Selasa, 01 April 2014

Rakyat Indonesia Ingin Jokowi, Bukan Megawati!



Jokowi sedang blusukan di Jatim (courtesy foto Kompas)
Dalam seminggu terakhir, serangan terhadap Joko Widodo atau Jokowi, yang telah diajukan PDIP untuk menjadi calon Presiden dalam pemilihan Presiden mendatang, kian gencar. Salah satu serangan yang dilakukan bahwa Jokowi adalah ‘Capres boneka’. Benarkah demikian adanya?

Pertanyaan berikutnya, kemanakah Jokowi dalam beberapa hari? Spanduk Jokowi hanya sedikit saja yang terlihat di Ibu Kota. Iklan Jokowi pun tak ada. Yang ada adalah iklan Capres partai-partai lain yang menguasai dan gencar di televisi-televisi, yang notabene dimiliki dan atau berafiliasi dengan partai politik. Yang muncul ke permukaan adalah imej Megawati Soekarnoputri, sang ketua Partai Demokrasi Indoensia-Perjuangan (PDIP).

Gambar-gambar Jokowi di spanduk-spanduk lebih sedikit, dibanding gambar-gambar Megawati, yang dianggap sebagian pengamat sebagai sosok pemimpin yang tidak efektif. Ada kesan rakyat mulai khawatir bila Jokowi “tenggelam”, Indonesia bakal dipimpin oleh seorang sosok Capres lain, yang dapat membawa Indonesia ke situasi yang lebih buruk. Rupanya, belakangan Jokowi sedang blusukan ke berbagai daerah untuk menyapa rakyat. Jokowi perlu segera tampil kedepan, dan tidak menjadi bulan-bulanan dari serangan para lawan politiknya.

Di Hong Kong, para TKI rupanya mengidolakan Jokowi. Hanya sekitar 7,000 surat suara untuk pemilihan legislatif yang dicoblos, sisanya 100,000 tidak dicoblos. Sebagian besar urung mencoblos karena tak ada gambar Jokowi. Mereka lupa bahwa pemilihan pertama (9 April) adalah pemilihan untuk memilih anggota DPR (legislatif). Setelah itu, partai-partai yang lolos threshold akan mencalonkan calon Presiden. Rupanya mereka menunggu Pemilihan Presiden 9 Juli nanti.

Seorang warga Indonesia di sebuah negara Amerika Selatan membuat catatan di wall facebooknya. “Ini pertama kali saya coblos di luar negeri. Tapi tak ada gambar Jokowi, jadi males. Yang ada gambar-gambar wajah para calon DPR yang tidak saya kenal. Maka saya mencoba mendengar suara hati, dan menusuk sosok tertentu sambil berharap, bila beliau terpilih, dia akan menyuarakan suara saya, suara mayoritas warga yang memilih dia.”

Jokowi memang sosok fenomenal. Benarkah ia tokoh boneka? Jawabannya, “ya, Jokowi adalah bonekanya rakyat”. Jokowi bukan pula sang boneka yang dipeluk-peluk oleh seorang tokoh partai.

Masyarakat Indonesia kini sudah cerdas. Setelah beberapa kali pemilihan langsung setelah reformasi 1998, kali ini rakyat tidak ingin lagi salah pilih. Rakyat tidak ingin lagi memilih pemimpin yang doyan pencitraan, hanya memberi janji-janji manis, tapi gagal menyerap aspirasi dari akar rumput. Rakyat sudah muak memilik pemimpin dan elit-elit politik yang korup, yang gemar bagi-bagi kekuasaan dan kue APBN ke partai atau kelompok-kelompoknya.

Rakyat tidak ingin memilih partai yang mengklaim paling putih, paling bersih, paling jujur, paling amanah, paling Islami, tapi presiden atau ketua partainya, malah todong sana-todong sini, ngumpulin duit untuk menggelembungkan duit partai agar bisa mendanai pemilu berikutnya. Ujung-ujungnya bersemedi di hotel prodeo karena ketangkap basah oleh KPK.

Rakyat juga sudah belajar tidak lagi memilih partai-partai yang mengusung partai yang paling anti-korupsi, tapi ujung-ujungnya elit-elit dan kader-kader partainya justru berlomba-lomba mengumpulkan duit secara ilegal untuk kepentingan pribadi.

Untuk itulah, rakyat kini melihat sosok yang membumi, sosok yang merakyat, sosok yang jujur, tidak berpura-pura, karena ia memang berasal dari kalangan bawah. Rakyat kini mendambakan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang melayani mereka, atau a servant leader. Pemimpin yang melayani rakyatnya, bukan minta terus dilayani rakyatnya. Seorang pemimpin yang berekad menyejahterakan rakyatnya, bukan partai, kelompok, keluarga, tim sukses atau koleganya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang petarung, pemimpin yang berjuang menegakkan pilar-pilar bangsa. Seorang pemimpin yang tidak sekadar berwacana, berteori dengan rencana yang indah-indah, tapi pemimpin yang tahu bagaimana merealisasikan rencananya.

Di atas semua itu, rakyat Indonesia kini mendambakan seorang pemimpin yang sekaligus negarawan, yang mengutamakan kepentingan rumah besar Indonesia, bukan kelompoknya, seorang pemimpin yang visioner, pandai, bermoral dan memegang teguh prinsipnya. Dan sebagian besar masyarakat dan rakyat Indonesia melihat apa yang mereka dampakan itu dalam sosok Jokowi. Rakyat ingin Jokowi menjadi pemimpin, bukan Megawati!.

Bila kita mengambil sosok Jokowi dan menempatkannya di partai lain, katakanlah di Golkar, Demokrat, Hanura, Gerinda atau partai lain, maka masyarakat akan memilih Jokowi. Prinsipnya, APAPUN PARTAINYA,JOKOWI PILIHANNYA!


Minggu, 23 Maret 2014

UPDATE PEMILU INDONESIA -- Skandal Plesiran ARB dengan 2 Artis ke Maladewa Pukulan Bagi Golkar & ARB



Mayoritas calon Presiden yang akan berlaga dalam Pemilihan Presiden 2014 (Pilpres) membawa beban berat masa lalu. Salah satunya Aburizal Bakrie (ARB), yang mengklaim telah memperoleh boarding pass untuk maju menjadi Calon Presiden dari Partai Golkar. Beban ARB bakal menjadi lebih berat lagi pada Pemilu nanti setelah video skandal kunjungannya bersama dua artis kakak beradik Marcela Zailanti dan Olivia Zailanti ke pulau yang dikenal sebagai destinasi bulan madu menyebar di media-media sosial dan media-media mainstream.

Di dalam video tersebut Aburizal ‘Ical’ Bakrie mengunjungi Maladewa dengan pesawat jet pribadi. Di dalam pesawat itu, terlihat lengang, hanya 4 orang yang tertangkap kamera – Ical yang duduk di barisan depan berdampingan dengan Marcella dan di berisan belakang (menghadap kamera) seorang anggota politisi Golkar dan sang adik, Olivia Z, yang memegang handicam. Keempatnya terlihat bercanda dengan akrab.

Video tersebut berjudul "Aburizal Bakrie & Marcella Zalianty Liburan Bersama Ke Maladewa." Terlihat video skandal Maladewa tersebut diunggah pemilik akun ARB pada 20 Maret 2014. Hingga pagi ini, sudah 80,803 pengunjung yang menonton video tersebut. Video skandal ARB bersama 2 artis tersebut muncul dalam beberapa judul. Ada yang menulis dengan judul: “Capres Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) + Marcela Zalianty Berama Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin + Olivia Zailanti, Romantis di pulau Maladewa/Maldives”.

Tak hanya video, ada foto juga sang ketua Partai Golkar itu memeluk erat boneka Teddy Bear milik sang artis. Ada juga foto dalam pesawat terlihat ARB memeluk Marcella. Belum ada penjelasan apakah foto tersebut asli atau hasil editan. Sontak, foto dan video-video itu bertebaran di media-media sosial dengan komentar-komentar nada mengecam, sinis, tapi ada juga ada yang menimpali dengan santai. Pertanyaan-pertanyaan yang banyak muncul mempertanyakan liburan ke Maladewa tersebut. “Ada apa seorang ketua Partai berwisata ke Maladewa dengan dua artis ke pulau Honeymoon? Berfoya-foya?”.

Maladewa memang langgan para artis-artis holiwood dan orang-orang kaya di dunia untuk berlibur. Dengan tarif hotel berkisar US$2,500 per malam, tentu bukan tempat plesiran biasa. Hotel-hotel yang bertebaran di sekitar pantai/Atol dengan pemandangan yang wah menarik wisatan luar-negeri. Bagi pasangan yang ingin honeymoon, Maladewa memang tempatnya. Sebagian orang mengatakan, pergilah ke Maladewa sebelum Anda meninggal. It's heaven on earth.

Ada yang mencak-mencak dengan mengatakan, inikah tipe calon Presiden yang akan memimpin 240 juta penduduk, plesiran ke pulau wisata bersama artis dan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat? 

ARB dan Marcella Zailanty sudah mengkonfirmasi pada akhir pekan bahwa orang-orang yang terlihat di video tersebut memang mereka. Benar mereka mengunjungi pulau Maladewa. Marcella dalam keterangannya kepada media mengatakan video tersebut diambil akhir 2009 atau awal 2010. Ada pihak-pihak yang berusaha memeras dirinya dan keluarga Bakrie dengan menyebar video tersebut. Marcella sendiri menyerahkan ke Golkar apakah akan melaporkan penyebar video tersebut. 

Namun, dari publik tak akan menghiraukan apakah mereka yang terlihat dalam video tersebut akan melaporkan ke polisi. Publik mungkin akan justru berterimakasih dengan beredarnya video tersebut. Paling tidak publik akan mendapat informasi tambahan mengenai karakter seorang tokoh/pemimpin partai yang menjadi bakal calon presiden di  Pemilu nanti. 

Komentar-komentar pedas di media-media sosial maupun di media-media mainstream online, dapat dipahami apalagi saat ini ARB menjadi Capres dari Golkar. Rakyat butuh informasi selengkap-lengkapnya mengenai sosok-sosok yang disuguhkan kepada mereka sehingga kelak saat hari H, mereka mendapatkan pilihan yang tepat sesuai hati nurani. Publik butuh memilih Calon Presiden yang bertanggungjawab, punya tenggang rasa dengan rakyat, tidak justru berplesiran ke pulau honeymoon pula. Publik dan rakyat butuh seorang pemimpin yang melayani mereka, memahami kebutuhan rakyat dan mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan atau bisnis. 

Menyebarnya video skandal pelesrian bersama dua artis tersebut merupakan pukulan telak, tidak hanya pada Aburizal Bakrie sendiri, tapi bisa juga bagi Partai Golkar. Sejauh mana dampak penyebaran video tersebut terhadap Golkar dan ARB, akan terlihat pada hasil Pemilu nanti. Namun, melihat dampak, reaksi publik dan media, tampaknya, video tersebut menjadi pukulan bagi ARB dan Golkar yang bakal mempengaruhi pilhan para voters nanti. 

Saat ini, dengan berbagai persoalan bangsa yang begitu banyak, mulai masalah ekonomi, masalah kebangsaan, maupun masalah moral, mendera bangsa ini. Masalah kebangsaan, misalnya, meningkatnya masalah intoleransi antar umat beragama dan antar kelompok masyarakat. Berbagai kelompok menggunakan cara-cara kekerasan untuk menindak atau menyerang pihak atau kelompok lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Daerah-daerah mulai mementingkan daerahnya terkait pengelolaan SDA sehingga benturan antar daerah dan pusat mulai meningkat. Ada daerah yang merasa ditinggalkan, karena SDA di wilayahnya dikeruk oleh pengusaha-pengusaha nasional yang tak bertanggungjawab.

Masalah-masalah ekonomi juga tak kalah banyaknya. Mulai dari masalah pengangguran, kemiskinan, kebijakan ekonomi yang tidak menyentuh kepentingan umum, ancaman krisis pangan dan energi, masalah salah pengelolaan SDA dan bejibun masalah-masalah lain. Di sektor energi, banyak proyek-proyek minyak dan gas bumi yang mangkrak atau tertunda/terlambat. Banyak juga perusahaan migas yang menunda atau menahan investasi mereka karena ketidakpastian berusaha, termasuk keputusan perpanjangan kontrak blok-blok migas, termasuk Blok Mahakam, yang kini belum diputuskan pemerintah (Kementerian ESDM).

Kita juga banyak menyaksikan berbagai skandal dan kasus yang mencuat ke permukaan, seperti skandal politisi yang terlibat skandal sex dengan artis-artis, skandal threesome Ustad Cisarua baru-baru ini, skandal/kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai atau elit politik, dan lain-lain.

Kita berharap, Pemilu 2014 ini akan menghasilkan para politisi Senayan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan golongan, serta Presiden yang menjadi panutan bagi rakyat, seorang pemimpin jujur, tidak hipokrit – muncul manis di hadapan publik, tapi dari belakang menikam rakyatnya sendiri. (*)


Senin, 17 Maret 2014

Pengumuman Jokowi Sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dan Reaksi Media



Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com)
Spekulasi publik dalam beberapa bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara resmi mengumumkannya ke publik. 

Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.

Pengumuman pencapresan Jokowi jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana, tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik. 

Pengumuman tersebut juga membuat peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi dengan Partai lain? 

Perbincangan pun ramai di media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen, melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa media B cenderung menentang.

Saat ini bukan momen yang menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si pemilik media. 

Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.

Posisi dan afiliasi sebuah media dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang dimuat.

Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi dengan partai apa. 
Pertama, media-media yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan, yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV, Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam porsi kecil. 

Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.

Kedua, media-media yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com

Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu. Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya, dengan gencar memuat berita-berita dengan tone  negatif terkait pencalonan Jokowi.

Ketiga, media-media yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id, media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu, misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan telah mengkhianati warga Jakarta.

Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet, seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.

Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol oleh tycoons dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut. 

Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun, bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput atau general public.

Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik, maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur, tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan oleh pembacanya. (*)

Rabu, 05 Maret 2014

Apakah Gita Wirjawan Calon Presiden Terbaik dari Partai Demokrat dan Terbaik untuk Indonesia?



Gita Wirjawan (courtesy photo Wikipedia)
Tampaknya Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan, mantan Kepala BPKM dan mantan CEO JP Morgan Indonesia ini, sejauh ini merupakan calon presiden terbaik dari Partai Demokrat. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, persepsi di media, tanggapan dari masyarakat kelas menengah dan pengaruh di sosial media, Gita tampaknya berada di garis terdepan. Yang jauh dari kepastian adalah apakah dia merupakan sosok yang memiliki karakter yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia kedepan, jika dia terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia (RI-1)?

Gita mengawali karir politiknya dengan cukup menjanjikan. Ia merupakan sosok investment banker dan pebisnis yang sukses. Dia memiliki modal fulus yang cukup untuk maju sebagai calon Presiden melalui Partai Demokrat. Gita Wirjawan (GW), pendiri private equity fund Ancora Capital, mewakili tokoh-tokoh/profesional muda. Sebelum terjun ke dunia politik, Gita sempat menimbulkan kontroversi di antara partai-partai politik ketika incumbent Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat dia menjadi Menteri Perdagangan tahun 2011, saat Presiden SBY melakukan reshufle cabinet.

Saat dia mengundur diri sebagai Menteri Perdagangan dan memilih fokus maju berjuang menjadi calon Presiden dari Partai Demokrat, ia menuai banyak kontroversi, termasuk berbagai kasus impor komoditi, seperti beras, bawang, dll. Dia gagal menjadi Menteri Perdagangan? Boleh jadi, tapi dia tak bebas dari campur tangan pihak yang lebih berkuasa, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, salah satu menteri yang sangat berpengaruh di bawah kabinet Indonesia Bersatu jilid II saat ini. 

Sejauh ini, dia termasuk birokrat/politisi Demokrat yang bebas dari kasus korupsi, modal yang cukup untuk maju menjadi bakal calon Presiden, apalagi mengingat bejibunnya politisi senior Partai Demokrat yang tercemar, terjerat, terlibat, terjatuh dan terseret kasus korupsi yang menghantar mereka menginap di hotel prodeo tarmasuk Anas Urbaningrum, Malarangeng bersaudara, dan masih banyak lagi. 

Gita termasuk sosok yang menarik di mata para pemilih pemula untuk beberapa alasan, termasuk kecintaannya pada musik yang memudahkan dia connect dengan para pemilih pemula atau berjiwa muda. Dia sendiri memiliki record lavel, serta seorang yang secara cerdas memanfaatkan media sosial seprti twitter untuk menyebarkan pesan-pesan kampanyenya bak virus. Strategi seperti ini persis dilakukan oleh Presiden Obama saat memenangi Pemilihan Presiden Amerika Serikat. 

Masih ada nilai plus lagi. Indonesia membutuhkan investasi asing dan sebagai mantan Menteri Perdagangan yang mengenyam pendidikan di Harvard serta pengalaman menjadi kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuat dia menjadi sosok yang menairik bagi sebagian investor asing.

Faktor Negatif
Ibarat sebuah koin, kita baru melihat sosok Gita Wirjawan satu sisi. Transisi perjalanan karir dia dari seorang profesional ke dunia politik juga perlu dilihat dan dieksplor lebih jauh dan bisa menjadi batu sandungan bagi Gita untuk melanjutkan perjalanan dan perjuangan dia menjadi RI-1. Sosok dia yang pro-bisnis, dan pro-investasi kini dipertanyakan menyusul komentar-komentarnya yang cenderung pro-nasionalisasi sumber daya alam. 

Batu sandungan pertama adalah kedekatan Gita dengan Cikeas. Gita melalui yayasan dan lembaga filantropis yang dimilikinya membantu mensponsori salah satu anak Presiden SBY untuk sekolah di Harvard. Melalui lembaga-lembaga itu, dia mendukung berbagai kegiatan sosial yayasan dan aktivitas sosial Ibu Negara. Dari orang-orang lingkaran satu, terekam kesan bahwa Presiden SBY memang kagum dengan sosok Gita Wirjawan. 

Kedekatan dengan keluarga Cikeas ini dapat menjadi faktor negatif yang dapat memukul balik. Pihak-pihak atau publik yang tidak simpatik lagi dengan Demokrat dan keluarga Cikeas, dapat berdampak pada ketidaksukaan mereka pada tokoh-tokoh dan elit Demokrat yang maju sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apakah Gita berada di gelanggang yang salah? Sama seperti Anis Badeswan, pemikir dan tokoh muda yang juga maju dan berebut tiket untuk menjadi calon Presiden dari partai berlambang Mercedes itu? Hampir pasti ya. 

Batu sandungan ketiga adalah belum dikenalnya sosok Gita Wirjawan di kelompok masyarakat akar rumput. Jangan lupa, kelompok masyarakat rumput, dapat berperan sangat penting dalam memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang tak terlalu peduli dengan pertarungan di tingkat elit. Yang mereka butuhkan adalah apakah kebutuhan pokok mereka tercukupi. Ketika harga-harga kebutuhan pokok mahal, naik, maka mereka tidak akan memilih sosok yang dianggap telah gagal menjaga harga-harga kebutuhan pokok. Selembar uang biru atau merah dapat mempengaruhi keputusan mereka.

Kelompok masyarakat akar rumput lebih memilih sosok yang mereka kenal, yang mau mendengar jeritan hati mereka dan mau memahami kondisi mereka. Dan sosok itu, jatuh pada wong Solo yang kini menjadi orang nomor 1 di DKI. Gita memang sosok yang appealing di kalangan kelas menengah, well-educated, tapi tidak pada masyarakat akar rumput.

Batu sandungan keempat adalah sikap Gita yang tidak konsisten. Persepsi kalangan usaha bahwa Gita adalah pro bisnis dan pro investasi diragukan setelah dia terbawa oleh isu nasionalisasi sumber daya alam, termasuk isu Blok Mahakam. “Tidak ada keraguan dalam keyakinan saya bahwa Blok Mahakam mutlak dimiliki dan dikelola oleh bangsa sendiri," kata Gita usai mengikuti perdebatan di Balikpapan beberapa waktu lalu. Sayangnya, Gita tidak menjelaskan lebih jauh. Gita seolah mendikotomikan bangsa sendiri dan bukan bangsa sendiri, asing versus nasional. Pernyataan Gita tampaknya memunculkan kekhawatiran akan sikap anti-asing Gita Wirjawan kelak bila dia menjadi Presiden. Sikap anti-asing GW ini dapat membuat dunia bisnis menjadi antipati terhadap GW.

Seharusnya GW memberi pernyataan yang bijak bahwa semua sumber daya alam termasuk blok Migas, harus dikelola dengan baik, lebih optimal sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi Negara. Sumber Daya Alam, termasuk Blok Mahakam, tidak boleh dijadikan sebagai obyek untuk dikorupsi ramai-ramai. SDA kita, termasuk Blok Mahakam, harus dikelola secara profesional oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti saat ini, sehingga dapat menyumbang pendapatan yang lebih besar lagi bagi negara.

Publik juga belum melihat komitmen GW untuk memberantas korupsi. Dari sekian pesan-pesan di media sosial, pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, sedikit sekali dan hampir tidak ada yang menyangkut komitmen GW untuk menghancurleburkan praktek-praktek korupsi di Tanah Air. Seharusnya GW keluar dari pakem kampanye para calon presiden PD dengan mengungkapkan bahwa dia berada di garis paling depan, menjadi ksatria untuk melibas dan membasmi semua praktek-praktek korupsi, praktek-praktek kotor yang telah menjerumuskan dan menenggelamkan Indonesia selama lebih dari 60 tahun. Apakah karena ia berada di kandang Partai Demokrat yang notabene banyak tokoh-tokoh dan elit-elitnya yang terseret berbagai kasus korupsi? Hhmmm….Menjawab judul tulisan ini, maka pembaca yang membaca tulisan ini, akan dapat menjawabnya sendiri. (*)

Jakarta, 5 Maret 2014
Oleh Elang Putih, Bangkitlah Indonesiaku
Catatan ini ditulis sambil menyeruput kopi hitam asal Aceh. !!!!