Kamis, 26 Juni 2014

Perpecahan Di Tubuh Golkar

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan dipecatnya tiga anggota partai Golongan Karya (Golkar) oleh ketuanya Aburizal Bakrie atau yang akrab disapa dengan sebutan Ical ini. Sebenarnya Golkar memang sudah mulai terpecah ketika Ical berkoalisi dengan tim Prabowo-Hatta sedangkan pada saat yang sama Jusuf Kalla (JK) menjadi wakil Jokowi. Golkar “muda” memilih untuk mendukung JK. Perpecahan sebenarnya sudah mulai terlihat sesaat setelah pendeklarasian capres cawapres tempo hari.

Berikut ini adalah komentar-komentar politisi Golkar menanggapi tindakan ketuanya yang seenak udelnya:


Andi Sinulingga
Andi Sinulingga: “Ini bentuk otoritarisme yang seharusnya tidak perlu ada di zaman demokrasi seperti ini. Itu melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Apalagi dalam sistem politik kita partai hanya merupakan syarat administrasi saja dalam pencalonan capres sebagaimana yg di atur undang-undang. Lebih lagi pada orang-orang yang ada di sekeling ketua umum yg telah memberikan masukan yang sangat tidak menguntungkan bagi keutuhan partai Golkar ke depan.”

Indra J Piliang: “Abrizal Bakrie sudah tidak taat pada ideologi partai yang nasionalis. Ical tidak lagi membawa nuansa Golkar sebagai partai yang nasionalis, Pancasilais, menjunjung inklusivitas, dan berdiri sebagai partai garis tengah. Golkar di kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadi partai kanan sebagaimana partai koalisi lainnya. Pemecatan itu sendiri apabila direfleksikan adalah sebuah reaksi atas sikap para kader yang ternyata memberi pengaruh yang cukup besar pada tubuh Golkar.”

Poempida Hiyatulloh: “Tidak ada yang bisa menggantikan kami mengawal kepentingan masyarakat di legislative. Sebelum ini kami tidak pernah mengungkit kegagalan Ical sebagai ketua umum, tetapi kejadian ini memaksa kami melakukan serangan balik.”

JK pun menantang Ical untuk memecat dirinya! Beranikah Ical? JK adalah pemain lama di dunia politik. Kekuatan dan massa JK sebagai pemain lama tentunya lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan dan massa Ical yang notabene-nya adalah orang kaya dadakan yang gabung politik.

Tren anggota “muda” yang memihak ke Jokowi-JK sebenarnya tidak hanya terjadi di tubuh Golkar, namun juga terjadi di tubuh Partai Amanat Nasional (PAN). Walau ketua PAN, Hatta Radjasa, adalah wakil Prabowo, namun tidak sedikit anggota partai PAN khususnya yang muda memilih untuk menyatakan diri mendukung Jokowi-JK.


Apakah PAN juga akan mengikuti jejak blunder Golkar untuk memecat anggota partai yang tidak sejalan dengan ketua? Kita nantikan saja!

Kamis, 12 Juni 2014

Hatta Rajasa, Kasus KRL Impor dan Mafia Migas



Hatta Rajasa
 Selain sibuk keliling berkampanye Hatta Rajasa, calon wakil Presiden yang berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto harus berusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa banyak diliput media, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dipanggil dan ditanyai KPK terkait kasus KRL hibah Jepang pada tahun 2006, saat dia menjabat sebagai menteri Perhubungan. Hatta dipanggil saat sebagian masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri dugaan keterkaitan Hatta Rajasa dengan mafia impor minyak.

Dalam kasus korupsi KRL impor ini, KPK telah menahan Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Soemino Eko Saputro. Baru-baru ini media-media Jepang mengangkat kasus ini dan mendapatkan bukti bahwa pejabat-pejabat tertentu Jepang telah memberi suap ke beberapa negara mitra dagang Jepang, termasuk Indonesia, terkait impor KRL.


Kasus korupsi ini berawal saat Jepang memberi bantuan kereta api listrik kepada Departemen Perhubungan tahun 2006-2007 dengan nilai proyek sebesar Rp 48 miliar. Diduga kerugian negara mencapai Rp 11 miliar. KPK menduga telah terjadi mark up dalam biaya transportasi pengiriman kereta api sebesar 9 juta Yen. Saat ini Hatta Rajasa dipanggil sebagai saksi, dan tidak menutup kemungkinan statusnya ditingkatkan, tergantung hasil pemeriksaan.

Pemanggilan Hatta Rajasa oleh KPK terjadi ketika pada saat yang sama berbagai kelompok masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri keterlibatan mantan menteri perhubungan ini dalam bisnis impor minyak, yang dikendalikan oleh mafia migas.

Sudah bukan rahasia lagi kalau bisnis impor minyak di Indonesia dikuasai mafia kakap. Mafia ini yang mengendalikan (Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Petral memiliki tugas utama, yakni menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Bisnis impor minyak ini memang empuk dengan nilai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Nama yang tidak asing lagi dibalik mafia migas ini adalah Muhammad Reza Chalid, yang sudah sering dimuat di media-media utama. Reza Chalid bahkan sudah dikenal sejak era Soeharto. Banyak pengamat menilai Reza Chalid sebagai seorang yang sangat powerful dan bisa menentukan dan mengatur berbagai transaksi impor minyak Indonesia.

Reza diyakini telah menguasai Petral selama puluhan tahun melalui kerjasama dengan broker-broker minyak seperti Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil, Cosmic Petroleum dan Supreme Energy yang berbasis di Singapura. Perusahaan-perusahaan ini terdaftar di negara bebas pajak Virgin Island.

Selama beberapa dekade rencana pemerintah untuk membangun kilang minyak selalu terhambat. Dan, berbagai pengamat, terhambatnya pembangunan kilang itu dihambat oleh mafia migas. Para mafia migas berkepentingan agar Indonesia terus bergantung pada BBM impor.

Hatta Rajasa diyakini sebagai tokoh yang berada di belakang Reza. Menurut Majalah Forum Keadilan, dalam menjalankan operasinya, Reza-Hatta melakuan segala cara. Hatta Rajasa disinyalir memiliki kedekatan dengan mafia minyak yang berbasis di Singapore, Mohammad Reza dari Global Energy Resources.

Tanggapan Hatta Rajasa

Dalam sebuah wawancara dengan koran The Jakarta Post, Hatta Rajasa mengakui bahwa ia dekat dengan Muhammad Riza Chalid, namun tidak memiliki hubungan bisnis dengan Reza Chalid.

Berikut petikan wawancara dengan koran berbahasa Inggris itu:

T: Anda kenal dengan pebisnis Muhammad Reza Chalid (yang diyakini sebagai broker BBM impor terbesar Indonesia)?

Hatta: Kenapa Anda menanyakan soal itu. Saya tidak punya hubungan bisnis dengan dia. Tapi, kami telah menjadi teman selama beberapa dekade.

T: Bagaimana Anda mengenal dia?

Hatta: Melalui Majelis Dzikir. Saya tahu dia memiliki bisnis impor minyak dan bahan bakar minyak, tapi tidak ada hubungan dengan saya. Mengapa Anda tidak menanyakan hal itu ke Pertamina? Kenapa tanya saya?


T: Apakah benar Reza memberikan sumbangan uang untuk keperluan kampanye Anda?

Hatta: Ngawur

T: Jadi bagaimana dengan dana kampanye Anda?

Hatta: Kebanyakan konglomerat dan pebisnis berada di kubu sebelah (Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla). Kami bahkan tidak punya iklan di koran. Kami tahu biaya beriklan di Kompas. Lihat saja koran-koran, hampir semua iklan adalah iklan kubu Jokowi. Karena itu, kami bergantung pada kader-kader kami untuk mendanai biaya kampanye.

Menarik untuk mengikuti bagaimana kelanjutan kasus KRL impor dan mafia migas ini. Kita berharap KPK akan menelusuri setiap kasus yang merugikan keuangan negara, tanpa pandang bulu. Seperti kata Hatta Rajasa saat debat Capres-Cawapres, “jangan sampai hukum di negara ini, tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah”. Artinya, hukum hanya berlaku bagi  orang-orang kecil tapi tidak berlaku bagi penguasa atau orang-orang yang punya power.


Disamping itu, pemerintah mendatang harus mengambil langkah tegas terhadap mafia migas. Bila perlu Petral dipindahkan ke Jakarta saja sehingga bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah membuang uang ratusan triliun setiap tahun untuk mengimpor BBM, padahal yang untuk mafia. Lebih baik pemerintah fokus mendorong eksplorasi migas, sehingga produksi dalam negeri meningkat, tidak bergantung pada impor. Melanggengkan kehadiran mafia migas sama saja melanggengkan ketergantungan Indonesia pada impor minyak.

(*)

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)