapi ekonomi Indonesia saat ini mirip seperti yang terjadi pada tahun 2008, yakni adanya tekanan pada rupiah. Beberapa pengamat telah mengingatkan pemerintah bahwa guncangan akan memburuk bila salah dan telat memberikan respons. Apakah benar seperti itu? Lalu bagaimana peran industri migas dalam menghadapi guncangan ekonomi tersebut?

Dalam satu minggu terakhir rupiah mengalami tekanan hebat. Rupiah tertekan dan mengalami penurunan drastis dari tingkat di bawah 10,000 menjadi di atas 11,000 terhadap dolar AS. Rupiah atau nilai tukar ibarat darah dalam transaksi ekonomi.

Bila rupiah mengalami fluktuasi tajam, hal itu akan berpengaruh pada harga barang-barang, utang dolar membengkak dalam nilai rupiah, terjadi penurunan dan bahkan kekeringan likuiditas di perbankan karena pemilik modal ramai-ramai membeli dolar, entah untuk membayar impor atau membayar utang dalam dolar.

Pemerintah dan beberapa pengamat ekonomi mencoba mencari jawab dibalik pelemehan rupiah, antara lain kebijakan quantiative easing di Amerika Serikat yang menyebabkan arus balik investasi global, defisit perdagangan yang kemudian tercermin pada berkurangnya cadangan devisa di Bank Indonesia.

Kondisi ini menyebabkan sebagian investor asing melepas saham mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI), lalu membeli dolar, sehingga menyebabkan rupiah melemah dan dolar menguat. Intinya, terjadi ketidak-seimbangan suplai dolar dan rupiah.

Jumat lalu (23 Agustus), pemerintah telah mengumumkan kebijakan atau paket ekonomi sebagai upaya meningkatkan suplai dolar ke dalam sistem perbankan. Diantaranya, membebaskan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan untuk menjual langsung produk mineral; berupaya mengurangi impor minyak dengan meningkatkan komposisi biodiesel dalam minyak yang dikonsumsi masyarakat, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penstabilan Neraca Pembayaran, kondisi Moneter, Fiskal dan meredam ancaman Inflasi.

Bila kita melihat kondisi pasar uang, menguatnya dolar sebetulnya dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk atau berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan atau investor-investor asing yang berencana memasukan investasi ke Indonesia perlu didorong oleh pemerintah untuk mempercepat rencana investasi mereka, termasuk investasi di sektor minyak dan gas bumi atau sektor energi.

Sektor minyak dan gas biasanya memiliki daya tahan terhadap krisis. Bahkan saat krisis merupakan peluang emas untuk berinvesasi sehingga pada saat ekonomi membaik, perusahaan siap beroperasi atau mulai berproduksi. Investasi di sektor migas butuh betahun-tahun sebelum operasi komersial beroperasi.

Proyek raksasa Blok Masela, misalnya, dapat didorong oleh pemerintah untuk dipercepat, agar mulai berproduksi mulai tahun 2018 seperti yang direncanakan. Pemerintah dapat pula mendorong BP untuk mempercepat proyek Train 3 Tangguh. Demikian juga dengan kelanjutan pengembangan Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Total E&P Indonesie sebagai operator dan Inpex asal Jepang sebagai mitra non-operator.

Pada kondisi ekonomi seperti dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017, apakah diperpanjang atau melalui joint-operation antara operator lama dan pemain baru, dalam hal ini BUMN Migas nasional Pertamina. Pemerintah tidak perlu lagi menghabiskan energi untuk melobi investor untuk masuk ke blok ini, karena Total E&P dan Inpex telah berkomitmen untuk menanamkan investasinya sebesar US$7.3 miliar untuk mengembangkan Blok Mahakam dalam 5 tahun ke depan.

Saat ini industri migas dapat memainkan peran strategis untuk meredam gejolak ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2008, perbankan nasional luput dari guncangan global, setelah perusahaan-perusahaan minyak menggunakan bank-bank nasional seperti Bank Mandiri, Bank BNI sebagai transaction bank maupun untuk cash management. 

Ini terjadi setelah BPMIGAS (sekarang SKK Migas) saat itu ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan minyak dan gas global di Indonesia untuk menggunakan bank nasional untuk berbagai transaksi mereka. Kebijakan ini paling tidak membuat suplai dolar di perbankan nasional cukup terjaga, sehingga tekanan terhadap rupiah berkurang.

Pelemahan rupiah saat ini akan menguji sejauh mana daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi global. Solusi textbook dapat dilakukan dengan menggenjot ekspor, namun itu tidak mudah karena kondisi beberapa negara tujuan ekspor Indonesia sedang lesu darah. Namun, untuk produk-produk tertentu, ekspor dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pasokan dolar ke dalam sistem keuangan dalam negeri.

Seperti yang dijelaskan di atas, salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya di foreign direct investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan disisi lain kepastian hukum harus dijaga. (*)

Kamis, 11 Juli 2013

Memahami Keputusan BI Menaikkan Suku Bunga Acuan


Mata saya tertuju pada berita keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate ketika membaca koran-koran dan berita online pagi ini.  Wah, tidak tanggung-tanggung, BI langsung menaikkan BI Rate 50 basis poin menjadi 6.50%.

Mengapa langsung 50 bps? Bukan 25 bps seperti yang diprediksi beberapa ekonom dan pelaku industri?

Pertama, tampaknya BI melihat ancaman inflasi dalam beberapa bulan kedepan bakal meningkat. Kenaikan inflasi bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kenaikkan harga-harga menyusul keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Kedua, nafsu belanja masyarakat kelas menengah ke atas meningkat tajam. Ini terlihat dari belanja masyarakat untuk membeli properti, mobil, dan barang-barang konsumsi lainnya. Ini juga terlihat pada laju perkembangan kredit perbankan yang kian menggila dalam beberapa tahun terakhir. Suku bunga kredit yang cukup rendah dalam 2-3 tahun terakhir rupanya mendorong nafsu belanja masyarakat yang cukup tinggi.

Tampaknya BI membaca hal tersebut. Karena itu, BI melakukan kebijakan teksbook dengan menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan. Bisa diduga, keputusan BI tersebut bakal diikuti oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit dan suku bunga deposit mereka.

Dampaknya?  Pertama, calon pembeli mobil, rumah, terutama yang memiliki dana terbatas dan bergantung pada kredit perbankan bakal menahan nafsu belanja mereka. Bagi mereka yang sudah terlanjur membeli dengan memanfaatkan fasilitas kredit, siap-siap suku bunga dinaikkan sepihak oleh perbankan atau perusahaan multifinance terutama bila suku bunga kredit ditetapkan secara ‘floating’. Bila suku bunga kredit sudah di-fixed untuk dua-tiga tahun, beruntunglah Anda. Bila suku bunga kredit cuma dikunci selama setahun, maka siap-siaplah suku bunga kredit dinaikkan setelah periode satu tahun sudah lewat.

Wah, kebetulan juga saya termasuk kelompok ini. Berarti harus siap-siap nih bakal membayar cicilan rumah bulanan lebih tinggi. Pada saat yang sama pengeluaran bakal meningkat karena harus membeli barang-barang dengan harga lebih tinggi. Fatal bila pemasukan sudah terkunci.

Sebagai konsumen atau pengusaha, saatnya untuk berpikir keras bagaimana menghadapi situasi ini. Sebagai pengusaha, bila perusahaannya sedang tajir, mungkin bisa mempertahankan gaji karyawan dengan meningkatkan penjualan dan meningkatkan produkvitas karyawan. Menambah karyawan baru kemungkinan direm dulu. Menurunkan gaji dikhawatirkan justru akan melemahkan produktivitas karyawan. Saat-saat seperti ini dibutuhkan komunikasi internal dari pimpinan manajemen agar tidak terjadi gejolak.

Bagi konsumen seperti saya, salah satu cara adalah mengurangi biaya-biaya yang tidak penting. Bila sebelumnya makan beberapa kali di restoran favorit dalam seminggu, mungkin dilakukan sekali atau dihilangkan dulu. Bagi yang perokok, cobalah dikurangi dan bila perlu distop. Selain keputusan tersebut menyehatkan kantong, juga menyehatkan badan. Dan, pasangan Anda mungkin akan lebih menyayangi Anda.

Pada saat yang sama, bisa dilakukan dengan meningkatkan pendapatan. Saya memilih cara ini – work smart, mencari tambahan income sehingga pendapatan tidak stagnan tapi meningkat. Dengan demikian, income meningkat saat pengeluaran meningkat. Mudah-mudahan kenaikan income melebihi laju pengeluaran. 

Dari sinyal yang diberikan BI, masih kemungkinan BI Rate dinaikkan lagi dalam beberapa bulan kedepan, sambil melakukan assessment dari keputusan kemarin menaikkan BI Rate 50 bps.

Selamat pagi Indonesia!!! Tingkatkan Produktivas!!!