Senin, 17 Maret 2014

Pengumuman Jokowi Sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dan Reaksi Media



Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com)
Spekulasi publik dalam beberapa bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara resmi mengumumkannya ke publik. 

Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.

Pengumuman pencapresan Jokowi jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana, tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik. 

Pengumuman tersebut juga membuat peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi dengan Partai lain? 

Perbincangan pun ramai di media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen, melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa media B cenderung menentang.

Saat ini bukan momen yang menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si pemilik media. 

Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.

Posisi dan afiliasi sebuah media dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang dimuat.

Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi dengan partai apa. 
Pertama, media-media yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan, yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV, Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam porsi kecil. 

Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.

Kedua, media-media yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com

Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu. Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya, dengan gencar memuat berita-berita dengan tone  negatif terkait pencalonan Jokowi.

Ketiga, media-media yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id, media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu, misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan telah mengkhianati warga Jakarta.

Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet, seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.

Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol oleh tycoons dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut. 

Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun, bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput atau general public.

Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik, maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur, tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan oleh pembacanya. (*)

Rabu, 05 Maret 2014

Apakah Gita Wirjawan Calon Presiden Terbaik dari Partai Demokrat dan Terbaik untuk Indonesia?



Gita Wirjawan (courtesy photo Wikipedia)
Tampaknya Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan, mantan Kepala BPKM dan mantan CEO JP Morgan Indonesia ini, sejauh ini merupakan calon presiden terbaik dari Partai Demokrat. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, persepsi di media, tanggapan dari masyarakat kelas menengah dan pengaruh di sosial media, Gita tampaknya berada di garis terdepan. Yang jauh dari kepastian adalah apakah dia merupakan sosok yang memiliki karakter yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia kedepan, jika dia terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia (RI-1)?

Gita mengawali karir politiknya dengan cukup menjanjikan. Ia merupakan sosok investment banker dan pebisnis yang sukses. Dia memiliki modal fulus yang cukup untuk maju sebagai calon Presiden melalui Partai Demokrat. Gita Wirjawan (GW), pendiri private equity fund Ancora Capital, mewakili tokoh-tokoh/profesional muda. Sebelum terjun ke dunia politik, Gita sempat menimbulkan kontroversi di antara partai-partai politik ketika incumbent Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat dia menjadi Menteri Perdagangan tahun 2011, saat Presiden SBY melakukan reshufle cabinet.

Saat dia mengundur diri sebagai Menteri Perdagangan dan memilih fokus maju berjuang menjadi calon Presiden dari Partai Demokrat, ia menuai banyak kontroversi, termasuk berbagai kasus impor komoditi, seperti beras, bawang, dll. Dia gagal menjadi Menteri Perdagangan? Boleh jadi, tapi dia tak bebas dari campur tangan pihak yang lebih berkuasa, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, salah satu menteri yang sangat berpengaruh di bawah kabinet Indonesia Bersatu jilid II saat ini. 

Sejauh ini, dia termasuk birokrat/politisi Demokrat yang bebas dari kasus korupsi, modal yang cukup untuk maju menjadi bakal calon Presiden, apalagi mengingat bejibunnya politisi senior Partai Demokrat yang tercemar, terjerat, terlibat, terjatuh dan terseret kasus korupsi yang menghantar mereka menginap di hotel prodeo tarmasuk Anas Urbaningrum, Malarangeng bersaudara, dan masih banyak lagi. 

Gita termasuk sosok yang menarik di mata para pemilih pemula untuk beberapa alasan, termasuk kecintaannya pada musik yang memudahkan dia connect dengan para pemilih pemula atau berjiwa muda. Dia sendiri memiliki record lavel, serta seorang yang secara cerdas memanfaatkan media sosial seprti twitter untuk menyebarkan pesan-pesan kampanyenya bak virus. Strategi seperti ini persis dilakukan oleh Presiden Obama saat memenangi Pemilihan Presiden Amerika Serikat. 

Masih ada nilai plus lagi. Indonesia membutuhkan investasi asing dan sebagai mantan Menteri Perdagangan yang mengenyam pendidikan di Harvard serta pengalaman menjadi kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuat dia menjadi sosok yang menairik bagi sebagian investor asing.

Faktor Negatif
Ibarat sebuah koin, kita baru melihat sosok Gita Wirjawan satu sisi. Transisi perjalanan karir dia dari seorang profesional ke dunia politik juga perlu dilihat dan dieksplor lebih jauh dan bisa menjadi batu sandungan bagi Gita untuk melanjutkan perjalanan dan perjuangan dia menjadi RI-1. Sosok dia yang pro-bisnis, dan pro-investasi kini dipertanyakan menyusul komentar-komentarnya yang cenderung pro-nasionalisasi sumber daya alam. 

Batu sandungan pertama adalah kedekatan Gita dengan Cikeas. Gita melalui yayasan dan lembaga filantropis yang dimilikinya membantu mensponsori salah satu anak Presiden SBY untuk sekolah di Harvard. Melalui lembaga-lembaga itu, dia mendukung berbagai kegiatan sosial yayasan dan aktivitas sosial Ibu Negara. Dari orang-orang lingkaran satu, terekam kesan bahwa Presiden SBY memang kagum dengan sosok Gita Wirjawan. 

Kedekatan dengan keluarga Cikeas ini dapat menjadi faktor negatif yang dapat memukul balik. Pihak-pihak atau publik yang tidak simpatik lagi dengan Demokrat dan keluarga Cikeas, dapat berdampak pada ketidaksukaan mereka pada tokoh-tokoh dan elit Demokrat yang maju sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apakah Gita berada di gelanggang yang salah? Sama seperti Anis Badeswan, pemikir dan tokoh muda yang juga maju dan berebut tiket untuk menjadi calon Presiden dari partai berlambang Mercedes itu? Hampir pasti ya. 

Batu sandungan ketiga adalah belum dikenalnya sosok Gita Wirjawan di kelompok masyarakat akar rumput. Jangan lupa, kelompok masyarakat rumput, dapat berperan sangat penting dalam memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang tak terlalu peduli dengan pertarungan di tingkat elit. Yang mereka butuhkan adalah apakah kebutuhan pokok mereka tercukupi. Ketika harga-harga kebutuhan pokok mahal, naik, maka mereka tidak akan memilih sosok yang dianggap telah gagal menjaga harga-harga kebutuhan pokok. Selembar uang biru atau merah dapat mempengaruhi keputusan mereka.

Kelompok masyarakat akar rumput lebih memilih sosok yang mereka kenal, yang mau mendengar jeritan hati mereka dan mau memahami kondisi mereka. Dan sosok itu, jatuh pada wong Solo yang kini menjadi orang nomor 1 di DKI. Gita memang sosok yang appealing di kalangan kelas menengah, well-educated, tapi tidak pada masyarakat akar rumput.

Batu sandungan keempat adalah sikap Gita yang tidak konsisten. Persepsi kalangan usaha bahwa Gita adalah pro bisnis dan pro investasi diragukan setelah dia terbawa oleh isu nasionalisasi sumber daya alam, termasuk isu Blok Mahakam. “Tidak ada keraguan dalam keyakinan saya bahwa Blok Mahakam mutlak dimiliki dan dikelola oleh bangsa sendiri," kata Gita usai mengikuti perdebatan di Balikpapan beberapa waktu lalu. Sayangnya, Gita tidak menjelaskan lebih jauh. Gita seolah mendikotomikan bangsa sendiri dan bukan bangsa sendiri, asing versus nasional. Pernyataan Gita tampaknya memunculkan kekhawatiran akan sikap anti-asing Gita Wirjawan kelak bila dia menjadi Presiden. Sikap anti-asing GW ini dapat membuat dunia bisnis menjadi antipati terhadap GW.

Seharusnya GW memberi pernyataan yang bijak bahwa semua sumber daya alam termasuk blok Migas, harus dikelola dengan baik, lebih optimal sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi Negara. Sumber Daya Alam, termasuk Blok Mahakam, tidak boleh dijadikan sebagai obyek untuk dikorupsi ramai-ramai. SDA kita, termasuk Blok Mahakam, harus dikelola secara profesional oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti saat ini, sehingga dapat menyumbang pendapatan yang lebih besar lagi bagi negara.

Publik juga belum melihat komitmen GW untuk memberantas korupsi. Dari sekian pesan-pesan di media sosial, pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, sedikit sekali dan hampir tidak ada yang menyangkut komitmen GW untuk menghancurleburkan praktek-praktek korupsi di Tanah Air. Seharusnya GW keluar dari pakem kampanye para calon presiden PD dengan mengungkapkan bahwa dia berada di garis paling depan, menjadi ksatria untuk melibas dan membasmi semua praktek-praktek korupsi, praktek-praktek kotor yang telah menjerumuskan dan menenggelamkan Indonesia selama lebih dari 60 tahun. Apakah karena ia berada di kandang Partai Demokrat yang notabene banyak tokoh-tokoh dan elit-elitnya yang terseret berbagai kasus korupsi? Hhmmm….Menjawab judul tulisan ini, maka pembaca yang membaca tulisan ini, akan dapat menjawabnya sendiri. (*)

Jakarta, 5 Maret 2014
Oleh Elang Putih, Bangkitlah Indonesiaku
Catatan ini ditulis sambil menyeruput kopi hitam asal Aceh. !!!!

Senin, 03 Maret 2014

Agar Kasus Akil Moctar Tak Terulang, Tolak Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dari Partai Politik!



Dimyati Natakusumah, calon Hakim MK dari PPP

Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang di Republik ini? Semua bisa asalkan punya uang, demikian kelakar seorang anggota DPR saat ditemui penulis beberapa waktu lalu. Sang anggota DPR tersebut mengungkapkan hal itu sebagai ungkapan kekesalannya menanggapi berbagai kasus-kasus mega korupsi belakangan ini. Tidak tanggung-tanggu, yang terlibat korupsi, tidak hanya pejabat pemerintah, lembaga peradilan, kepolisian, lembaga politik, tapi juga justru tembok terakhir penjaga keadilan di Republik ini, yakni Mahkamah Konstitusi. 

Mahkamah Konstisi adalah salah satu anak kandung dari reformasi kelembagaan di negara Pancasila ini, agar proses evolusi bernegara tetap berada di jalur yang benar, jalur yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi sebagian rakyat Mahkamah konstitusi dianggap sebagai ‘dewa’nya lembaga peradilan di Indonesia. Itu dulu, sebelum kasus korupsi yang melibatkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. 

Nama Akil Mochtar tiba-tiba saja menggetarkan jagat Republik ini lantaran tertangkap basah menerima suap dari pihak-pihak tertentu yang terlibat sebuah perkara. Kalau Akil Moctar adalah seorang kepala desa, mungkin tidak menimbulkan kehebohan dan kegusaran jagat Republik ini. Persoalannya, Akil Moctar adalah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga Peradilan yang dianggap sakral oleh sebagian rakyat. Itu dulu. 

Setelah ditelusuri dan kasusnya diproses di pengadilan khusus korupsi (Tipikor), banyak fakta-fakta yang mencengangkan terbuka. Rupanya sang mantan Ketua Hakim Konstitusi MK ini terlibat dan menerima suap untuk dengan imbalan memenangkan pihak-pihak tertentu yang berperkara. Publik tercengang karena AM terlibat korupsi ratusan miliar rupiah. Setiap perkara, AM dapat menerima suap mulai dari ratusan juga hingga miliaran rupiah tergantung magnitude sebuah perkara. 

Tidak heran bila kita sering mendengar ungkapan, ‘apa yang tidak bisa dibeli di negara ini’? Bila terlibat perkara, dan bisa menyiapkan uang puluhan milyar untuk menyuap oknum hakim, ada kemungkinan besar Anda akan memenangi perkara. Tentu tidak semua hakim seperti itu. Tapi imej hakim bisa disuap sudah terlanjur menempel di kepala masyarakat. 

Akil Mochtar boleh dibilang tidak seterkenal sekarang dibanding sebelumnya. Sebelum kasus korupsinya terbongkar, mungkin hanya segelintir masyarakat Indonesia yang mengenalnya, terutama bila rajin membaca koran setiap hari. Tapi nama AM, kini jauh lebih popular, mungkin melebih popularitas seorang artis paling terkenal di Republik ini. Sayang kepopuleran AM, bukan atas sebuah jasa bagi bangsa, tapi atas sebuah kelakuan kejahatan kerak putih, a.k.a KORUPSI. 

Nama AM kini terkenal hingga kepelosok-pelosok negara kepulauan ini, mulai dari Aceh hingga di ujung timur Indonesia, dari ujung utara pulai Kalimantan hingga selatan Republik ini, pulau Rote. Dan mungkin tidak semua orang tahu bahwa AM adalah mantan politikus Partai Golkar. 

Karena itu, ketika anggota DPR Komisi III kemarin melakukan uji fit and proper test mencari hakim agung, protes masyarakat bermunculan terhadap calon hakim MK yang berlatar belakang politikus atau petinggi sebuah partai. Salah satu yang ditentang publik adalah Dimyati Natakusumah.

Dimyati saat ini menjabat sebagai anggota DPR Komisi III dari partai PPP. Dia memenangi pilada di Daerah Pilihan Banten I dengan suara 27.187. Nama Dimyati sebagai calon hakim langsung ditentang publik. Pertama, Dimyati adalah seorang politikus dan sebagai politikus dan anggota sebuah partai, tentu ia akan membela partai yang mengusungnya. Masyarakat masih trauma dengan kasus Akil Mocthar, yang notabene anggota Partai Golkar sebelum diangkat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Masyarakat tidak ingin kasus AM terulang kembali.

Dimyati juga memiliki beberapa catatan negatif. Pada November 2009, ia sempat memanfaatkan rapat dengar pendapat Komisi III DP dengan Kejaksaan Agung untuk membeberkan dan mengadukan kasus yang membelitnya saat menjadi Bupati Pendeglang, Banten. Ia diduga memberikan uang suap sebesar Rp1,5 miliar kepada anggota DPRD Pandeglang dengan tujuan untuk memuluskan rencana pinjaman daerah sebesar Rp200 miliar pada tahun 2006 di Bank Jabar. (Sumber: Merdeka.com)

Publik rupanya sudah alergi dan muak dengan munculnya calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang datang dari Partai Politik. Kehadiran calon hakim dari Partai Politik sangat diragukan independensi mereka, karena diduga mereka masih akan bias, dan lebih memilih kepentingan partainya saat terlibat dalam memutuskan perkara yang melibatkan partai asal.

Reformasi Indonesia yang diperjuangkan pada tahun 1997-1998 telah gagal. Reformasi yang antara lain bertujuan menghapus segala praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang terjadi pada era Orde Soeharto, malah makin merajalela setelah reformasi. Korupsi atau KKN tidak hanya terjadi di lingakaran kekuasaan pusat (Ring-1) tapi malah menyebar bak virus hingga ke daerah, dan ke birokrat level paling bawah. 

Tender-tender proyek pemerintah yang seyogyanya harus dilakukan secara transparen, adil dan jujur, bahkan diselewengkan oleh berbagai pihak demi segepok atau sekardus uang dolar Singapura atau dolar AS. Belakangan dolar Singapura dan dolar AS, menjadi favorit mata uang untuk dikorupsi. Para politisi atau yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi memiliki sandi tersendiri. Mata uang dolar AS, yang ditulis dengan jelas ‘In God We Trust’, diganti tagline itu oleh para koruptor dengan kata-kata baru ‘In Corruption We Trust’.

Kembali ke proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi tadi, kita dan sebagian besar publik tampaknya menolak dan tidak setuju dengan adanya hakim yang berasal dari Partai Politik. Titik. (*)

Jumat, 21 Februari 2014

Jokowi dan Risma, Inikah Pemimpin Indonesia Masa Depan?

Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta
Risma, Walikota Surabaya
Setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang ada zamannya, kata seorang kawan. Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa setiap zaman akan lahir tokoh atau figur-figur tertentu yang mungkin tidak dibayangkan orang sebelumnya. Pada zaman kemerdekaan, lahir pemuda-pemuda penggerak, melawan penindasan penjajah. Banyak tokoh dan pahlawan yang muncul yang kemudian kita kenang sebagai pahlawan kemerdekaan. Salah satu tokoh yang muncul pada zaman Indonesia memproklamirkan kemerdekaan adalah Soekarno atau lebih tepat dwi-tunggal Soekarno-Hatta.

Ketika terjadi transisi pemerintahan tahun 1966, muncul juga tokoh-tokoh pembaharu. Demikian juga saat reformasi tahun 1997-1998, muncul figur-figur baru yang membawa perubahan. Demikian juga yang terjadi saat ini. Jelang pemilihan umum 2014, publik mulai mereka-reka, apakah akan ada muncul figur atau tokoh baru yang akan memimpin Indonesia? Ataukah Indonesia masih akan dipimpin oleh tokoh-tokoh lama? atau tokoh lama yang telah mentransformasi diri menjadi sosok baru atau sosok pembaharu? Ataukah masih akan tetap wajah dan watak lama?

Terlepas dari siapa yang bakal mempimpin Indonesia nanti, Indonesia rupanya tak pernah kehabisan tokoh atau figur-figur pembaharu yang muncul di zamannya. Pernahkah kita bayangkan 3-4 tahun lalu, publik akan mengenal sosok seperti Joko Widodo, mantan Walikota Solo, yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta? Atau pernahkah kita bayangkan sebelumnya, seorang tokoh baru dalam rupa Tri Rismaharin, Walikota Surabaya yang kini menjadi sorotan publik?

Bu Risma, demikian orang Suroboyo memanggilnya, atau lengkapnya Ir. Tri Rismaharini, M.T. merupakan anak kandung kota Surabaya, Jawa Timur. Ia lahir 20 Oktober 1961 (52 tahun). Ia menjadi Wali Kota Surabaya sejak 28 September 2010. Risma merupakan wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota Surabaya.

Insinyur lulusan Arsitektur dan paskasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini juga tercatat sebagai wanita pertama di Indonesia yang dipilih langsung menjadi walikota melalui pemilihan kepala daerah sepanjang sejarah demokrasi di Indonesa paska Refromasi 98. Risma diusung oleh partai PDI-P dan memenangi pilkada. Risma dan wakilnya dilantik 28 September 2010.

PDI Perjuangan beruntung memiliki dua tokoh baru-- Jokowi dan Risma yang menyedot perhatian publik. Kedua sosok ini berkontribusi besar dalam mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan belakangan ini. Masyarakat menyukai kedua sosok. Keduanya memiliki kesamaan.

Mereka tidak suka duduk lama-lama di kantor, tapi lebih suka blusukan atau langsung terjun ke lapangan. Keduanya tak suka hanya menerima laporan asal bapak senang (ABS) seperti yang biasa kita jumpai pada kebanyakan pemimpin-pemimpin Indonesia. Mereka lebih suka melihat atau mengecek langsung permasalahan di lapangan. Keduanya tak suka protokel-protoler yang resmi yang terkadang mengungkung seorang pemimpin.

Rupanya tidak semua orang suka dengan kemunculan dua tokoh ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan mereka, seperti penyadapan, isu-isu miring, dll. Sosok keduanya yang mencuat ke publik seperti meteor, membuat pihak-pihak tertentu seperti tak rela. Di internal partai PDIP sendiri, ada ketidaknyamanan pada petinggi-petinggi partai. Ada yang merasa partailah yang melahirkan kedua sosok ini. Namun, di kacamata publik Jokowi-Risma lah yang mendongkrak elektabilitas partai, bukan partai yang mempopulerkan keduanya.

Kedua tokoh ini sepertinya memporak-porandakan persepsi publik tentang seorang pemimpin. Dulu, seorang pemimpin harus berada di singgasana, seperti tak terjangkau oleh rakyat. Ia dipagari oleh orang-orang di sekitarnya yang mem-filter setiap informasi yang masuk dan keluar. Tapi terkadang orang-orang di sekeliling pemimpin terkadang memanfaatkan pemimpin untuk kepentingan dia sendiri. Terkadang akhirnya, orang-orang dekat itu yang menjatuhkan pemimpin tersebut.

Berbeda dengan tokoh baru seperti Jokowi dan Risma, mereka mendobrak pakem pemimpin seperti itu. Mereka tipe pemimpin yang lebih senang untuk terjun langsung (hands-on).

Namun, tidak semua orang menyukai pemimpin seperti ini. Terkadang, mereka juga dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya. Boleh jadi ada pihak-pihak tertentu yang tidak mau berubah dan tetap melanjutkan praktek-praktek lama, seperti korupsi tender, menyalahgunakan kekuasaan, dsbnya. Contoh nyata adalah, soal tender atau pengadaan bus Trans Jakarta yang didatangkan dari China. Belakangan muncul dugaan, pengadaan proyek tersebut telah di-mark-up dan dapat merugikan negara. Jokowi dan Ahok berang.

Demikian juga dengan Risma, perubahan-perubahan yang dilakukannya di Surabaya, mulai dari hal-hal kecil seperti soal pertamanan, kebun binatang, dan perubahan pelayanan publik mendapatan penolakan dari berbagai pihak yang merasa tidak nyaman dengan perubahan tersebut. Sehingga muncul isu Risma mau mundur, yang menarik simpati publik dan meminta dia untuk tidak mundur. Sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dikhabarkan meminta Risma untuk tidak mundur.

Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Apakah saat ini, merupakan eranya Jokowi-Risma? Atau paling tidak simbol tokoh yang membumi? (*)

Minggu, 16 Februari 2014

Kasus Penyadapan Muncul Kembali, Australia Sedot Data Telepon Indonesia dalam Skala Besar


Kasus penyadapan oleh Australia terhadap Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat-pejabat tinggi Indonesia yang sempat membuat hubungan Indonesia dan Australia memanas beberapa waktu lalu kini mencuat lagi. Menurut laporan media Australia (Canberra Times), penyadapan rupanya tidak hanya terhadap para pejabat tapi data-data dan pembicaraan telepon dalam skala luas. Penyadapan tersebut dilakukan melalui jaringan kabel bawah laut telepon Indosat. Penyadapan ini tampaknya akan membuat berang Indonesia karena sulit menerima hal itu dilakukan oleh tetangga terdekat dan dapat menjadi ganjalan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia kedepan.

Dokumen-dokumen rahasia yang dibocorkan oleh mantan staf kontrak inteligen AS Edward Snowden yang diperoleh The New York Times memperlihatkan bahwa target penyadapan tidak hanya terduga teroris, para politisi penting republik ini, tapi sebuah penetrasi untuk mendapatkan akses yang luas terhadap jaringan telepon dan data.

Dokumen-dokumen itu memperlihatkan secara detil kerjasama antara US National Security Agency dan Australian Signals Directorate. Untuk pertama kalinya terkuak akses yang komprehensif diperoleh lembaga spionase Australia tersebut terhadap sistem komunikasi nasional Indonesia.

Menurut dokumen NSA tahun 2012, Direktorat Sinyal Australia (Australian Signals Directorate) memperoleh data telepon dalam jumlah yang sangat banyak dari Indosat, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar Indonesia, termasuk data tentang pejabat-pejabat pemerintah di berbagai kementerian.

Dokumen tahun 2013 memperlihatkan Direktorat Sinyal Australia telah memperoleh 1.8 juta kunci master enskripsi (encrypted master keys), yang digunakan untuk melindungi komunikasi pribadi, dari Telkomsel, dan mengembangkan sebuah cara untuk melakukan decrypt atau decoding (menginterpretasi) semua data itu tanpa mengetahui master key.

Tentu ini merupakan perkembangan yang menarik. Dan lebih menarik apa isi dari data-data itu? Apakah ada data-data rahasia, pembicaraaan-pembicaraan atau komunikasi rahasia antar pejabat yang disadap? Dari kacamata hubungan diplomatis, tampaknya apa yang dilakukan oleh ASD ini sudah terlalu jauh masuk ke jaringan telekomunikasi Indonesia. Dan tentu akan memancing reaksi keras pemerintah Indonesia.

Mengomentari laporan tersebut, Perdana Menteri Australia Tony Abbott hari Minggu mengatakan pemerintahnya menggunakan materi-materi inteligen tersebut “untuk kepentingan sahabat-sahabat kami’ dan untuk “memegang teguh nilai-nilai”. Tampaknya ‘sahabat’ yang diucapkan oleh PM Australia tersebut adalah Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa beberapa waktu lalu mengatakan akan berbicara dengan Menlu Amerika saat kunjungannya ke Indonesia

Hubungan antara Indonesia dan Australia memburuk November tahun lalu setelah muncul laporan adanya penyadapan telepon terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istrinya dan pejabat-pejabat Indonesia.

Pemerintah Indonesia berang, dan berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi di Kedutaan Australia. Pemerintah kemudian menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia sebagai bentuk ungkapan protes Indonesia terhadap penyadapan tersebut. Di antara suara-suara yang memprotes penyadapan tersebut, sekelompok masyarakat berharap mudah-mudahan penyadapan itu membongkar kongkalikong dan korupsi yang merajalela di lembaga-lembaga dan kantor-kantor pemerintahan.

Pemerintah Australia dan Amerika juga telah melakukan akses pembicaraan telepon dan trafik internet melalui kabel telekomunikasi bawah laut melalui Singapura. Pemerintah Australia sebelumnya menolak mengungkap operasi inteligen yang terungkap melalui dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Snowden.  Rupanya masalah penyadapan ini bakal berlanjut. Kita tunggu periode berikutnya. (*)