Minggu, 18 Mei 2014

Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla vs Prabowo-Hatta Rajasa, Golkar & PD Galau



Setelah beberapa minggu melobi sana-sini, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai terang benderang. PDIP sebagai pemenang dengan jumlah suara terbanyak serta partai-partai yang telah bergabung, Nasdem, PKB dan Hanura tadi malam (18 Mei) telah sepakat untuk mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) sementara Gerindra yang berada di posisi ke-3 dalam Pemilihan Legislatif lalu dan partai pendukungnya PKS dan PPP hampir pasti akan mengusung Prabowo Subianto (PS) sebagai Calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon Wakil Presiden.


Ditengah derasnya kritikan terhadap Prabowo terkait dugaan keterlibatannya terhadap kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jelang krisis moneter dan politik 1997-1998, Prabowo maju dan melobi berbagai partai untuk mengusungnya sebagai Calon Presiden. Dari berbagai partai yang dilobi, hanya PKS yang nyaris tenggelam akibat kasus korupsi sapi impor yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfie Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) serta PPP yang sudah secara terbuka mendukung pencapresan Prabowo. PPP pun pada akhirnya tidak punya pilihan kecuali mendukung Prabowo setelah sempat terjadi pertarungan internal, termasuk saling memecat antara pimpinan partai.  


ARB-SBY??
Bagaimana dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat? Apakah akan ada poros ketiga? Dalam seminggu terakhir muncul ke permukaan bakal ada poros ke-3, yang dimotori oleh Partai Demokrat. Capres dan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sempat bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kemungkinan dibentuknya poros ketiga. Namun, tampaknya upaya tersebut terbentur antara siapa yang jadi Capres dan Cawapres. Media-media sempat memunculkan pasangan ARB sebagai Capres dan Pramono Edhie sebagai Wakil Presiden. Anehnya, Pramono Edhie bukanlah pemenang Konvensi Partai Demokrat. Justru yang menjadi pemenang adalah Dahlan Iskan, yang diklaim menjadi yang paling populer dibanding 10 bakal capres lain berdasarkan survei.


Lalu bagaimana dengan nasib pemenang konvensi Partai Demokrat? Itu ibarat berlomba untuk menjadi juara, tapi hadiah yang dijanjikan tidak diberikan. Itulah politik. Terkadang dan lebih sering terjadi rencana tidak berjalan sesuai rencana. Pemenang Konvensi Partai Demokrat dijanjikan akan diberikan ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres Partai Demokrat tapi boarding pass itu tak dapat diberikan oleh Partai Demokrat karena partai tersebut gagal dalam Pileg 9 April lalu. Partai ini (PD) hanya memperoleh suara sekitar 10 persen, sehingga tidak dapat mengusung Capres sendiri. PD membutuhkan partai-partai lain agar bisa memenuhi persyaratan 20% suara agar dapat mengusung Capres sendiri. Sebelumnya PD sempat diisukan bakal bergabung dengan Golkar atau sebaliknya, tapi hingga hari ini tidak terjadi atau belum terjadi. Salah satu skenario yang mungkin terjadi PD dan Golkar hanya sebagai penonton saja dalm Pilpres nanti. TRAGIS MEMANG, bila itu terjadi!. Partai pemenang Pemilihan Presiden dua kali (2004 dan 2009) gagal mengajukan Capres.


Lain lagi kisah ARB, seorang tokoh partai dan pemilik Bakrie Group, ini tampak kebingungan, antara Mencapreskan diri sendiri, bergabung dengan PD, Prabowo atau Jokowi. ARB sempat terbang ke Bojongkoneng, ‘istana’ Prabowo dengan helicopter, sehingga sempat memunculkan isu koalisi helicopter. Tapi akhirnya, tidak terjadi deal apa-apa. ARB juga sempat bertemu Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Entah apa yang dibahas atau proposal yang diajukan ARB, tidak jelas. Sempat muncul berita bahwa ARB mungkin menjadi calon Wakil Presiden Jokowi, tapi tidak terjadi. 


Rapat Pimpinan Nasional (Rampimnas) Golkar hanya mengkonfirmasi ARB sebagai Capres atau Cawapres, tidak ada figur baru yang dimunculkan secara formal oleh partai Golkar. Kemungkinan terburuk, Golkar bakal hanya menjadi penonton saja dalam Pilpres 9 Juli nanti. 


Namun, politik bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa saja ARB atau partai Demokrat membuat keputusan last miniture, dengan membuat poros baru. Masih tersisa sedikit waktu. Kemungkinan lain, Golkar merapat ke PDIP tanpa menuntut kursi Cawapres, hanya sebagai partai pendukung. PD, bila melihat pernyataan ketua partai PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi PD akan menjadi dirinya sendiri, dalam arti berada di luar pemerintahan, dan menjadi partai diluar pemerintah atau semacam partai oposisi. 


Akan halnya Jokowi dan Jusuf Kalla, tentu ini telah melalui proses pembahasan internal PDIP serta diskusi dengan mitra PDIP, yakni Nasdem, PKB dan Hanura. Sebelumnya ada lima nama yang dimunculkan, kemudian menyusut menjadi 2 orang (yakni Jusuf Kalla dan Abraham Samad), tapi pada akhirnya JK yang diputuskan menjadi pendamping Jokowi. JK dianggap layak mendampingi Jokowi karena keduanya dapat saling melengkapi. Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan paduan antara sosok populer di mata rakyat dan sosok yang berpengalaman dan tokoh lintas partai, lintas agama, lintas suku, dengan jangkauan internasional tentu memberikan nilai plus pada pasangan ini. Publik Indonesia tahu keberhasilan SBY pada masa pemerintahan 2004-2009, tak terlepas dari kontribusi JK, yang tegas, cepat bertindak dan sosok yang result-oriented. Walaupun usia JK sudah tidak muda lagi, namun ia masih aktif seperti yang ia tunjukkan saat menjadi ketua PMI. 


JK juga merupakan sosok yang masih dikagumi di internal Golkar, dan bisa jadi bila Jokowi-JK menang Pemilu, bisa jadi fraksi-fraksi internal Golkar akan mendorong pergantian ketua Golkar dan memilih sosok yang akan mendukung JK, sama seperti skenario 2004 lalu. Golkar akhirnya merapat ke partai pemenang pemilu. 


Saat ini masyarakat Indonesia menatap Pilpres 9 Juli nanti. Masyarakat kini menanti visi, misi dan program-program konkrit yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Masyarakat merindukan perubahan. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan pemimpin yang authoritarian, rejim militer atau penguasa yang otoriter, tapi sosok pemimpin yang fresh, yang mendambakan pemimpin yang melayani rakyatknya, memberi yang terbaik bagi rakyatknya, seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat Indonesia yang majemuk dari Sabang sampai Merauke, sosok pemimpin yang bukan pendendam, sosok pemimpin yang tidak emosional, sosok pemimpin yang lebih banyak bertindak dengan karya nyata, bukan dengan slogan-slogan yang sekadar menjual tapi sulit dan tidak mungkin diterapkan. 


Kita berharap Pemilihan Presiden akan berjalan lancar, tidak terjadi gontok-gontokan di lapangan, bebas kerususuhan, bebas dari saling caci-maki, saling menjatuhkan melalui black campaign. Kampanye negatif mungkin sah-sah saja, tapi black campaign yang tidak berdasarkan fakta, melakukan pembohongan publik tidak sehat bagi kemajuan demokrasi kedepan. Pihak-pihak yang melancarkan black campaign bakal menjadi bumerang bagi sang calon. Lebih baik para Capres dan Cawapres fokus pada diri sendiri dan fokus pada apa yang mereka bisa tawarkan bagi kemajuan Indonesia kedepan, bukan fokus pada apa yang dilakukan lawan politik. Semoga!!

Senin, 12 Mei 2014

Maneuver Dahlan Iskan Menggabungkan PGN dan Pertagas Menuai Protes


Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN seharusnya berfungsi sebagai wasit dengan membuat regulasi yang jelas, tidak malah membuat kekacauan. Dengan adanya regulasi yang jelas, maka pelaku usaha dapat menjalankan usahanya sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Pemerintah bertugas untuk menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat sehingga kedua perusahaan tersebut dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya, tanpa harus ‘memakan’ yang lain. 

 ===================

Beberapa bulan lalu Menteri BUMN Dahlan Iskan mendorong anak usaha Pertamina, Pertagas untuk mengakuisisi perusahaan distribusi gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Rencana tersebut menuai protes dari berbagai pihak dengan berbagai alasan, diantaranya rencana tersebut hanya akan menciptakan monopoli Pertamina dari hulu hingga hilir. Rencana itu juga bakal menghambat rencana PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas di tanah air, serta berbagai alasan lain. Saham PGN ikut tergerus karena pasar mengkhawatirkan rencana tersebut. 

Setelah diprotes berbagai pihak dan menyusul pernyataan istana untuk tidak melakukan keputusan-keputusan strategis jelang Pemilihan Presiden, maka rencana tersebut untuk sementara didinginkan. Banyak pengamat yang menilai Dahlan Iskan yang juga merupakan salah satu bakal calon Presiden dari Partai Demokrat yang sedang berjuang di Konvensi Partai Demokrat punya agenda tersembunyi untuk terus dan ngotot menggabungkan kedua perusahaan tersebut dengan cara Pertagas mengakuisisi PGN.

Setelah beberapa waktu isu tersebut menghilang, beberapa hari belakangan muncul lagi soal penggabungan kedua BUMN distribusi gas tersebut. Namun, sedikit berbeda. Diberitakan oleh berbagai media bahwa Dahlan Iskan telah mengirimkan surat ke Pertamina dan PGN agar Pertagas bersedia diakusisi oleh PGN. Jadi Pertagas yang didorong masuk ke PGN, dengan alasan demi efisiensi. Alasan lain, Pertagas punya core business yang sama dengan PGN, sehingga Pertamina bisa lebih fokus di bisnis migas hulu.

Dahlan Iskan diberitakan menulis surat rencana akuisisi Pertagas oleh PGN tersebu pada tanggal 7 Mei 2014. Rupanya surat tersebut diprotes keras oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu. Beberapa pengamat juga meragukan efektifitas rencana tersebut karena tidak dilakukan melalui studi mendalam. Disamping itu, mengingat PGN telah go publik, rencana penggabungan tanpa melaporkan ke Bursa dapat mendistorsi informasi yang dapat menjungkirbalikkan harga saham PGN. Harga saham PGN bisa naik dan turun oleh isu yang belum matang atau tidak jelas. Boleh jadi ada pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan dengan penggorengan isu akusisi PGN oleh Pertagas atau sebaliknya akuisisi Pertagas oleh PGN ini.

Menyadari rencananya ditolak berbagai pihak, Dahlan Iskan pada tanggal 12 Mei mengatakan bahwa dia hanya ingin menggertak kedua perusahaan itu. Tapi kemudian, pada salah satu hotel bintang V di kawasan kuningan, Dahlan mengatakan bahwa surat itu tidak ada. Nah, lho. Patut dicurigai dan dipertanyakan ada apa dibalik rencana penggabungan kedua perusahaan tersebut?

Tidak lama kemudian, Dahlan mengatakan bahwa dia hanya mau menggertak kedua perusahaan itu agar dapat bekerjasama. Buktinya, keduanya telah saling mengalah dan bahu membahu membangun infrastruktur gas. Tampaknya, Dahlan hanya mencari-cara alasan dan ngeles, tatkala rencananya menggabungkan kedua perusahaan itu ditolak.

Sofyano Zakaria, seorang pengamat Migas, mengatakan Dahlan Iskan seharusnya  menjelaskan dengan lugas ke publik terkait adanya  surat MBUMN nomor SR-295/MBU/2014 tanggal 07 Mei 2014 perihal Pengambilalihan saham PT Pertamina Gas (PT Pertagas) kepada Direksi Pertamina, mengingat bahwa surat tersebut sudah diketahui masyarakat luas (karena telah dipublikasikan oleh media).
Jika Dahlan Iskan menyatakan bahwa surat itu tidak ada, ini bisa dinilai publik bahwa surat itu surat palsu dan seharusnya Kementerian BUMN melaporkannya secara resmi ke Kepolisian untuk diusut tuntas.

Persoalan ada atau tidak adanya surat itu harusnya tidak cukup dianggap selesai hanya dengan keterangan lisan seorang Menteri BUMN saja, karena surat itu telah menimbulkan "persoalan" di kalangan Pekerja Pertamina. Ini hal yang serius yang harus mendapat perhatian khusus dari Pemerintah dan bukannya hanya bagi MBUMN saja.

Keterangan Dahlan Iskan bahwa surat tersebut "tidak ada" juga jelas bertolak-belakangan dengan adanya keterangan Dahlan Iskan yang mengatakan ke para wartawan bahwa rencana itu (Pengalihan saham Pertagas ke PGN) adalah  untuk menggertak pihak Pertagas dan PGN yang tidak akur dalam berbisnis gas. Ini artinya surat itu benar ada karena dari surat tersebutlah muncul reaksi dari Serikat Pekerja Pertamina yang akhirnya menjadi bahan pemberitaan media secara nasional.

Hulu dan Distribusi Gas
Terlepas dari kisruh PGN-Pertagas sebenarnya menunjukkan memang ada permasalah di pendistribusian gas bumi di Tanah Air. Masalah utama adalah kurangnya infrastruktur gas sehingga gas yang ada di lapangan-lapangan yang jauh dari pusat-pusat industri tidak sampai ke pelanggan. Gas berbeda dengan minyak. Karena sifatnya yang cepat menguap, gas membutuhkan infrastruktur khusus, seperti fasilitas regasifikasi (FSRU) agar gas bisa diubah bentuknya ke cair (liquid) agar dapat ditransportasikan, dan kemudian diubah lagi ke gas melalui proses regasifikasi setelah sampai ditempat tujuan.

Saat ini, baru ada satu fasilitas regasifikasi yaitu floating storage regasification unit (FSRU) di lepas pantai Jakarta. FSRU Lampung baru masuk tahap finalisasi dan diperkirakan baru beroperasi Juli nanti. Disamping itu, dibutuhkan jaringan pipa gas yang memadai agar gas dapat sampai ke konsumen. Nah, jaringan gas ini yang sedang dikembangkan oleh PGN maupun Pertagas. Namun, di banyak tempat, jaringan gas kedua perusahaan ini bertabrakan atau terjadi persaingan yang tidak sehat, sehingga mengakibatkan terhambatnya pembangunan jaringan pipa.

Seharusnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, berfungsi sebagai wasit dengan membuat regulasi yang jelas, tidak malah membuat kekacauan. Dengan adanya regulasi yang jelas, maka pemain dapat menjalankan usahanya sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Pemerintah bertugas untuk menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat sehingga kedua perusahaan tersebut dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya, tanpa harus ‘memakan’ yang lain.

Disamping membereskan jaringan atau infrastruktur gas, pemerintah juga perlu fokus mengembangkan gas bumi di sektor hulu. Pertamina, perlu didorong untuk lebih fokus mencari (eksplorasi) maupun mengembangkan atau memproduksi gas bumi. Saat ini, BUMN Migas itu menguasai kurang lebih 47 persen blok Migas, tapi masih banyak blok migas yang belum dikembangkan. Pertamina dapat mengembangkan sendiri atau dapat menggandeng perusahaan-perusahaan migas global yang telah beroperasi di Indonesia. Saat ini, produksi gas bumi di tanah air masih dikontribusi oleh blok-blok migas lama, seperti Blok Mahakam, yang mengkontribusi 80% kebutuhan gas Bontang, Kaltim.

Tugas pemerintah saat ini dan yang akan datang adalah memastikan produksi gas bumi di Mahakam tetap berjalan dan pada saat yang sama mendorong pengembangan blok-blok migas lain untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri yang terus meningkat. (*)

Senin, 05 Mei 2014

Membaca Arah Koalisi Partai, Antara Koalisi Selera vs Koalisi Platform



Koalisi 'Helikopter'  (foto detik.com)
Agenda politik nasional memasuki pekan penting. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terseok-sekok menyelesaikan rekapitulasi suara hasil Pemilihan Legislatif 9 April lalu yang seharusnya diumumkan hari ini, tapi ditunda ke tanggal 9 Mei, sebagai tanggal keramat yang tidak bisa dilewati. Hingga hari ini, baru 12 dari 33 provinsi menyelesaikan hasil rekapitulasi suara. Artinya, dalam 3-4 hari kedepan, KPU harus menyelesaikan hitungan suara Pileg legislative. Sementara disisi lain, partai-partai peserta pemilu masih menunggu dengan cemas dan galau hasil rekapitulasi suara sebelum memutuskan akan berkoalisi dengan partai apa dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. 

Dalam tiga minggu terakhir, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga, partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar, PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).

Yang sudah tegas-tegas bergabung barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi, namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden age. 

Beberapa partai dikabarkan akan merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.

Lalu bagaimana dengan Golkar dan Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB). Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and condition’ dari koalisi kedua partai.

Dari pemberitaan, kita mengetahui bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung hasil final kesepakatan kedua partai. 

Bila ARB menjadi Cawapres Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB. 

Lalu bagaimana nasib PKS, PAN yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres Prabowo.

Nah, publik sekarang menunggu pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.

Untuk peta koalisi dan pasangan Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.

Reaksi Publik
Lalu bagaimana reaksi publik melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama. Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan elit partai.

Lihat saja pernyataan, ARB usai bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’ dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa? Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang, tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.

Bila Prabowo dan ARB bergabung menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik.  Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat, ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya, yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.

Sebuah fenomena menarik juga bila ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie & Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama, berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?

Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)