Kamis, 26 Juni 2014

Perpecahan Di Tubuh Golkar

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan dipecatnya tiga anggota partai Golongan Karya (Golkar) oleh ketuanya Aburizal Bakrie atau yang akrab disapa dengan sebutan Ical ini. Sebenarnya Golkar memang sudah mulai terpecah ketika Ical berkoalisi dengan tim Prabowo-Hatta sedangkan pada saat yang sama Jusuf Kalla (JK) menjadi wakil Jokowi. Golkar “muda” memilih untuk mendukung JK. Perpecahan sebenarnya sudah mulai terlihat sesaat setelah pendeklarasian capres cawapres tempo hari.

Berikut ini adalah komentar-komentar politisi Golkar menanggapi tindakan ketuanya yang seenak udelnya:


Andi Sinulingga
Andi Sinulingga: “Ini bentuk otoritarisme yang seharusnya tidak perlu ada di zaman demokrasi seperti ini. Itu melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Apalagi dalam sistem politik kita partai hanya merupakan syarat administrasi saja dalam pencalonan capres sebagaimana yg di atur undang-undang. Lebih lagi pada orang-orang yang ada di sekeling ketua umum yg telah memberikan masukan yang sangat tidak menguntungkan bagi keutuhan partai Golkar ke depan.”

Indra J Piliang: “Abrizal Bakrie sudah tidak taat pada ideologi partai yang nasionalis. Ical tidak lagi membawa nuansa Golkar sebagai partai yang nasionalis, Pancasilais, menjunjung inklusivitas, dan berdiri sebagai partai garis tengah. Golkar di kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadi partai kanan sebagaimana partai koalisi lainnya. Pemecatan itu sendiri apabila direfleksikan adalah sebuah reaksi atas sikap para kader yang ternyata memberi pengaruh yang cukup besar pada tubuh Golkar.”

Poempida Hiyatulloh: “Tidak ada yang bisa menggantikan kami mengawal kepentingan masyarakat di legislative. Sebelum ini kami tidak pernah mengungkit kegagalan Ical sebagai ketua umum, tetapi kejadian ini memaksa kami melakukan serangan balik.”

JK pun menantang Ical untuk memecat dirinya! Beranikah Ical? JK adalah pemain lama di dunia politik. Kekuatan dan massa JK sebagai pemain lama tentunya lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan dan massa Ical yang notabene-nya adalah orang kaya dadakan yang gabung politik.

Tren anggota “muda” yang memihak ke Jokowi-JK sebenarnya tidak hanya terjadi di tubuh Golkar, namun juga terjadi di tubuh Partai Amanat Nasional (PAN). Walau ketua PAN, Hatta Radjasa, adalah wakil Prabowo, namun tidak sedikit anggota partai PAN khususnya yang muda memilih untuk menyatakan diri mendukung Jokowi-JK.


Apakah PAN juga akan mengikuti jejak blunder Golkar untuk memecat anggota partai yang tidak sejalan dengan ketua? Kita nantikan saja!

Kamis, 12 Juni 2014

Hatta Rajasa, Kasus KRL Impor dan Mafia Migas



Hatta Rajasa
 Selain sibuk keliling berkampanye Hatta Rajasa, calon wakil Presiden yang berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto harus berusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa banyak diliput media, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dipanggil dan ditanyai KPK terkait kasus KRL hibah Jepang pada tahun 2006, saat dia menjabat sebagai menteri Perhubungan. Hatta dipanggil saat sebagian masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri dugaan keterkaitan Hatta Rajasa dengan mafia impor minyak.

Dalam kasus korupsi KRL impor ini, KPK telah menahan Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Soemino Eko Saputro. Baru-baru ini media-media Jepang mengangkat kasus ini dan mendapatkan bukti bahwa pejabat-pejabat tertentu Jepang telah memberi suap ke beberapa negara mitra dagang Jepang, termasuk Indonesia, terkait impor KRL.


Kasus korupsi ini berawal saat Jepang memberi bantuan kereta api listrik kepada Departemen Perhubungan tahun 2006-2007 dengan nilai proyek sebesar Rp 48 miliar. Diduga kerugian negara mencapai Rp 11 miliar. KPK menduga telah terjadi mark up dalam biaya transportasi pengiriman kereta api sebesar 9 juta Yen. Saat ini Hatta Rajasa dipanggil sebagai saksi, dan tidak menutup kemungkinan statusnya ditingkatkan, tergantung hasil pemeriksaan.

Pemanggilan Hatta Rajasa oleh KPK terjadi ketika pada saat yang sama berbagai kelompok masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri keterlibatan mantan menteri perhubungan ini dalam bisnis impor minyak, yang dikendalikan oleh mafia migas.

Sudah bukan rahasia lagi kalau bisnis impor minyak di Indonesia dikuasai mafia kakap. Mafia ini yang mengendalikan (Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Petral memiliki tugas utama, yakni menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Bisnis impor minyak ini memang empuk dengan nilai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Nama yang tidak asing lagi dibalik mafia migas ini adalah Muhammad Reza Chalid, yang sudah sering dimuat di media-media utama. Reza Chalid bahkan sudah dikenal sejak era Soeharto. Banyak pengamat menilai Reza Chalid sebagai seorang yang sangat powerful dan bisa menentukan dan mengatur berbagai transaksi impor minyak Indonesia.

Reza diyakini telah menguasai Petral selama puluhan tahun melalui kerjasama dengan broker-broker minyak seperti Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil, Cosmic Petroleum dan Supreme Energy yang berbasis di Singapura. Perusahaan-perusahaan ini terdaftar di negara bebas pajak Virgin Island.

Selama beberapa dekade rencana pemerintah untuk membangun kilang minyak selalu terhambat. Dan, berbagai pengamat, terhambatnya pembangunan kilang itu dihambat oleh mafia migas. Para mafia migas berkepentingan agar Indonesia terus bergantung pada BBM impor.

Hatta Rajasa diyakini sebagai tokoh yang berada di belakang Reza. Menurut Majalah Forum Keadilan, dalam menjalankan operasinya, Reza-Hatta melakuan segala cara. Hatta Rajasa disinyalir memiliki kedekatan dengan mafia minyak yang berbasis di Singapore, Mohammad Reza dari Global Energy Resources.

Tanggapan Hatta Rajasa

Dalam sebuah wawancara dengan koran The Jakarta Post, Hatta Rajasa mengakui bahwa ia dekat dengan Muhammad Riza Chalid, namun tidak memiliki hubungan bisnis dengan Reza Chalid.

Berikut petikan wawancara dengan koran berbahasa Inggris itu:

T: Anda kenal dengan pebisnis Muhammad Reza Chalid (yang diyakini sebagai broker BBM impor terbesar Indonesia)?

Hatta: Kenapa Anda menanyakan soal itu. Saya tidak punya hubungan bisnis dengan dia. Tapi, kami telah menjadi teman selama beberapa dekade.

T: Bagaimana Anda mengenal dia?

Hatta: Melalui Majelis Dzikir. Saya tahu dia memiliki bisnis impor minyak dan bahan bakar minyak, tapi tidak ada hubungan dengan saya. Mengapa Anda tidak menanyakan hal itu ke Pertamina? Kenapa tanya saya?


T: Apakah benar Reza memberikan sumbangan uang untuk keperluan kampanye Anda?

Hatta: Ngawur

T: Jadi bagaimana dengan dana kampanye Anda?

Hatta: Kebanyakan konglomerat dan pebisnis berada di kubu sebelah (Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla). Kami bahkan tidak punya iklan di koran. Kami tahu biaya beriklan di Kompas. Lihat saja koran-koran, hampir semua iklan adalah iklan kubu Jokowi. Karena itu, kami bergantung pada kader-kader kami untuk mendanai biaya kampanye.

Menarik untuk mengikuti bagaimana kelanjutan kasus KRL impor dan mafia migas ini. Kita berharap KPK akan menelusuri setiap kasus yang merugikan keuangan negara, tanpa pandang bulu. Seperti kata Hatta Rajasa saat debat Capres-Cawapres, “jangan sampai hukum di negara ini, tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah”. Artinya, hukum hanya berlaku bagi  orang-orang kecil tapi tidak berlaku bagi penguasa atau orang-orang yang punya power.


Disamping itu, pemerintah mendatang harus mengambil langkah tegas terhadap mafia migas. Bila perlu Petral dipindahkan ke Jakarta saja sehingga bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah membuang uang ratusan triliun setiap tahun untuk mengimpor BBM, padahal yang untuk mafia. Lebih baik pemerintah fokus mendorong eksplorasi migas, sehingga produksi dalam negeri meningkat, tidak bergantung pada impor. Melanggengkan kehadiran mafia migas sama saja melanggengkan ketergantungan Indonesia pada impor minyak.

(*)

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)

Minggu, 18 Mei 2014

Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla vs Prabowo-Hatta Rajasa, Golkar & PD Galau



Setelah beberapa minggu melobi sana-sini, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai terang benderang. PDIP sebagai pemenang dengan jumlah suara terbanyak serta partai-partai yang telah bergabung, Nasdem, PKB dan Hanura tadi malam (18 Mei) telah sepakat untuk mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) sementara Gerindra yang berada di posisi ke-3 dalam Pemilihan Legislatif lalu dan partai pendukungnya PKS dan PPP hampir pasti akan mengusung Prabowo Subianto (PS) sebagai Calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon Wakil Presiden.


Ditengah derasnya kritikan terhadap Prabowo terkait dugaan keterlibatannya terhadap kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jelang krisis moneter dan politik 1997-1998, Prabowo maju dan melobi berbagai partai untuk mengusungnya sebagai Calon Presiden. Dari berbagai partai yang dilobi, hanya PKS yang nyaris tenggelam akibat kasus korupsi sapi impor yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfie Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) serta PPP yang sudah secara terbuka mendukung pencapresan Prabowo. PPP pun pada akhirnya tidak punya pilihan kecuali mendukung Prabowo setelah sempat terjadi pertarungan internal, termasuk saling memecat antara pimpinan partai.  


ARB-SBY??
Bagaimana dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat? Apakah akan ada poros ketiga? Dalam seminggu terakhir muncul ke permukaan bakal ada poros ke-3, yang dimotori oleh Partai Demokrat. Capres dan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sempat bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kemungkinan dibentuknya poros ketiga. Namun, tampaknya upaya tersebut terbentur antara siapa yang jadi Capres dan Cawapres. Media-media sempat memunculkan pasangan ARB sebagai Capres dan Pramono Edhie sebagai Wakil Presiden. Anehnya, Pramono Edhie bukanlah pemenang Konvensi Partai Demokrat. Justru yang menjadi pemenang adalah Dahlan Iskan, yang diklaim menjadi yang paling populer dibanding 10 bakal capres lain berdasarkan survei.


Lalu bagaimana dengan nasib pemenang konvensi Partai Demokrat? Itu ibarat berlomba untuk menjadi juara, tapi hadiah yang dijanjikan tidak diberikan. Itulah politik. Terkadang dan lebih sering terjadi rencana tidak berjalan sesuai rencana. Pemenang Konvensi Partai Demokrat dijanjikan akan diberikan ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres Partai Demokrat tapi boarding pass itu tak dapat diberikan oleh Partai Demokrat karena partai tersebut gagal dalam Pileg 9 April lalu. Partai ini (PD) hanya memperoleh suara sekitar 10 persen, sehingga tidak dapat mengusung Capres sendiri. PD membutuhkan partai-partai lain agar bisa memenuhi persyaratan 20% suara agar dapat mengusung Capres sendiri. Sebelumnya PD sempat diisukan bakal bergabung dengan Golkar atau sebaliknya, tapi hingga hari ini tidak terjadi atau belum terjadi. Salah satu skenario yang mungkin terjadi PD dan Golkar hanya sebagai penonton saja dalm Pilpres nanti. TRAGIS MEMANG, bila itu terjadi!. Partai pemenang Pemilihan Presiden dua kali (2004 dan 2009) gagal mengajukan Capres.


Lain lagi kisah ARB, seorang tokoh partai dan pemilik Bakrie Group, ini tampak kebingungan, antara Mencapreskan diri sendiri, bergabung dengan PD, Prabowo atau Jokowi. ARB sempat terbang ke Bojongkoneng, ‘istana’ Prabowo dengan helicopter, sehingga sempat memunculkan isu koalisi helicopter. Tapi akhirnya, tidak terjadi deal apa-apa. ARB juga sempat bertemu Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Entah apa yang dibahas atau proposal yang diajukan ARB, tidak jelas. Sempat muncul berita bahwa ARB mungkin menjadi calon Wakil Presiden Jokowi, tapi tidak terjadi. 


Rapat Pimpinan Nasional (Rampimnas) Golkar hanya mengkonfirmasi ARB sebagai Capres atau Cawapres, tidak ada figur baru yang dimunculkan secara formal oleh partai Golkar. Kemungkinan terburuk, Golkar bakal hanya menjadi penonton saja dalam Pilpres 9 Juli nanti. 


Namun, politik bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa saja ARB atau partai Demokrat membuat keputusan last miniture, dengan membuat poros baru. Masih tersisa sedikit waktu. Kemungkinan lain, Golkar merapat ke PDIP tanpa menuntut kursi Cawapres, hanya sebagai partai pendukung. PD, bila melihat pernyataan ketua partai PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi PD akan menjadi dirinya sendiri, dalam arti berada di luar pemerintahan, dan menjadi partai diluar pemerintah atau semacam partai oposisi. 


Akan halnya Jokowi dan Jusuf Kalla, tentu ini telah melalui proses pembahasan internal PDIP serta diskusi dengan mitra PDIP, yakni Nasdem, PKB dan Hanura. Sebelumnya ada lima nama yang dimunculkan, kemudian menyusut menjadi 2 orang (yakni Jusuf Kalla dan Abraham Samad), tapi pada akhirnya JK yang diputuskan menjadi pendamping Jokowi. JK dianggap layak mendampingi Jokowi karena keduanya dapat saling melengkapi. Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan paduan antara sosok populer di mata rakyat dan sosok yang berpengalaman dan tokoh lintas partai, lintas agama, lintas suku, dengan jangkauan internasional tentu memberikan nilai plus pada pasangan ini. Publik Indonesia tahu keberhasilan SBY pada masa pemerintahan 2004-2009, tak terlepas dari kontribusi JK, yang tegas, cepat bertindak dan sosok yang result-oriented. Walaupun usia JK sudah tidak muda lagi, namun ia masih aktif seperti yang ia tunjukkan saat menjadi ketua PMI. 


JK juga merupakan sosok yang masih dikagumi di internal Golkar, dan bisa jadi bila Jokowi-JK menang Pemilu, bisa jadi fraksi-fraksi internal Golkar akan mendorong pergantian ketua Golkar dan memilih sosok yang akan mendukung JK, sama seperti skenario 2004 lalu. Golkar akhirnya merapat ke partai pemenang pemilu. 


Saat ini masyarakat Indonesia menatap Pilpres 9 Juli nanti. Masyarakat kini menanti visi, misi dan program-program konkrit yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Masyarakat merindukan perubahan. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan pemimpin yang authoritarian, rejim militer atau penguasa yang otoriter, tapi sosok pemimpin yang fresh, yang mendambakan pemimpin yang melayani rakyatknya, memberi yang terbaik bagi rakyatknya, seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat Indonesia yang majemuk dari Sabang sampai Merauke, sosok pemimpin yang bukan pendendam, sosok pemimpin yang tidak emosional, sosok pemimpin yang lebih banyak bertindak dengan karya nyata, bukan dengan slogan-slogan yang sekadar menjual tapi sulit dan tidak mungkin diterapkan. 


Kita berharap Pemilihan Presiden akan berjalan lancar, tidak terjadi gontok-gontokan di lapangan, bebas kerususuhan, bebas dari saling caci-maki, saling menjatuhkan melalui black campaign. Kampanye negatif mungkin sah-sah saja, tapi black campaign yang tidak berdasarkan fakta, melakukan pembohongan publik tidak sehat bagi kemajuan demokrasi kedepan. Pihak-pihak yang melancarkan black campaign bakal menjadi bumerang bagi sang calon. Lebih baik para Capres dan Cawapres fokus pada diri sendiri dan fokus pada apa yang mereka bisa tawarkan bagi kemajuan Indonesia kedepan, bukan fokus pada apa yang dilakukan lawan politik. Semoga!!

Senin, 12 Mei 2014

Maneuver Dahlan Iskan Menggabungkan PGN dan Pertagas Menuai Protes


Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN seharusnya berfungsi sebagai wasit dengan membuat regulasi yang jelas, tidak malah membuat kekacauan. Dengan adanya regulasi yang jelas, maka pelaku usaha dapat menjalankan usahanya sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Pemerintah bertugas untuk menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat sehingga kedua perusahaan tersebut dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya, tanpa harus ‘memakan’ yang lain. 

 ===================

Beberapa bulan lalu Menteri BUMN Dahlan Iskan mendorong anak usaha Pertamina, Pertagas untuk mengakuisisi perusahaan distribusi gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Rencana tersebut menuai protes dari berbagai pihak dengan berbagai alasan, diantaranya rencana tersebut hanya akan menciptakan monopoli Pertamina dari hulu hingga hilir. Rencana itu juga bakal menghambat rencana PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas di tanah air, serta berbagai alasan lain. Saham PGN ikut tergerus karena pasar mengkhawatirkan rencana tersebut. 

Setelah diprotes berbagai pihak dan menyusul pernyataan istana untuk tidak melakukan keputusan-keputusan strategis jelang Pemilihan Presiden, maka rencana tersebut untuk sementara didinginkan. Banyak pengamat yang menilai Dahlan Iskan yang juga merupakan salah satu bakal calon Presiden dari Partai Demokrat yang sedang berjuang di Konvensi Partai Demokrat punya agenda tersembunyi untuk terus dan ngotot menggabungkan kedua perusahaan tersebut dengan cara Pertagas mengakuisisi PGN.

Setelah beberapa waktu isu tersebut menghilang, beberapa hari belakangan muncul lagi soal penggabungan kedua BUMN distribusi gas tersebut. Namun, sedikit berbeda. Diberitakan oleh berbagai media bahwa Dahlan Iskan telah mengirimkan surat ke Pertamina dan PGN agar Pertagas bersedia diakusisi oleh PGN. Jadi Pertagas yang didorong masuk ke PGN, dengan alasan demi efisiensi. Alasan lain, Pertagas punya core business yang sama dengan PGN, sehingga Pertamina bisa lebih fokus di bisnis migas hulu.

Dahlan Iskan diberitakan menulis surat rencana akuisisi Pertagas oleh PGN tersebu pada tanggal 7 Mei 2014. Rupanya surat tersebut diprotes keras oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu. Beberapa pengamat juga meragukan efektifitas rencana tersebut karena tidak dilakukan melalui studi mendalam. Disamping itu, mengingat PGN telah go publik, rencana penggabungan tanpa melaporkan ke Bursa dapat mendistorsi informasi yang dapat menjungkirbalikkan harga saham PGN. Harga saham PGN bisa naik dan turun oleh isu yang belum matang atau tidak jelas. Boleh jadi ada pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan dengan penggorengan isu akusisi PGN oleh Pertagas atau sebaliknya akuisisi Pertagas oleh PGN ini.

Menyadari rencananya ditolak berbagai pihak, Dahlan Iskan pada tanggal 12 Mei mengatakan bahwa dia hanya ingin menggertak kedua perusahaan itu. Tapi kemudian, pada salah satu hotel bintang V di kawasan kuningan, Dahlan mengatakan bahwa surat itu tidak ada. Nah, lho. Patut dicurigai dan dipertanyakan ada apa dibalik rencana penggabungan kedua perusahaan tersebut?

Tidak lama kemudian, Dahlan mengatakan bahwa dia hanya mau menggertak kedua perusahaan itu agar dapat bekerjasama. Buktinya, keduanya telah saling mengalah dan bahu membahu membangun infrastruktur gas. Tampaknya, Dahlan hanya mencari-cara alasan dan ngeles, tatkala rencananya menggabungkan kedua perusahaan itu ditolak.

Sofyano Zakaria, seorang pengamat Migas, mengatakan Dahlan Iskan seharusnya  menjelaskan dengan lugas ke publik terkait adanya  surat MBUMN nomor SR-295/MBU/2014 tanggal 07 Mei 2014 perihal Pengambilalihan saham PT Pertamina Gas (PT Pertagas) kepada Direksi Pertamina, mengingat bahwa surat tersebut sudah diketahui masyarakat luas (karena telah dipublikasikan oleh media).
Jika Dahlan Iskan menyatakan bahwa surat itu tidak ada, ini bisa dinilai publik bahwa surat itu surat palsu dan seharusnya Kementerian BUMN melaporkannya secara resmi ke Kepolisian untuk diusut tuntas.

Persoalan ada atau tidak adanya surat itu harusnya tidak cukup dianggap selesai hanya dengan keterangan lisan seorang Menteri BUMN saja, karena surat itu telah menimbulkan "persoalan" di kalangan Pekerja Pertamina. Ini hal yang serius yang harus mendapat perhatian khusus dari Pemerintah dan bukannya hanya bagi MBUMN saja.

Keterangan Dahlan Iskan bahwa surat tersebut "tidak ada" juga jelas bertolak-belakangan dengan adanya keterangan Dahlan Iskan yang mengatakan ke para wartawan bahwa rencana itu (Pengalihan saham Pertagas ke PGN) adalah  untuk menggertak pihak Pertagas dan PGN yang tidak akur dalam berbisnis gas. Ini artinya surat itu benar ada karena dari surat tersebutlah muncul reaksi dari Serikat Pekerja Pertamina yang akhirnya menjadi bahan pemberitaan media secara nasional.

Hulu dan Distribusi Gas
Terlepas dari kisruh PGN-Pertagas sebenarnya menunjukkan memang ada permasalah di pendistribusian gas bumi di Tanah Air. Masalah utama adalah kurangnya infrastruktur gas sehingga gas yang ada di lapangan-lapangan yang jauh dari pusat-pusat industri tidak sampai ke pelanggan. Gas berbeda dengan minyak. Karena sifatnya yang cepat menguap, gas membutuhkan infrastruktur khusus, seperti fasilitas regasifikasi (FSRU) agar gas bisa diubah bentuknya ke cair (liquid) agar dapat ditransportasikan, dan kemudian diubah lagi ke gas melalui proses regasifikasi setelah sampai ditempat tujuan.

Saat ini, baru ada satu fasilitas regasifikasi yaitu floating storage regasification unit (FSRU) di lepas pantai Jakarta. FSRU Lampung baru masuk tahap finalisasi dan diperkirakan baru beroperasi Juli nanti. Disamping itu, dibutuhkan jaringan pipa gas yang memadai agar gas dapat sampai ke konsumen. Nah, jaringan gas ini yang sedang dikembangkan oleh PGN maupun Pertagas. Namun, di banyak tempat, jaringan gas kedua perusahaan ini bertabrakan atau terjadi persaingan yang tidak sehat, sehingga mengakibatkan terhambatnya pembangunan jaringan pipa.

Seharusnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, berfungsi sebagai wasit dengan membuat regulasi yang jelas, tidak malah membuat kekacauan. Dengan adanya regulasi yang jelas, maka pemain dapat menjalankan usahanya sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Pemerintah bertugas untuk menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat sehingga kedua perusahaan tersebut dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya, tanpa harus ‘memakan’ yang lain.

Disamping membereskan jaringan atau infrastruktur gas, pemerintah juga perlu fokus mengembangkan gas bumi di sektor hulu. Pertamina, perlu didorong untuk lebih fokus mencari (eksplorasi) maupun mengembangkan atau memproduksi gas bumi. Saat ini, BUMN Migas itu menguasai kurang lebih 47 persen blok Migas, tapi masih banyak blok migas yang belum dikembangkan. Pertamina dapat mengembangkan sendiri atau dapat menggandeng perusahaan-perusahaan migas global yang telah beroperasi di Indonesia. Saat ini, produksi gas bumi di tanah air masih dikontribusi oleh blok-blok migas lama, seperti Blok Mahakam, yang mengkontribusi 80% kebutuhan gas Bontang, Kaltim.

Tugas pemerintah saat ini dan yang akan datang adalah memastikan produksi gas bumi di Mahakam tetap berjalan dan pada saat yang sama mendorong pengembangan blok-blok migas lain untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri yang terus meningkat. (*)