Senin, 29 Juli 2013

Menanti Skema Baru Pengelolaan Blok Mahakam

Beberapa waktu lalu JM Guillermou, senior VP Asia Pacific Total, mengunjungi Indonesia. Dari berita-berita yang muncul di media, kita tahu Total menawarkan periode transisi 5 tahun. Participating Interest (PI) Total dan Inpex menurun dari masing-masing 50% menjadi 35%, sementara Pertamina akan memiliki 30%. 

Dari tawaran tersebut terlihat perusahaan migas asal Perancis tersebut tidak terlalu ngotot untuk melanjutkan pengelolaan blok Mahakam, karena toh perusahaan Perancis tersebut masih memilik blok-blok migas yang akan dikembangkan baik di Indonesia maupun di kawasan lain.

Tampaknya, Total berkomitmen untuk melakukan transfer teknologi.
 
Sebagai perusahaan yang telah mengoperasikan blok Mahakam selama 40 tahun, tentu Total punya tanggungjawab moral untuk memastikan tidak terjadi perubahan yang ekstrim pada pengelolaan blok Mahakam. Perusahaan asal Perancis tersebut tidak menginginkan terjadi disruption pada produksi gas alam serta gejolak internal karyawan yang saat ini berjumlah lebih dari 3,000, serta mitra bisnis dan komunitas lokal.

Siapapun pasti menginginkan agar produksi gas alam di Blok Mahakam tidak terganggu. Bila terganggu hal itu akan membawa dampak negatif, termasuk pengurangan pendapatan pemerintah. Untuk sebuah pengelolaan blok yang besar dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan akan terjadi gangguan pada operasional perusahaan bila proses transisi tidak disiapkan. Kalaupun ada operator baru atau ada partner baru yang masuk ke blok tersebut, RISIKO SEKECIL APAPUN harus dicegah/dihindari.

Pertamina adalah perusahaan national oil and gas company (NOC) yang profesional dengan kapasitas yang terus meningkat. Hal itu kita bisa saksikan pada beberapa blok migas yang telah dioperasikan seperti Blok ONWJ atau blok West Madura Offshore (WMO) di Jawa Timur. Namun, pengelolaan kedua blok tersebut tidak bisa dijadikan alasan dan tolok ukur bagi Pertamina untuk mengklaim bisa mengelola Blok Mahakam.

WMO dan Blok Mahakam tidak bisa disamakan baik dari skala produksi, kompleksitas layer underground blok, tingkat investasi, teknologi yang dibutuhkan maupun nilai investasi setiap tahun untuk mempertahankan produksi. Pertamina perlu beradaptasi dengan Blok Mahakam. Pertamina perlu mendapatkan pelatihan yang cukup terkait pengembangan dan pengelolaan blok Mahakam.

Efisien
Pertanyaan yang kadang mengemuka di kalangan industri migas adalah apakah efisien bagi Pertamina untuk mengalokasikan mayoritas investasi tahunannya untuk investasi di blok yang sedang declining? Bukankah lebih efektif bila Pertamina mengalokasikan investasi tersebut untuk mengembangkan proyek-proyek besar yang dimilik Pertamina seperti East Natuna, misalnya.

Dari sisi pemerintah, pengalihan operator ke Pertamina dari Total tidak berarti pemerintah akan mendapatkan income atau pendapatan lebih. Yang akan diperoleh Pertamina, sama atau bahkan bisa berkurang, bila produksi terus menurun. Pada saat yang sama, pemerintah kehilangan potensi investasi US$7.5 miliar dalam beberapa tahun ke depan seperti yang dijanjikan Total.

Kontrak pengembangan blok Mahaka yang  saat ini dipegang Total EP Indonesie dan mitra non-operatornya Inpex asal Jepang, yang juga merupakan operator Blok Masela, akan berakhir pada Maret 2017. Berakhirnya kontrak blok Mahakam, berbarengan dengan berakhirnya beberapa blok migas lainnya.

Seperti yang diberitakan di media masa, Total saat ini masih melanjutkan investasi pengembangan lanjutan beberapa lapangan, sesuai dengan PoD yang telah disepakai bersama dengan SKK Migas (sebelumnya BPMIGAS). Untuk proyek-proyek yang akan beralanjut hingga pasca 2017, tampaknya ditunda oleh Total sambil menanti keputusan pemerintah soal kontraktor baru Blok Mahakam. Untuk itu, sangat logis bila Total and Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait pengelolaan blok Mahakam pasca 2017.

Penundaan keputusan akan berdampak pada penurunan drastis produksi Blok Mahakam jelang atau setelah 2017. Penundaan juga bisa berdampak pada pekerja atau karyawanTotal EP Indonesie yang bekerja di Blok Mahakam. Perwakilan pekerja Blok Mahakam beberapa waktu lalu telah menyatakan harapan mereka kepada pemerintah agar operator blok Mahakam pasca 2017 segera diputuskan. Kondisi ketidakpastian ini tentu akan berdampak buruk pada konsentrasi kerja pekerja karena mereka khawatir akan nasib mereka.

Penundaan tidak hanya berdampak pada gangguan produksi dan potensi pendapatan pemerintah dari Blok Mahakam, tapi juga berdampak pada meningkatnya risiko sosial karena pekerja di blok ini khawatir akan kehilangan pekerjaan.

Karena itu, sebagai warga masyarakat, kita berharap pemerintah akan segera membuat keputusan terkait operator blok Mahakam, tidak menunggu hasil Pemilu 2014 nanti. Bila menunggu pemilu 2014, boleh jadi keputusan akan ditunda lagi, karena pemerintah baru hasil pemilu masih membutuhkan waktu lagi untuk mempelajari blok Mahakam.  

Saat ini ada desakan dari kelompok-kelompok tertentu agar Blok Mahakam diserahkan ke Pertamina. Kalau Blok Mahakam diserahkan ke Pertamina, hendaknya itu dilakukan dengan kepala dingin. Jangan sampai nasionalisme sempit membutakan mata kita.

Pertamina dan pemerintah perlu mempelajari cadangan yang tersisa, bagaimana profil produksi pasca kontrak berakhir 2017. Dalam beberapa tahun terakhir dan beberapa tahun ke depan, produksi gas terus merosot, bahkan beberapa train LNG di Bontang ada yang sampai dihentikan karena pasokan merosot.

Blok Mahakam memiliki tingkat kompleksitas yang cukup rumit. Perlu juga dilihat kondisi reservoir di Delta Mahakam karena reservoir tidak terdiri dari beberapa reservoir saja, tapi terdiri dari ratusan reservoir-reservoir kecil. Konsekuensinya, ratusan sumur baru harus di-drill setiap tahun dan tentu berdampak pada tingginya tingkat investasi.

Pertanyaan lain adalah apakah cukup ekonomis bagi Pertamina untuk berinvestasi mengembangkan blok Mahakam. Pemerintah dituntut untuk melakukan hitungan cermat dengan memperhatikan segala risiko yang mungkin terjadi.

Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan pernah menyatakan pihaknya harus realistis dalam mengakuisisi blok gas Mahakam. Pertamina tidak akan mengambil 100% saham blok tersebut tapi membuka peluang kerjasama (partnership). (Metronews.com, 28 Februari)

Ia mengatakan kemitraan dengan kontraktor lain dalam pengelolaan Blok Mahakam yang berskala besar dimungkinan, apalagi dalam hal transfer teknologi. Ia mencontohkan perusahaan migas asal Norwegia, StatOil bisa maju lantaran mendapat transfer teknologi dari kemitraan dengan British Petroleum.

Pemerintah punya opsi atau skema baru untuk Blok Mahakam, memperpanjang operatorship pada operator yang sekarang, memberikan hak pengelolaan kepada operator baru, atau kombinasi operator yang saat ini dengan mitra baru, seperti yang diusulkan Total. Kita berharap pemerintah akan mengambil keputusan yang bijak, rasional dengan mempertimbangkan segala risiko. Boleh jadi opsi masa transisi 5 tahun seperti yang diusulkan Total merupakan opsi yang paling pas, atau win-win solution dengan minim risiko. (*)

Rabu, 24 Juli 2013

Anjungan Minyak Lepas Pantai Sasaran Pencurian



Kawanan pelaku pencurian (foto Pikiran Rakyat)


Dalam beberapa tahun terakhir anjungan-anjungan minyak dan gas lepas pantai jadi sasaran pencurian. Target utama yang disasar para pencuri adalah tiang besi, lempeng baja atau material besi lainnya pada anjungan lepas pantai yang tidak berpenghuni atau unmanned platform.  Mengapa anjungan lepas pantai diincar? Mengapa kasus-kasus pencurian ini sering terjadi? Bagaimana mencegahnya?

Kasus pencurian besi pada anjungan lepas pantai ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa eksekutif minyak dan gas baik perusahaan asing maupun nasional terkadang mengeluhkan hal ini. Petinggi anak perusahaan Pertamina PHE ONWJI yang mengoperasikan lapangan minyak lepas pantai utara Jawa – yang sebelumnya dikelola BP – sudah beberapa kali mengeluhkan hal ini.

Beberapa media juga sudah beberapa kali melaporkan kasus pencurian pada fasilitas anjungan lepas pantai. Pada Juni 2007, misalnya, kawanan pencuri berupaya mencuri lempengan besi baja yang nilainya milyaran pada sebuah anjungan lepas pantai. Beruntung, jajaran TNI Statiun Angkatan Laut (Sional) Cirebon kalau itu menggagalkan aksi kawanan pencuri tersebut. TKP saat itu berada di sekitar 20 mil dari perairan Indramayu.

Pada Maret 2013 lalu, sekelompak orang berusaha mencuri tembaga dengan pura-pura memancing. Rupanya, yang diincar bukan ikan tapi besi dan lempeng tembaga anjungan lepas pantai milik Pertamina, namun aksi mereka kepergok warga yang melintas menggunakan perahu. Rupanya warga yang melihat, melaporkan ke polisi air dan tidak lama kemudian polisi air meluncur dan menangkap kelompok Lima Sekawan itu.

Kemungkinan besar, kasus pencurian material pada anjungan lepas pantai lebih sering terjadi dibanding yang dilaporkan media masa atau yang berhasil ditangkap aparat. Rupanya, penangkapan kawanan pencuri tersebut tidak atau belum berhenti juga. Hari ini kita kembali mendengar berita bahwa sebanyak 31 orang pelaku pencurian fasilitas anjungan lepas panta milik PT Pertamina di lepas pantai utara Jawa ditangkap Polair Polda, Jawa Barat 22  Juli atau Senin sore.

Dalam beberapa kasus mereka bergerak sendiri dengan menggunakan perahu, tapi pada saat tertentu mereka bekerjasama dengan nelayan yang kepepet akibat harga BBM yang terus naik dengan sistem bagi hasil, seperti yang terjadi sore hari kemarin.

Apa yang mereka incar? Minyak? Tentu tidak. Yang diincar adalah besi atau lempeng tembaga. Bisa diduga hasil pencurian besi dan lempeng tembaga kemudian dijual ke bandar pengumpul besi tua. Nah, karena besi atau lempeng yang dijarah dari anjungan minyak, pasti dihargai mahal oleh penadah. Betapa tidak, kualitas besi atau lempengan baja di lepas pantai memiliki standar kualitas yang sangat tinggi dibanding misalnya material besi atau lempengan baja yang digunakan di darat agar dapat bertahan puluhan tahun dan tidak rusak oleh air laut, panas atau hujan.

Kasus-kasus pencurian di atas sangat berbahaya karena dapat berakibat fatal bagi platform atau anjungan migas terebut. Bila terjadi pencurian, operator harus memperbaikinya dan tentu ini akan mempengaruhi operasi/produksi minyak dan gas. Bukan tidak mungkin terjadi kerusakan besar, misalnya, kerusakan permanen pada platform, yang tentu anjungan tersebut tidak berfungsi dan harus diganti total.

Melihat kasus di atas, terlihat bahwa para penjarah besi kini tidak lagi hanya beroperasi di daratan, tapi juga di lepas pantai yang notabene besi atau bajanya memiliki kualitas yang sangat tinggi. Karena itu, perusahaan migas dan aparat keamanan perlu meningkatkan patroli untuk menjaga aset-aset strategis.

Sebetulnya, pemerintah sudah mengantisipasi gangguan yang terjadi pada fasilitas produksi migas, baik yang di darat maupun di laut. SKK MIGAS, saat masih menjadi BPMIGAS, telah menandatangani kerjasama dengan pihak keamanan untuk menjaga fasilitas-fasilitas produksi migas, baik yang dimiliki perusahaan nasional maupun multinasional (MNC). Beberapa fasilitas produksi migas yang strategis seperti BP Tangguh, Masela, Blok Mahakam, Cepu dan lainnya mendapatkan perhatian khusus dari aparat keamanan.

Kita berharap kasus-kasus pencurian meterial pada fasilitas produksi dapat dicegah agar tidak terjadi lagi karena hal tersebut dapat mengganggu proses produksi minyak dan gas. Pemerintah maupun aparat keamanan perlu mengidentifikasi daerah-daerah mana atau fasilitas mana saja yang kemungkinan besar menjadi target pencurian. Pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan juga perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar wilayah operasi agar dapat bersama menjaga fasilitas produksi migas agar tidak terganggu. (*)

Rabu, 17 Juli 2013

Menteri ESDM Jero Wacik dalam Pusaran Berita

By Irfan Toleng

Beberapa pejabat Indonesia terkadang membuat pernyataan blunder yang memancing protes dari masyarakat. Salah satu pejabat yang masuk kategori ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Indonesia atau ESDM (Indonesian Oil and Gas Minister) Jero Wacik. Boleh jadi Menteri Jero Wacik membuat pernyataan menyesatkan setelah mendapat tekanan hebat mulai dari kontroversi kenaikan harga BBM bersubsidi, pro-kontra perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total dan Inpex sebagai partnernya maupun kisruh internal Partai Demokrat.

Menteri ESDM Jero Wacik
Menteri Jero Wacik membuat blunder dengan menyebut media online seperti ‘surat kaleng’ karena sering membuat berita dengan narasumber tidak valid.

“Media online itu bikin berita ngga jelas, sumbernya ngga jelas. Kalau media cetak kan jelas, kalau ada apa-apa bisa dikritik, ketahuan penulisnya, bisa ditelepon. Kita ini harus cerdaslah, jangan bikin berita yang enggak jelas,” uja Jero Wacik Jumat 17 Juli 2013 seperti yang dikutip Tribunnews.com (12/7/2013).

Kontan saja, pernyataan Menteri ini ditentang habis-habisan oleh awak media online dan pengamat media. Reaksi awak media terlihat dari pemberitaan yang ramai memuat komentar Jero Wacik sekaligus memuat serangan balik terhadap Menteri ESDM asal Partai Demokrat ini. Pemberitaan di media-media sosial dan milis-milis pun ramai memperbincangkan komentar Menteri Jero Wacik. Sebagian bahkan menggunakan kata-kata tak etis.

Menteri Jero Wacik dilukiskan sebagai menteri yang tak paham media. Menteri yang tak paham dengan tugasnya. Sebetulnya, bukan kali ini saja Menteri Jero Wacik mendapat kritikan dari media. Sebelumnya, dia juga membuat komentar yang melecehkan pekerja media.

Dulu Menteri Jero juga pernah mengatakan, ‘wartawan diajak makan siang saja biar nggak buat berita macam-macam.” Pernyataan tersebut juga langsung mendapat reaksi negative dari masyarakat.

Ikatan Wartawan Online (IWO) pun mengancam melaporkan Menteri ESDM ke Mabes Polri menyusul pernyataannya yang menyebut media online seperti surat kaleng. Ketua Umum Pengurus Pusat IWO, Kresna Budhi Chandra menyesalkan pernyataan ‘sesat’ Jero Wacik. Tidak pantas pernyataan blunder seperti itu keluar dari mulut seroang Menteri.

Suka atau tidak suka, saat informasi dan berita saat ini bergerak cepat, setelah munculnya berita online. Sumber berita dan penerima berita atau pembaca berita diuntungkan dengan berita yang bergerak cepat. Berkat adanya online, letusan gunung api Merapi atau gempa di Jawa Tengah dapat diketahui publik dengan sangat cepat.

Pernyataan atau pengumuman yang dikeluarkan pemerintah, katakanlah, soal kenaikan harga BBM bersubsidi dapat langsung diketahui masyarakat saat itu juga, tanpa harus menunggu berita cetakan keesokan harinya.

Menteri Jero memang kemudian meminta maaf secara terbuka kepada industri media. Dia mengklarifikasi bahwa yang dia maksudkan sebagai surat kaleng itu adalah komentar-komentar pembaca di akhir berita, yang menurut dia sulit diidentifikasi. Permintaan maafnya pun dimaklumi oleh pelaku industri media dan meminta Menteri Jero untuk lembih memahami industri media. Tetapi permintaan maaf selalu datang terlambat. The damage has been done.

Dalam beberapa bulan belakangan, Menteri ESDM ini memang sering menjadi pusat atau narasumber berita. Mulai dari isu harga BBM bersubsidi, perpanjangan kontrak Blok Mahakam, kritik pelaku industri berbagai kebijakan pemerintah seperti larangan mengekspor bahan mineral mentah, dsbnya.

Di kalangan industri migas, Menteri ESDM Jero Wacik terkadang dikritik karena lamban dalam mengambil keputusan dan tidak memahami industri migas. Saat dipilih jadi menteri ESDM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikritik karena memilih menteri ESDM yang bukan berasal dari industri migas, sehingga kemampuannya untuk mengambil keputusan diragukan. Saat itu, pelaku industri merasa terbantu karena wakil menteri (Wamen) saat itu (yang sudah almarhum) merupakan orang Migas.

Apa yang dikeluhkan atau yang diinginkan oleh pelaku industri migas dapat cepat dipahami oleh Wamen. Nah, Menteri Jero saat itu sangat terbantu dengan kehadiran sang Wamen, sehingga kekurangan pengalaman dan pengetahuan dia tentang industri ESDM dilengkapi oleh kehadiran sang Wamen. Menteri tahu beres, tinggal ketok palu.

Salah satu contoh adalah lambannya pemerintah dalam membuat keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi. Menteri ESDM dan pemerintah membiarkan perdebatan terkait kenaikan harga BBM bersubsidi berlarut-larut. Toh, akhirnya pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi pun naik. Kenaikan harga BBM dikritik publik karena tidak tepat –jelang lebaran dan saat keluarga-keluarga membutuhkan biaya besar untuk biaya sekolah anak-anak mereka.

Contoh lain adalah lambannya Menteri ESDM dalam memutuskan kontraktor atau operator (KKKS) Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Total EP Indonesie (sebagai operator) bersama perusahaan minyak raksasa asal Jepang Inpex (sebagai silent operator/partner).

SKK Migas sendiri mengakui keputusan perpanjangan atau tidak atas pengelolaan blok Mahakam sudah seharusnya dilakukan tahun lalu 2012. Yang terjadi, Menteri ESDM bersama pemerintah membiarkan perdebatan berkepanjangan mengenai operator blok Mahakam setelah kontrak Total dan Inpex berakhir 2017.

Siapapun yang bergerak di industri migas tahu investasi di proyek-proyek migas itu bersifat jangka panjang. Investasi saat ini baru akan kelihatan hasilnya paling cepat 5 tahun. Saat ini operator Blok Mahakam sedang menyelesaikan pengembangan beberapa lapangan migas dalam Blok Mahakam, yang sudah dimulai beberapa tahun silam dan baru selesai dalam 1-2 tahun mendatang. Tujuannya agar produksi blok tersebut tidak menurun.

Nah, agar produksi pasca 2017 tidak menurun drastis, maka pengembangan lapangan baru atau sumur-sumur baru yang menelan biaya ratusan juta dolar hingga miliaran dolar sudah harus dimulai saat ini. Karena itu, bisa dimengerti mengapa pelaku industri migas dan operator berharap pemerintah segera membuat keputusan terkait operatorship blok Mahakam.

Dikhwatirkan bila menunggu hasil pemilu 2014, bisa jadi keputusan bakal ditunda lagi karena pemerintah baru belum tentu langsung tancap gas. Pemerintah baru kemungkinan membuat perencaan dulu, membuat kebijakan dulu dan boleh jadi keputusan perpanjangan atau tidak diperpanjang atau melalui skema khusus, baru bisa diputuskan tahun 2015 atau 2016. Artinya, keputusan hanya setahun atau dua tahun sebelum kontrak berakhir. Bila ini terjadi, maka patut disesalkan karena waktu terlalu mepet bagi operator lama atau operator baru. (*)

Senin, 15 Juli 2013

Antara Nairobi dan Nabire



 Oleh Iran Toleng*
Kota Nabire ( sumber: traveldojo.com)
Kekerasan dan kekerasan terus berlangsung di negeri ini. Bukankah ini negeri yang berlandaskan Pancasila yang mengedepankan KeTuhanan? Mengedepankan Kemanusiaan yang adil dan BERADAB? Tapi mengapa kekerasan terus terjadi?

Senin, 15 Juli kemarin, merupakan hari pertama anak-anak kembali ke bangku sekolah. Seperti halnya orang-tua yang lain, saya pun mencuri waktu untuk menghantar anak kembali ke sekolah pada hari pertama ini. Rutinitas pagi untuk membaca koran saya lewatkan dulu. Namun saya sempat membaca judul dan halaman pertama koran pagi.

Sebuah kejadian menyesakkan dada ketika membaca sebuah berita bahwa belasan orang meninggal terinjak dan kehabisan napas atau oksigen saat pertandingan tinju (boxing match) di sebuah kota di Papua Barat, Nabire. Saya hampir tidak percaya. Awalnya, saya berpikir kericuhan (violence) tersebut berlangsung di sebuah kota indah di Afrika, Nairobi. Eh, tahu-tahunya kejadian tersebut di kota Nabire, Papua Barat. Terdengar mirip-mirip bukan?

Nairobi (source: Wikipedia)
Nairobi adalah ibukota Kenya. Nama ini berasal dari bahasa suku Maasai Ewaso Nyirobi yang berarti "air sejuk". Nairobi adalah salah satu kota terbesar di Afrika dan tentu saja kota yang eksotik. Kita mengenal negara ini melalui tayangan-tayangan National Geography (NG) di televisi. Biasanya tayangan-tayangan bertemakan kehidupan wildlife Afrika. Kota ini memiliki penduduk sekitar 3 juta jiwa dengan wilayah sekitar 150 km2 . (sumber: Wikipedia) 

Sementara Nairobi, eh Nabire, merupakan sebuah kota di Papua Barat. Nabire adalah ibukota Kabupaten Nabire yang terletak di punggung Papua. Saya sendiri belum menginjakkan kaki di Nabire. Tapi saya sudah beberapa kali menginjakkan kaki di kota-kota lain yang dekat Nabire, seperti Manokwari, Sorong atau Biak. Saya pun pernah menyusuri beberapa tempat di Papua termasuk bagian dagu 'kepala burung'. Alamnya yang indah dan alami membuat saya selalu ingin kembali ke Papua.

Kejadian yang terjadi di Nabire pada hari minggu 14 Juli mengganggu pikiran dan hati saya. 

Kericuhan antar penonton tersebut ternyata terjadi di negaraku, tempat kaki berpijak dan bumi dijunjung. Penyebab kejadian terdengar sepele. Sekelompok pemuda yang juga penonton melemparkan kursi ke penonton lain yang kabarnya tidak menerima jagoannya kalah dalam pertandingan tinju memperebutkan piala Bupati Nabire

Bisa dibayangkan, penonton lain seperti berbalas pantun, melemparkan kursi. Singkat kata, terjadilah kericuhan yang tidak terkendali. Penonton yang meninggal dalam tragedi tersebut rata-rata akibat terinjak-injak atau kehabisan oksigen.

Dan kejadian tersebut terjadi dalam sebuah gedung dengan kapasitas sekitar 9,000 orang. Penonton, menurut laporan koran-koran, berjumlah sekitar 1,000 orang. Sang Bupati pun berada di dalam dan ikut menonton, tapi selamat/diselamatkan. 

Sebetulnya, kalau tidak terjadi amuk penonton, tinju tersebut seharusnya berjalan biasa-biasa saja dan pasti tidak sampai masuk headline atau berita utama koran nasional. Apalagi kejadiannya jauh di ufuk timur.

Pertanyaan awam, dimanakah pihak keamanan? Apakah pihak keamanan tidak bisa menenangkan masa? Aparat keamanan tidak mampu menenangkan masa? Apakah pihak penyelenggara tidak menyiapkan aparat keamanan yang cukup atau tidak mampu mengendalikan emosi penonton?

Pemerintah kini sedang melakukan investasigasi untuk mencari tahu penyebab dan siapa-siapa saja yang bertanggungjawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah memerintahkan aparat untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kejadian tersebut.

Kericuhan di Nabire terjadi hanya berselang seminggu setelah terjadi kerusuhan dalam sebuah penjara, dalam kata halusnya, lembaga pemasyarakatan (lapas) di sebuah kota di Sumatera Utara. Para penghuni lapas membakar gedung yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan luka-luka, baik pegawai lapas maupun penghuni penjara . Kabarnya, kericuhan terjadi karena air mati. Masalah air ini menyulut kemarahan penghuni lapas. Jangan-jangan masalah ini hanya menjadi trigger saja. Ada masalah besar sebelumnya yang tidak terselesaikan.

Dua kejadian tersebut di atas hanya merupakan rentetan peristiwa kekerasan di Republik ini. Sebulan lalu, kaum minoritas Syiah di Sampang, Madura dipaksa mengungsi. Kehadiran mereka tidak dikehendaki oleh warga lain, yang notabene mungkin masih punya ikatan atau hubungan darah.

Peristiwa-peristiwa kekerasan, kemarahan, kericuan, kerusuhan, amuk masa kerap menghiasi pemberitaan media-media baik cetak maupun online akhir-akhir ini.

Pertanyaannya, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut kerap terjadi? Mengapa sekelompok masyarakat begitu mudah tersulut emosinya dan melakukan tindakan diluar kendali? Mengapa kekerasan dilakukan hanya karena berbeda keyakinan dan/atau iman? Mengapa cara kekerasan yang kadang atau malah sering dilakukan?

Jawabannya dan penyebabnya pun bisa menjadi bahan perdebatan. Para ilmuwan pasti punya jawabannya sendiri-sendiri. Pihak pemerintah pasti punya jawabannya sendiri.

Saya sendiri berpikir kekerasan hanya merupakan output atau cerminan dari sebuah kondisi masyarakat yang sakit jiwa. Kondisi tersebut terjadi akibat lingkungan masyarakat yang tidak sehat, mulai dari lingkungan terkecil, KELUARGA, komunitas hingga lingkungan yang lebih luas. Bahasa yang dipakai adalah kebencian, ketidakadilan, bahasa rimba, bahasa yang hanya digunakan di kebun binatang.  

Bahasa yang dipakai bukan bahasa manusia, bahasa KASIH. Bahasa yang saling menghargai sesama. Tidak ada hukum yang berlaku. Yang dipakai, hukum rimba, siapa kuat dia menang.

Saya hanya berharap anak-anaku yang saya temani pergi kesekolah pada hari pertama sekolah kelak menjadi pelita bagi sesama. Dan generasi mereka akan menjadi generasi yang lebih baik. Semoga. (*)