Tampilkan postingan dengan label rupiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rupiah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Januari 2014

10 Kekeliruan Presiden Indonesia Yudhoyono Tahun 2013

Ketimpangan
Tahun Baru (2014) telah tiba dan Tahun Lama (2013) telah lewat. Banyak harapan masyarakat dititipkan ke pundak pemerintah agar kondisi sosial ekonomi membaik di Tahun 2014 ini. Perayaan hingar-bingar pergantian tahun di berbagai kota besar dan pelosok tanah air menyiratkan optimisme masyarakat, walaupun Indonesia menghadapi agenda politik besar, yakni Pemilihan Presiden-Wakil Presiden serta anggota Legislatif. Jangan-jangan perayaan akhir tahun tersebut justru merupakan pelempiasan masyarakat atas rasa frustasi mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik saat ini? Bisa jadi ya. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh hilang harapan, bahwa Indonesia dapat melewati Tahun Politik ini dengan segala dinamikanya.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melirik ke belakang untuk melihat berbagai peristiwa atau kekeliruan yang terjadi pada tahun lalu. Berikut tercantum 10 Kekeliruan (mistakes) Pemerintah di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai bahan refleksi. Poin 1 sampai 10 tersebut merupakan hasil kompilasi dan refleksi. Susunan 1 sampai 10 tidak mencerminkan bobot dari peristiwa. Dan setiap kita pun bisa berbeda pendapat dan persepsi.

1.  Pemilihan Menpora Roy Suryo

Keputusan yang dinilai salah atau keliru dilakukan oleh Kepala Negara adalah pengangkatan pengamat telematika, Roy Suryo, sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) baru menggantikan Andi Mallarangeng. Andi mengundurkan diri setelah diduga terlibat dalam asus pembangunan kompleks olah raga Hambalang, Bogor. Keputusan pengangkatan Roy Suryo dinilai keliru oleh sebagian besar masyarakat karena ia minim pengalaman dalam organisasi olah raga. Padahal Indonesia membutuhkan sosok yang memahami dunia pemuda dan olah raga Indoensia yang dalam beberapa tahun belakangan minim prestasi.

2. Kasus Lapindo

Kasus luapan lumpur Lapindo memanas pada Februari 2013 setelah Presiden SBY meminta pemilik PT Minarak Lapindo Jaya, keluarga Aburizal Bakrie, untuk membayar sisa tunggakan kompensasi bagi masyarakat Sidoarjo sebesar Rp miliar, setelah rumah mereka terkubur oleh luapan lumpur lapindo. Namun, isu tersebut membuat hubungan antara ARB dengan SBY memanas. Perang isu dan komentar pun terjadi antara kedua pihak. Ujung-ujungnya, hubungan SBY-Bakrie mencair lagi. Buah dari hubungan yang kembali cair tersebut tercermin dari lolosnya sebuah pasal dalam APBN-P untuk mengalokasikan dana Rp155 miliar untuk membantu PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menangani musibah lumpur Lapindo.  Para pengamat menilai alokasi dana tersebut merupakan bentuk tukar-menukar kepentingan antara SBY dan Bakrie sebagai ketua Golkar. SBY dan pemerintah mendapat dukungan dari Golkar untuk menaikkan harga BBM pada pertengahan tahun 2013. Para politisi di DPR mengaku mereka kecolongan dengan terselipnya keputusan alokasi dana Lapindo. Perhatian mereka tersedot pada perdebatan kenaikan harga BBM.

3. Isu Kudeta

Kesalahan kedua adalah melemparkan isu kudeta. Tidak jelas mengapa isu tersebut dimunculkan oleh Presiden. Tapi yang jelas beberapa hari berikutnya setelah isu tersebut muncul di publik. Yang jelas, beberapa hari kemudian sejumlah 25.000 apara t tentara dan polisi dikerahkan untuk mengamankan kudeta. Tidak ada angin tidak ada hujan. Kudeta yang diisukan itu tidak kelihatan. Pengamat menilai isu kudeta hanya sebagai ‘lelucon politik’ kepala negara. Sebagain mengatakan Presiden terlalu oversensitive. Sebagian pengamat mengatakan istilah kudeta tidak tepat, karena kudeta dilakukan oleh pihak internal (bisa militer, bisa pihak internal lain). Sementara polisi mengamankan ibu kota dari potensi demo (people power).

4. Rangkap Jabatan

Ditengah krisis Partai Demokrat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih menjadi Ketua Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum. Anas diduga terlibat permainan uang saat Anas Urbaningrum memenangi kontes pemilihan ketua Partai Golkar di Bandung. Anas pun didorong oleh internal partai Demokrat untuk mengundurkan diri. Akhirnya, Anas ‘dipaksa’ mundur setelah KPK menetapkan AU sebagai tersangka. Banyak pengamat menilai keputusan Presiden sebagai keputusan keliru karena keputusan tersebut dianggap bakal mengganggu konsentrasi SBY sebagai Presiden RI. Lagipula, sebelumnya Presiden meminta para menterinya untuk fokus pada mengurus negara, ketimbang mengurus partai. Namun, ucapan tersebut malah dilanggar sendiri oleh SBY.

5. Orang-Orang Dekat Berkeliaran di Ring-1

Dalam berbagai kasus korupsi yang sedang diproses pengadilan, termasuk kasus impor sapi maupun kasus pembangunan gedung hambalang, muncul ke permukaan orang-orang yang tidak memiliki posisi formal (di luar birokrat) tapi mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Diantaranya Bunda Putri, Sengman, dan lain-lain. Kehadiran orang-orang di sekitar kekuasaan ini menjadi bumerang bagi pemerintah.

6. Tidak Melakukan Tindakan Tegas Terhadap Kasus-kasus Intolerance

Indonesia ibarat rumah untuk dihuni oleh seluruh warga, dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dijamin oleh Konstitusi. Namun, dalam setahun terakhir cukup banyak kasus-kasus ‘intollerance’ yang terjadi, seperti pengusiran kelompok Ahmadiyah di berbagai wilayah serta melarutnya kasus rumah ibadah (Gereja) di Yasmin, Bogor. Di beberapa tempat terjadi upaya penutupan rumah ibadah oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, namun aparat keamanan. Presiden SBY dinilai tidak mengambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok masyarakat tersebut, dan memberi kesan pembiaran kasus-kasus seperti ini terjadi.

7. Tidak Tegas dalam Mereformasi Sektor Energi

Sektor energi, khususnya, minyak dan gas bumi berperan strategis dalam pembangunan bangsa. Dari sisi pendapatan negara, sektor energi menyumbang 30% pendapatan negara (APBN). Sektor ini juga menciptakan multi-plier effect yang besar terhadap industri-industri pendukung migas. Tapi Pemerintahan SBY dinilai gagal mereformasi industri migas serta meningkatkan ketahanan energi (energy security) tidak terlihat. Tidak ada kemajuan berarti dalam industri migas. Yang terjadi malah penurunan produksi minyak dan tidak ada penambahan signifikan pada cadangan migas. Insentif fiskal yang dijanjikan ke pelaku industri untuk mendorong eksplorasi di lepas pantai dan laut dalam serta daerah frontier, tidak muncul-muncul. Jawaban pemerintah selalu klise; masih dalam penggodokan. Kegagalan ini termasuk tidak mengganti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Seharusnya, bila industri migas dan energi secara umum, tidak performed, maka menterinya diganti.

Bentuk kekeliruan dan kegagalan lain adalah menunda keputusan terkait kontrak Blok Mahakam. Padahal, kontrak Blok Mahakam akan berakhir 2017. Sebagai blok besar dan tua, operator tentu berharap pemerintah membuat keputusan jauh-jauh hari – 3-5 tahun, sehingga operator punya cukup waktu untuk mempersiapkan langkah berikutnya, termasuk rencana investasi.

8. Memaksa Diadakannya Konvensi Partai Demokrat

Gelaran Konvensi Partai Demokrat untuk menjaring calon Presiden dari Partai Demokrat yang digagas Ketua Partai Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Presiden Indonesia, gagal menarik simpati publik. Berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei, maupun para pengamat politik, konsensi tersebut gagal menarik simpati publik. Konvensi tersebut dianggap sebagai pemborosan internal partai. Sebagian pengamat menilai, ada perbedaan perlakukan terhadap calon-calon Presiden yang akan bertarung dalam konvensi tersebut. Beberapa calon dipanggil langsung oleh SBY untuk maju dalam konvensi, tapi ada beberapa calon yang dipanggil oleh Komite Konvensi.

9. Pengangkatan Jubir yang Keliru

Ketua Partai Demokrat telah mengangkat politisi Demokrat Ruhut Sitompul sebagai salah satu juru bicara (Jubir) Partai. Ruhut dinilai tidak pas dan bahkan mencoreng imej partai akibat ulah dan pernyataan-pernyataannya yang terkadang memancing kontroversial di masyarakat. Dari sisi moral, ia juga dinilai tidak tepat, karena ia tidak mengakui anak dari hasil perkawinan pertamanya. Dalam internal partai ia juga terkadang membuat pernyataan yang membuat kuping merah sesama politisi partai. Misalnya, ia mengatakan Soetan Bhatugana menerima uang dari kubu Anas Urbaningrum dalam konvensi Partai Demokrat di Bandung. Tapi pernyataan Ruhut kemudian dibantah oleh Soetan. Baru-baru ini ia juga membuat pernyataan yang bernilai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mencap seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (Boni Hargen) sebagai pengamat hitam karena kulitnya hitam. Ruhut pun dilaporkan ke Polda. Pernyataan tersebut jelas tidak diterima masyarakat umum karena Indonesia adalah rumah bagi seluruh penghuninya, dari Sabang sampai Merauke. Apakah karena kulitnya hitam, orang Papua, Ambon, Flores, dianggap sebagai warga kelas dua dan tiga? Tentu tidak.

 10.  Subsidi BBM Membengkak & Rupiah Melemah

Kekeliruan lain yang dilakukan oleh Presiden adalah membiarkan subsidi BBM membengkak. Padahal, uang subsidi BBM yang nilainya ratusan triliun tersebut akan lebih bernilai bila dialokasikan untuk membangun infrastruktur jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan atau pembangunan sektor pertanian. Tidak ada terobosan yang dilakukan SBY dalam mengurangi beban subsidi dalam APBN. Dalam pelaksanannya, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas karena mereka membeli BBM bersubsidi. Pemerintahan SBY juga gagal mencegah pelemahan rupiah yang kini melemah ke atas Rp12.000 per dolar AS. Salah satu akar persoalan adalah meningkatnya permintaan dolar AS oleh Pertamina untuk mengimpor BBM. Akibatnya, defisit neraca pembayaran melebar dan rupiah tertekan. (*)

Selasa, 27 Agustus 2013

Pelemahan Rupiah, Investasi dan Industri Migas



Ekonomi Indonesia sedang menghadapi gejolak mata uang. Salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang rupiah adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan di sisi lain kepastian hukum harus dijaga. 

-------------------------------------

Salah satu fasilitas produksi Blok Mahakam
Gejala guncangan yang dihadapi ekonomi Indonesia saat ini mirip seperti yang terjadi pada tahun 2008, yakni adanya tekanan pada rupiah. Beberapa pengamat telah mengingatkan pemerintah bahwa guncangan akan memburuk bila salah dan telat memberikan respons. Apakah benar seperti itu? Lalu bagaimana peran industri migas dalam menghadapi guncangan ekonomi tersebut?

Dalam satu minggu terakhir rupiah mengalami tekanan hebat. Rupiah tertekan dan mengalami penurunan drastis dari tingkat di bawah 10,000 menjadi di atas 11,000 terhadap dolar AS. Rupiah atau nilai tukar ibarat darah dalam transaksi ekonomi.

Bila rupiah mengalami fluktuasi tajam, hal itu akan berpengaruh pada harga barang-barang, utang dolar membengkak dalam nilai rupiah, terjadi penurunan dan bahkan kekeringan likuiditas di perbankan karena pemilik modal ramai-ramai membeli dolar, entah untuk membayar impor atau membayar utang dalam dolar.

Pemerintah dan beberapa pengamat ekonomi mencoba mencari jawab dibalik pelemehan rupiah, antara lain kebijakan quantiative easing di Amerika Serikat yang menyebabkan arus balik investasi global, defisit perdagangan yang kemudian tercermin pada berkurangnya cadangan devisa di Bank Indonesia.

Kondisi ini menyebabkan sebagian investor asing melepas saham mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI), lalu membeli dolar, sehingga menyebabkan rupiah melemah dan dolar menguat. Intinya, terjadi ketidak-seimbangan suplai dolar dan rupiah.

Jumat lalu (23 Agustus), pemerintah telah mengumumkan kebijakan atau paket ekonomi sebagai upaya meningkatkan suplai dolar ke dalam sistem perbankan. Diantaranya, membebaskan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan untuk menjual langsung produk mineral; berupaya mengurangi impor minyak dengan meningkatkan komposisi biodiesel dalam minyak yang dikonsumsi masyarakat, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penstabilan Neraca Pembayaran, kondisi Moneter, Fiskal dan meredam ancaman Inflasi.

Bila kita melihat kondisi pasar uang, menguatnya dolar sebetulnya dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk atau berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan atau investor-investor asing yang berencana memasukan investasi ke Indonesia perlu didorong oleh pemerintah untuk mempercepat rencana investasi mereka, termasuk investasi di sektor minyak dan gas bumi atau sektor energi.

Sektor minyak dan gas biasanya memiliki daya tahan terhadap krisis. Bahkan saat krisis merupakan peluang emas untuk berinvesasi sehingga pada saat ekonomi membaik, perusahaan siap beroperasi atau mulai berproduksi. Investasi di sektor migas butuh betahun-tahun sebelum operasi komersial beroperasi.

Proyek raksasa Blok Masela, misalnya, dapat didorong oleh pemerintah untuk dipercepat, agar mulai berproduksi mulai tahun 2018 seperti yang direncanakan. Pemerintah dapat pula mendorong BP untuk mempercepat proyek Train 3 Tangguh. Demikian juga dengan kelanjutan pengembangan Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Total E&P Indonesie sebagai operator dan Inpex asal Jepang sebagai mitra non-operator.

Pada kondisi ekonomi seperti dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017, apakah diperpanjang atau melalui joint-operation antara operator lama dan pemain baru, dalam hal ini BUMN Migas nasional Pertamina. Pemerintah tidak perlu lagi menghabiskan energi untuk melobi investor untuk masuk ke blok ini, karena Total E&P dan Inpex telah berkomitmen untuk menanamkan investasinya sebesar US$7.3 miliar untuk mengembangkan Blok Mahakam dalam 5 tahun ke depan.

Saat ini industri migas dapat memainkan peran strategis untuk meredam gejolak ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2008, perbankan nasional luput dari guncangan global, setelah perusahaan-perusahaan minyak menggunakan bank-bank nasional seperti Bank Mandiri, Bank BNI sebagai transaction bank maupun untuk cash management. 

Ini terjadi setelah BPMIGAS (sekarang SKK Migas) saat itu ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan minyak dan gas global di Indonesia untuk menggunakan bank nasional untuk berbagai transaksi mereka. Kebijakan ini paling tidak membuat suplai dolar di perbankan nasional cukup terjaga, sehingga tekanan terhadap rupiah berkurang.

Pelemahan rupiah saat ini akan menguji sejauh mana daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi global. Solusi textbook dapat dilakukan dengan menggenjot ekspor, namun itu tidak mudah karena kondisi beberapa negara tujuan ekspor Indonesia sedang lesu darah. Namun, untuk produk-produk tertentu, ekspor dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pasokan dolar ke dalam sistem keuangan dalam negeri.

Seperti yang dijelaskan di atas, salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya di foreign direct investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan disisi lain kepastian hukum harus dijaga. (*)