Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com) |
Spekulasi publik dalam beberapa
bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan
menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
secara resmi mengumumkannya ke publik.
Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.
Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.
Pengumuman pencapresan Jokowi
jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman
tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan
Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana,
tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik.
Pengumuman tersebut juga membuat
peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang
semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi
siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah
mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi
dengan Partai lain?
Perbincangan pun ramai di
media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi
media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa
liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung
mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini
sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media
tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen,
melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa
media B cenderung menentang.
Saat ini bukan momen yang
menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi
dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si
pemilik media.
Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.
Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.
Posisi dan afiliasi sebuah media
dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait
pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas
karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau
konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan
partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang
dimuat.
Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi
dengan partai apa.
Pertama, media-media
yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini
memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung
Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi
dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau
jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan,
yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV,
Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang
atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang
memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk
kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai
calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam
porsi kecil.
Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat
memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak
bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara
dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.
Kedua, media-media
yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry
Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai
Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang
cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi
Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com
Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali
atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu.
Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya,
dengan gencar memuat berita-berita dengan tone
negatif terkait pencalonan Jokowi.
Ketiga, media-media
yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai
Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id,
media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi
oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan
menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu,
misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali
memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan
telah mengkhianati warga Jakarta.
Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif
orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet,
seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh
jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka
hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah
pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.
Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah
sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol
oleh tycoons dan pihak-pihak yang
memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi
partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut.
Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan
media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan
menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun,
bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang
independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput
atau general public.
Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya
memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan
kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media
tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik,
maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim
yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak
benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur,
tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak
menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan
oleh pembacanya. (*)