Rabu, 25 September 2013

Calon Presiden Prabowo Subianto Menolak Nasionalisasi Industri Migas



Prabowo Subianto

Calon Presiden Prabowo Subianto dari Partai Indonesia Raya (Gerindra) mengingatkan pihak-pihak tertentu bahaya nasionalisasi industri minyak dan gas di Indonesia, serta mengkritik ‘kesombongan’ para elit pemerintah atas kegagalan mereka dalam meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi.

Berbicara pada Jakarta Foreign Correspondents Club di Jakarta pada hari Rabu (25/9), Prabowo Subianto, salah satu Calon Presiden (Capres) yang juga sekaligus Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengingatkan pihak-pihak tertentu yang menginginkan nasionalisasi di industri migas. Dia juga mengkritik ‘kesombongan’ yang diperlihatkan oleh para elit politik di tanah air yang telah gagal mendorong kegiatan eksplorasi migas. 

Prabowo menceritakan kembali apa yang terjadi pada sebuah dialog radio pada suatu pagi. Penelepon tersebut menanyakan pada Prabowo apakah ia ingin menjadi seperti Hugo Chavez dan menasionalisasi industri minyak dan gas bumi di Indonesia?

Ketua Partai Gerindra tersebut mengatakan kepada penelepon yang usianya masih muda tersebut bahwa “berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisasi.” Tampaknya, Prabowo mau menekankan lebih penting bekerja untuk kepentingan nasional daripada menasionalisasi. 

Kehadiran seorang warga negara atau sebuah perusahaan dinilai dari apa yang telah dilakukannya bagi negara.

Apakah seorang warga negara yang menilep uang negara untuk kepentingan pribadi lebih berharga daripada sebuah perusahaan migas yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja lokal, memproduksi migas dan hasil penjualan minyak dan gas menjadi sumber pendapatan bagi negara (APBN). Dan dana hasil produksi migas tersebut sebagian akan dialokasikan ke daerah melalui dana alokasi khusus (DAU) dan sebagian lagi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan termasuk untuk fasilitas pendidikan.  

Jelas sang koruptor yang juga warga negara Indonesia tersebut tidak lebih penting. Tempat yang layak bagi sang koruptor adalah di hotel prodeo a.k.a penjara, sementara perusahaan tadi kehadirannya jauh lebih penting. Dalam konteks ini, pernyataan Prabowo “bekerja untuk kepentingan nasional lebih penting dari nasionalisasi” sangat relevan.

Prabowo kemudian melanjutkan, “penting bagi kita untuk mendidik warga masyarakat terkait perbedaan itu, sehingga perdebatan politik menjadi lebih dewasa.” Dengan kata lain, lebih penting berdebat isu-isu yang realistis, bermanfaat langsung bagi rakyat daripada menjual mimpi kepada masyarakat kecil  dengan cara memanipulasi isu-isu murahan agar terlihat seperti pahlawan di siang bolong.

Perdebatan soal perpanjangan blok Migas, seperti Blok Siak, Blok Mahakam, dan beberapa blok lainnya, dengan meniupkan isu nasionalisasi migas, jelas tidak elok dan tidak pada tempatnya. Seharusnya, rakyat disuguhkan oleh argumen-argumen yang rasional dan masuk akal, tidak dengan memainkan isu nasionalisasi sempit. Apa yang disampaikan Prabowo mengingatkan publik dan elemen masyarakat agar mengedepankan perdebatan yang sehat dan rasional.

Menurut Prabowo, tidak ada salahnya dengan hadirnya perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing di Indonesia yang terlibat aktif dalam berbagai proyek migas, asalkan saja berada di bawah kontrol pemerintah yang baik. Ketika kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya, yang kini mulai memudar, para elit politik menjadi sombong dengan mengkalim bahwa Indonesia akan menjadi negara tersuksi karena sumber daya alam yang kaya dan populasi yang besar. Namun, kebijakan yang ada saat ini gagal untuk meningkatkan aktivitas eksplorasi migas. 

Dia berkomitmen untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia karena tanpa eksplorasi, lapangan-lapangan minyak dan gas yang berproduksi saat ini akan segera mengering karena terkuras habis. 


Industri Migas Strategis

Industri minyak dan gas bumi berperan penting bagi ekonomi suatu negara. Tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri industri minyak dan gas menyumbang sekitar 30 persen pendapatan negara pada Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu, pemerintah memiliki kepentingan untuk memastikan industri minyak dan gas  bumi terjaga, terus bertumbuh. Semakin berkembang industri migas, semakin besar kontribusi industri ini pada ekonomi nasinoal.

Kontribusi industri migas tidak sekadar angka-angka pendapatan yang disumbangkan kepada negara. Manfaat dari kehadiran industri migas juga dapat menciptakan multiplier efect bagi industri-industri lain.

Perusahaan-perusahaan migas yang mengembangkan berbagai proyek migas, entah itu fasiltas produksi di daratan atau rig atau platform di lepas pantai, membutuhkan berbagai produk, buatan lokal dan impor, untuk mendukung projek tersebut.

Sebuah proyek migas bisa saja melibatkan ratusan perusahaan yang menyuplai berbagai produk dan jasa, mulai dari produk pipa, baja, hingga jasa desain proyek. Sebuah proyek migas dapat menciptakan multiplier efek yang luar biasa bagi industri nasional, apalagi setelah pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM bersama SKK Migas mendorong penggunaan produk dalam negeri untuk dalam pembangunan proyek-proyek migas.

Kehadiran perusahaan migas baik perusahaan-perusahaan raksasa Migas internasional maupun perusahaan dalam negeri juga telah menciptakan lapangan kerja bagi pemuda-pemudi Indonesia baik yang bekerja langsung di perusahaan migas maupun mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan pendukung migas.

Namun, tidak semua menyadari pentingnya industri migas yang maju dan stabil. Belakangan ini, pelaku industri migas di Tanah Air mulai terusik oleh ulah sekelompok kecil masyarakat yang ingin mencari simpati rakyat dengan meneriakan isu nasionalisasi migas, dengan mencontohi apa yang telah dilakukan oleh Hugo Chaves.

Apakah menasionaliasi migas realistis di era terbuka dan globalisasi ekonomi saat ini? Apakah Indonesia akan menjadi negara yang terisolir seperti Korea Utara dengan mengusir semua perusahaan asing di Indonesia? 

Pernyataan Prabowo bahwa ia dengan tegas menolak nasionalisasi industri migas tentu mengirimkan sinyal positif bagi pelaku industri migas. Bagi pelaku industri migas, siapapun nanti yang menjadi Presiden baru tahun 2014, ia harus punya komitmen pada pengembangan industri migas nasional, yang saat ini masih terseok-seok. Birokrasi yang rumit di tingkat nasional dan lokal masih terus menghambat investasi sektor migas, baik eksplorasi maupun untuk produksi.  (*)

Senin, 23 September 2013

Kontrak Blok Mahakam & Blok Masela setelah Kunjungan CEO Inpex


Maket FLNG, Lapangan Abadi, Blok Masela
Inpex Corporation, perusahaan minyak dan gas bumi raksasa asal Jepang, rupanya memilih low profile. Publik tidak banyak mengetahui investasi dan aktivitas bisnisnya di Indonesia. Apakah portfolio bisnisnya di Indonesia relatif kecil dibanding skala bisnis Inpex di negara-negara lain? Boleh jadi ya. Namun, fakta berbicara bahwa Inpex memiliki invetasi yang cukup signifikan di Indonesia untuk ukuran Indonesia. Inpex memiliki dua proyek raksasa di Indonesia yakni Blok Mahakam yang sudah berproduksi selama 40 tahun terakhir dan satu lagi Blok Masela yang baru pada tahap pengembangan atau persiapan produksi. 


DI Blok Mahakam, Inpex berpartner dengan Total E&P Indonesie, perusahaan migas besar asal Perancis dengan memegang hak kepesertaan (partisipating interest/PI) sebesar 40% dan Total E&P Indonesie 60%. Total bertindak sebagai operator Blok Mahakam sementara Inpex berfungsi sebagai mitra non-operator. Sebagai mitra non-operator, tidak heran bila sejauh ini Inpex terkesan berada di balik layar, sementara Total E&P Indonesia yang lebih banyak tampil di media atau publik. Hal ini masuk akal karena sebagai operator, Total bertanggungjawab atas keberlangsungan operasional blok tersebut.


Kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie yang bermitra dengan Inpex akan berakhir 2017. Kedua perusahaan tersebut telah mengajukan perpanjangan ke pemerintah Indonesia. CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali keinginan perusahaan Jepang itu untuk memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam maupun Blok Masela.

Pemerintah saat ini masih mengevaluasi permintaan kedua perusahaan itu. Seperti yang dikatakan oleh Menteri ESDM Jero Wacik, pemerintah Indonesia sedang melakukan evaluasi permintaan operator Blok Mahakam. Tentu publik berharap agar pemerintah segera membuat keputusan karena investasi di migas bersifat jangka panjang. Bila ditunda tahun depan, mungkin akan lebih ruwet lagi dan bisa tertunda lagi karena pemerintah fokus pada agenda Pemilu. Karena itu, tahun ini merupakan tahun yang tepat untuk membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017.


Isu perpanjangan operatorship Blok Mahakam telah memancing pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Pemerintah sendiri seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri ESDM beberapa waktu lalu, mengirimkan sinyal bahwa kehadiran Total EP di blok Mahakam masih diperlukan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa kondisi Blok Mahakam sangat kompleks. Dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi dan teknologi tinggi untuk memastikan blok tersebut terus beroperasi dan berproduksi. Mengoperasikan Blok Mahakam tidak sama dengan mengoperasikan blok migas lainnya karena itu setiap risiko harus dipertimbangkan.


Apakah pemerintah memperpanjang, tidak memperpanjang atau membuat skema baru dengan melibatkan operator yang sekarang dan pemain baru? Kita tunggu saja. Publik berharap agar pemerintah membuat keputusan yang bijak dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok atau orang-per orang.


Berbeda dengan Blok Mahakam, Blok Masela merupakan blok gas alam raksasa, yang belum berproduksi. Sebelumnya, Inpex memegang hak kepesertaan (PI) sebesar 90% dan sisanya 10% dimiliki oleh PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan grup Bakrie. Namun, beberapa waktu lalu Energi Mega menjual 10% PI di blok tersebut ke Inpex. Kini Inpex menggandeng Shell, perusahaan migas asal Belanda untuk mengembangkan Blok Masela. Shell sendiri sedang mengerjakan proyek floating LNG (FLNG) raksasa di Australia. Pemda Maluku sedang berjuang untuk mendapatkan participating inerest 10% .

Awalnya, lapangan Abadi, Blok Masela, diperkirakan akan mulai berproduksi tahun 2017, sehingga dapat menjadi negara pertama yang memproduksi gas melalui skema FLNG. Namun, rencana tersebut rupanya meleset. Saat ini baru pengembangan blok Masela baru memasuki tahapan design engineering. Setelah itu, akan dilanjutkan ke tahap konstruksi. Bila berjalan sesuai rencana, maka lapangan Abadi di Blok Masela baru mulai berproduksi sekitar tahun 2018-2019.


Persoalannya, kontrak Inpex mengelola Blok tersebut akan berakhir 2028. Artinya, Inpex dan mitranya hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan proyek raksasa tersebut. Kondisi ini yang membuat CEO dan management Inpex “galau hati”. Alasannya, waktu pengembalian investasi tidak cukup 10 tahun untuk sebuah proyek dengan skala besar seperti Blok Masela. Karena itu bisa dipahami bila kemudian Inpex mengajukan perpanjangan, bahkan sebelum proyek tersebut beroperasi. Perusahaan itu tampaknya membutuhkan kepastian dan dukungan dari pemerintah terhadap rencana investasi jangka panjangnya di Indonesia.


Sisi positifnya, CEO Inpex dalam pertemuannya dengan Presiden menyampaikan komitmen jangka panjangnya berinvestasi di Indonesia. Ini melegakan apalagi kondisi ekonomi dunia dan Indonesia saat ini sedang terguncang. Ekonomi dunia melemah, ekspor Indonesia tertekan dan mata uang rupiah melemah terhadap dolar AS, sementara utang membengkak di atas pembukuan akibat melemahnya rupiah. Di saat Indonesia sedang giat-giatnya berupaya untuk meyakinkan investor untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya migas, Inpex maupun mitranya Total E&P Indonesie, menyampaikan komitmennya. Ini merupakan ‘bonus’ bagi pemerintah.


Bola sekarang ada di tangan pemerintah. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah memainkan bola tersebut. Tentu tujuannya mencetak “goal”, yakni kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Apapun keputusan pemerintah terkait hak operatorship Blok Mahakam nantinya dan perpanjangan Blok Masela, keputusan tersebut harus mengedepankan kepentingan negara dan bangsa, bukan kepentingan kelompok. Kita berharap pemerintah akan mengambil keputusan yang bijak sejelah melakukan evaluasi menyeluruh dan mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko. (*)

Senin, 16 September 2013

Polisi Cantik, Rekening Gendut dan Aksi Teror


Wajah-wajah manis Polwan
Apa yang muncul dalam pikiran Anda ketika menyebut kata POLISI Republik Indonesia (Polri)?  Jawabannya pasti bermacam-macam. Mungkin ada ada yang membayangkan seorang polisi yang dengan wajah sangar mendekati Anda, siap memberikan tiket pelanggaran lalu lintas (tilang). 

Bagi yang rajin menonton tayangan kondisi lalu lintas melalui sebuah televisi swasta, Metro TV mungkin Anda membayangkan wajah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang muncul dengan senyum manis, tak kalah dengan artis sinetron. 

Pikiran kita juga mungkin membayangkan polisi lalu lintas yang dengan sabar mengatur lalu lintas atau polisi yang mengejar penjahat atau pelaku teror. Anda tidak dipersalahkan bila yang muncul adalah bayangan polisi ‘gendut’, bukan bentuk tubuhnya yang tidak proporsional, tapi membayangkan rekeningnya yang membengkak hingga triliun rupiah.

Lihat saja polisi Aiptu Labora Sitorus yang kini ditahan terkait kepemilikan rekening Rp1.5 triliun yang diduga diperoleh dari cara memanfaatkan posisinya saat bertugas di Papua. Ia diduga terlihat bisnis haram pengolahan kayu ilegal di Sorong, Papua Barat. Menurut laporan Tempo, Sitorus juga diduga terlibat dalam distribusi BBM ilegal.

Kasus yang heboh yang menyita perhatian masyarakat dalam beberapa bulan terakhir adalah kasus Simulator SIM yang melibatkan Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, sebagai salah satu terdakwa. Ia dituduh memperkaya diri sendiri sebesar Rp88,446 miliar dalam proyek senilai lebih dari Rp 198 miliar.

Tidak mengherankan bila institusi kepolisian disebutkan sebagai salah satu lembaga terkorup. Hari ini, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menyebutkan Korps Bayangkara dan DPR sebagai lembaga terkorup. Kontan, hasil penilaian KPK tersebut membuat berang institusi kepolisian.

Police officers stand over the body of a comrade who was gunned down on Tuesday night in a drive-by attack in South Jakarta, blamed on terrorists. (EPA Photo)
Seorang anggota Polisi ditembak. (foto JG/EPA)
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie menantang KPK untuk menunjuk polisi yang melakukan tindak pidana korupsi agar bisa diminta pertanggungjawabannya. Ia meminta KPK untuk menunjukkan elemen polisi mana yang melakukan tindakan korupsi atau rawan terjadi tindak korupsi. 

Tentu tanggapan Kadiv Humas Polri tersebut ingin membela institusi Kepolisian RI. Namun, merujuk berbagai kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota polisi belakangan ini merupakan bukti nyata betapa praktik korupsi masih merajalela di lembaga yang memiliki tugas untuk melindungi masyarakat tersebut.

Berbagai kasus korupsi yang melanda Kepolisian Indonesia (Polri) belakangan ini bertolak belakang dengan upaya kepolisian untuk memperbaiki imej atau persepsi publik terhadap polisi. Lihatlah berbagai spanduk atau iklan layanan masyarakat yang bertebaran di berbagai tempat bahwa polisi adalah “pelindung masyarakat”, “pelayan masyarakat”. Belum lagi wajah-wajah manis Polisi wanita yang saban hari menyapa pemirsa memberikan laporan terkini terkait kondisi lalu lintas setiap pagi, siang atau sore hari.
 
Di tengah tipisnya kepercayaan publik pada lembaga kepolisian, kini muncul masalah baru, aksi penembakan terhadap anggota kepolisian. Dalam satu-dua bulan terakhir, beberapa orang anggtoa polisi tewas ditembak oleh orang-orang yang tidak kenal. Motif aksi tersebut belum diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan penembakan terhadap polisi merupakan aksi balas dendam anggota jaringan teroris, tapi ada juga yang menyebutkan aksi tersebut merupakan tindakan kriminal biasa yang kebetulan korbannya adalah anggota polisi.
Ataukah jangan-jangan aksi tersebut merupakan aksi pihak tertentu untuk menempatkan polisi sebagai korban. Sasarannya adalah untuk mendapatkan simpati publik bahwa polisi adalah korban. Dengan adanya aksi ‘teror’ tersebut, pemerintah dan DPR perlu meningkatkan anggaran kepada institusi Polisi. 

Teori konspirasi seperti bisa saja muncul, apalagi kemudian muncul pernyataan berbagai pihak agar DPR dan pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk Polri. Bila cara ini yang dilakukan, “kebangetan” dan tentu kita tidak mengharapkan hal ini yang melatarbelakangi aksi penembakan kepada anggota polisi belakangan ini.

Melihat berbagai kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota polisi, tampaknya Polri perlu bekerja lebih keras lagi untuk melakukan reformasi internal. Polisi adalah bagian dari masyarakat dan memiliki tugas berat untuk menjaga keamanan, melindungi dan memberi rasa aman pada masyarakat. Maka, publik pun punya kepentingan memiliki lembaga kepolisian yang bersih, berwibawa dan mengayomi masyarakat. Bila itu terjadi, maka tidak sulit bagi polisi untuk mendapatkan dukungan publik.

Sebagai warga negara, tentu kita mengharapkan agar Polri melakukan reformasi internal agar Polri menjadi lembaga yang bersih dan berwibawa. Pada saat yang sama, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan bagi anggota polisi agar anggota polri lebih fokus pada tugasnya, dan tidak berpikir untuk “nyambi” mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Tentu, meningkatkan kompensasi atau gaji, tidak serta merta menghilangkan praktik korupsi, namun hal itu penting apalagi bagi anggota polisi di tingkat bawah. Masyarakat dapat bertindak sebagai pengawas bagi reformasi internal polisi. (*)