Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta |
Risma, Walikota Surabaya |
Ketika terjadi transisi pemerintahan tahun 1966, muncul juga tokoh-tokoh pembaharu. Demikian juga saat reformasi tahun 1997-1998, muncul figur-figur baru yang membawa perubahan. Demikian juga yang terjadi saat ini. Jelang pemilihan umum 2014, publik mulai mereka-reka, apakah akan ada muncul figur atau tokoh baru yang akan memimpin Indonesia? Ataukah Indonesia masih akan dipimpin oleh tokoh-tokoh lama? atau tokoh lama yang telah mentransformasi diri menjadi sosok baru atau sosok pembaharu? Ataukah masih akan tetap wajah dan watak lama?
Terlepas dari siapa yang bakal mempimpin Indonesia nanti, Indonesia rupanya tak pernah kehabisan tokoh atau figur-figur pembaharu yang muncul di zamannya. Pernahkah kita bayangkan 3-4 tahun lalu, publik akan mengenal sosok seperti Joko Widodo, mantan Walikota Solo, yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta? Atau pernahkah kita bayangkan sebelumnya, seorang tokoh baru dalam rupa Tri Rismaharin, Walikota Surabaya yang kini menjadi sorotan publik?
Bu Risma, demikian orang Suroboyo memanggilnya, atau lengkapnya Ir. Tri Rismaharini, M.T. merupakan anak kandung kota Surabaya, Jawa Timur. Ia lahir 20 Oktober 1961 (52 tahun). Ia menjadi Wali Kota Surabaya sejak 28 September 2010. Risma merupakan wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota Surabaya.
Insinyur lulusan Arsitektur dan paskasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini juga tercatat sebagai wanita pertama di Indonesia yang dipilih langsung menjadi walikota melalui pemilihan kepala daerah sepanjang sejarah demokrasi di Indonesa paska Refromasi 98. Risma diusung oleh partai PDI-P dan memenangi pilkada. Risma dan wakilnya dilantik 28 September 2010.
PDI Perjuangan beruntung memiliki dua tokoh baru-- Jokowi dan Risma yang menyedot perhatian publik. Kedua sosok ini berkontribusi besar dalam mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan belakangan ini. Masyarakat menyukai kedua sosok. Keduanya memiliki kesamaan.
Mereka tidak suka duduk lama-lama di kantor, tapi lebih suka blusukan atau langsung terjun ke lapangan. Keduanya tak suka hanya menerima laporan asal bapak senang (ABS) seperti yang biasa kita jumpai pada kebanyakan pemimpin-pemimpin Indonesia. Mereka lebih suka melihat atau mengecek langsung permasalahan di lapangan. Keduanya tak suka protokel-protoler yang resmi yang terkadang mengungkung seorang pemimpin.
Rupanya tidak semua orang suka dengan kemunculan dua tokoh ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan mereka, seperti penyadapan, isu-isu miring, dll. Sosok keduanya yang mencuat ke publik seperti meteor, membuat pihak-pihak tertentu seperti tak rela. Di internal partai PDIP sendiri, ada ketidaknyamanan pada petinggi-petinggi partai. Ada yang merasa partailah yang melahirkan kedua sosok ini. Namun, di kacamata publik Jokowi-Risma lah yang mendongkrak elektabilitas partai, bukan partai yang mempopulerkan keduanya.
Kedua tokoh ini sepertinya memporak-porandakan persepsi publik tentang seorang pemimpin. Dulu, seorang pemimpin harus berada di singgasana, seperti tak terjangkau oleh rakyat. Ia dipagari oleh orang-orang di sekitarnya yang mem-filter setiap informasi yang masuk dan keluar. Tapi terkadang orang-orang di sekeliling pemimpin terkadang memanfaatkan pemimpin untuk kepentingan dia sendiri. Terkadang akhirnya, orang-orang dekat itu yang menjatuhkan pemimpin tersebut.
Berbeda dengan tokoh baru seperti Jokowi dan Risma, mereka mendobrak pakem pemimpin seperti itu. Mereka tipe pemimpin yang lebih senang untuk terjun langsung (hands-on).
Namun, tidak semua orang menyukai pemimpin seperti ini. Terkadang, mereka juga dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya. Boleh jadi ada pihak-pihak tertentu yang tidak mau berubah dan tetap melanjutkan praktek-praktek lama, seperti korupsi tender, menyalahgunakan kekuasaan, dsbnya. Contoh nyata adalah, soal tender atau pengadaan bus Trans Jakarta yang didatangkan dari China. Belakangan muncul dugaan, pengadaan proyek tersebut telah di-mark-up dan dapat merugikan negara. Jokowi dan Ahok berang.
Demikian juga dengan Risma, perubahan-perubahan yang dilakukannya di Surabaya, mulai dari hal-hal kecil seperti soal pertamanan, kebun binatang, dan perubahan pelayanan publik mendapatan penolakan dari berbagai pihak yang merasa tidak nyaman dengan perubahan tersebut. Sehingga muncul isu Risma mau mundur, yang menarik simpati publik dan meminta dia untuk tidak mundur. Sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dikhabarkan meminta Risma untuk tidak mundur.
Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Apakah saat ini, merupakan eranya Jokowi-Risma? Atau paling tidak simbol tokoh yang membumi? (*)