Rabu, 27 November 2013

Pemerintah Indonesia Belum Bersikap, Blok Siak di Persimpangan Jalan



Pompa Angguk (sumber: Infoduri)
Hari ini, 27 November 2013, merupakan hari yang penting bagi Blok Siak yang terletak di Riau, Sumatera. Kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk mengelola blok tersebut berakhir. Namun, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum menentukan apakah memperpanjang atau tidak kontrak CPI mengelola blok minyak tersebut. 

Mengapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkesan tidak berani mengambil keputusan dan membiarkan waktu terus berlalu hingga batas akhir? Apakah hal ini terjadi akibat banyaknya lobi-lobi politik di belakang layar untuk mempengaruhi pemerintah dalam mengambil keputusan? Siapa saja yang bermain di belakang layar? Siapa bakal menang? Apa yang terjadi berikutnya setelah tenggat waktu hari ini lewat? 

Banyak pertanyaan yang mungkin muncul di benak publik terkait nasib Blok Siak tersebut, namun, belum tentu akan mendapatkan jawaban yang pas dan memuaskan. Sebagian besar masyarakat mungkin hanya menduga-duga apa yang terjadi. Di atas permukaan mungkin terlihat hanya riak-riak kecil, tapi di bawah permukaan terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan. Welcome to the jungle!.

Bila kita melihat Blok Siak, sebetulnya blok ini tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional. Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar 320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.

Walaupun produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan dapat dioptimalkan.

CPI sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih bernama PT California Texas Indonesia.  CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat ini belum diputuskan pemerintah.  Selain CPI sebagai exising operator yang tertarik memperpanjang pengelolaan blok Siak, ada beberapa perusahaan lain yang terus melakukan lobby kepada pemerintah agar blok tersebut diberikan ke pihak lain.

Dua perusahaan yang terang-terangan tertarik untuk mengelola Blok Mahakam adalah PT Bumi Siak Pusako, perusahaan milik pemerintah daerah, serta PT Pertamina. 

Belakangan rumor pun bermunculan, para pengusaha menggunakan lobi-lobi politik dan melibatkan petinggi-petinggi pemerintah untuk mendesak pemerintah agar Blok Siak tidak diperpanjang. Ada pelobi yang masuk melalui SKK Migas, ada yang masuk melalui pintu ESDM, ada yang masuk melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Tidak heran, Menteri ESDM Jero Wacik pun tidak berani mengambil keputusan. 

Pemerintah terkesan ragu-ragu dan tidak berani mengambil risiko mengambil keputusan. Industri minyak dan gas merupakan industri yang strategis karena menyumbang 25 persen pendapatan ke negara (APBN). Industri migas juga merupakan salah satu motor penting pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. 

Keputusan kontrak Blok Siak kini berada di tangan Menteri ESDM Jero Wacik. Hingga saat ini Jero Wacik belum memberikan keterangan. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Edy Hermantoro mengatakan untuk sementara CPI tetap mengoperasikan Blok Siak hingga pemerintah membuat keputusan.

Kasus Blok Siak yang kontraknya masih terus digantung hingga hari terakhir kontrak, seharusnya langsung diambilalih Presiden dan membuat keputusan tegas. Pemerintah sudah punya parameter dalam memperpanjang sebuah blok migas, tidak tunduk begitu saja pada tekanan-tekanan berbagai kelompok masyarakat. 

Boleh jadi, pemerintah dibuat galau oleh begitu banyaknya bisikan, tekanan, sementara pemerintah sendiri terkesan takut mengambil risiko. Salah membuat keputusan bisa-bisa menjadi sasaran empuk lawan politik, apalagi menjelang Pemilu 2014. Kasus blok Siak bisa juga menjadi kesempatan emas bagi Kementerian Energi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil sikap tegas, walaupun keputusan tersebut mungkin tidak popular, tapi strategis dan penting bagi negara.

Kemungkinan lain mengapa pemerintah menunda keputusan hingga batas akhir lewat, karena peraturan terkait perpanjangan sebuah blok Migas yang kontraknya berakhir masih belum final. Bisa jadi, pemerintah tidak mau mengambil risiko dengan membuat keputusan. Pemerintah mungkin membutuhkan sebuah payung hukum yang akan menjadi landasan dan pegangan bagi pemerintah dalam membuat keputusan terkait perpanjangan Blok Siak maupun blok-blok migas lainnya yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam, yang kontraknya berakhir tahun 2017. 

Kita berharap penundaan tersebut tidak akan terjadi pada Blok Migas raksasa, Blok Mahakam. Blok Mahakam tergolong blok tua karena sudah 40 tahun berproduksi. Sekitar 80 persen cadangan migas telah berproduksi dan masih ada sisa 20 persen. Sisa cadangan tersebut akan semakin sulit diproduksi karena tekanan sumur-sumur sudah melemah. Material yang terangkat juga sudah bercampur lumpur dan air, sehingga harus memisahkan berbagai elemen tersebut. Apalagi kondisi blok yang berada di daerah rawa-rawa dengan reservoir kecil-kecil dan tersebar, sehingga menyulitkan proses produksi. 

Blok Mahakam tergolong blok yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, sehingga dibutuhkan operator yang memiliki kemampuan, pengalaman, teknologi dan komitmen investasi besar agar blok tersebut terus berproduksi. Untuk konteks Blok Mahakam, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh, opsi apa yang akan diambil pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan segala aspek termasuk aspek optimalisasi produksi, risiko, kontribusi bagi negara, investasi, teknologi dalam memutuskan operator. 

Saat ini pemerintah sedang menggodok peraturan tentang perpanjangan blok migas. Diperkirakan isinya menyangkut parameter yang dipertimbangkan pemerintah, masa transisi, dan sebagainya. Mudah-mudah peraturan tersebut segera terbit, sehingga pemerintah dapat segera membuat keputusan terkait blok migas yang kontraknya segera berakhir, yakni Blok Siak, Blok Mahakam, dan lainnya. Untuk blok Mahakam, waktu yang ideal membuat keputusan adalah tahun 2013 ini, karena tahun 2014 pemerintah sudah sibuk dengan agenda politik, sehingga dikhawatirkan pemerintah tidak berani membuat keputusan. (*)

Selasa, 19 November 2013

Indonesia Dapat Mendongkrak Produksi Minyak dan Gas, Kenapa Tidak?



Saat negara-negara lain mencatat kemajuan signifikan dalam pengembangan industri minyak, Indonesia justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Gas bumi memang sedikit menggembirakan bila melihat tingkat produksi dan cadangan terbukti, namun akan habis juga dalam beberapa puluh tahun kedepan bila tidak ada penambahan cadangan terbukti. Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menambah cadangan minyak dan gas bumi (migas).  

Cadangan minyak Indonesia saat ini tinggal 3,7 miliar, ibarat sebuah sebuah titik hitam di tengah lapangan bola bila dibandingkan dengan cadangan minyak Venezuela yang mencapai 297,57 miliar per akhir 2012, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia.  Tanpa ada penambahan cadangan baru, maka produksi minyak Indonesia akan mencapai titik nadir atau zero, 10 tahun lagi. Produksi minyak pun terus menunjukkan tren penurunan, sekitar 830.000 barel per hari saat ini, di bawah target APBN 840.000 barel per hari. Produksi minyak saat ini hanya separuh dari puncak produksi sebesar 1,6 juta bph tahun 1995. Indonesia darurat minyak!. 

Untuk cadangan gas bumi, data Kementerian ESDM menunjukkan cadangan gas bumi Indonesia mencapai 152,89 triliun standard cubic feet (tscb), tersebar di 11 basin. Dari ttoal cadangan tersebut, 104,71 tscf merupakan cadangant erbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potential. Pemerintah memperkirakan bila tak ada penambahan cadangan gas bumi, maka cadangan yang ada saat ini masih cukup untuk 50 tahun kedepan. Artinya, pada suatu titik, cadangan akan habis bila tidak ada penambahan.

Bila kita melihat keluar, peta industri minyak dan gas bumi kedepan bakal berubah. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Amerika akan menjadi salah satu produsen minyak dan gas dunia. Amerka akan menjadi salah satu produsen minyak terbesar tahun 2015, melewati Arab Saudi dan Russia.  Produksi minyak Paman Sam tersebut melonjak, didorong oleh lonjakan produksi negara bagian Texas dan North Dakota.

Kehebohan produksi minyak di Texas dan North Dakota yang telah melahirkan milioner-milioner minyak baru di Texas dan North Dakota tersebut didukung oleh teknik horizonal drilling dan teknik hydraulic fracturing atau fracking, sebuah metode penggunaan cairan untuk memisahkan gas dari shale atau bebatuan (rock). Ini menunjukkan pemanfaatan teknologi dan eksplorasi yang terus menerus dapat meningkatkan cadangan serta produksi.

Industri minyak dan gas bumi Brasil juga menunjukkan kemajuan pesat. Beberapa lembaga internasional memperkirakan Brasil tidak lama lagi akan menjadi produsen minyak dan gas bumi ke-6 di dunia. Kunci keberhasilan Brasil tidak lain dari keseriusan negara tersebut melakukan eksplorasi migas, termasuk di lepas pantai. Sebagian besar lapangan migas berada di laut dalam (dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter).

Investasi Eksplorasi
Indonesia sebetulnya dapat melakukan apa yang dilakukan negara-negara lain dalam mendongkrak industri minyak dan gas bumi. Kunci utamanya adalah EKSPLORASI. Dan ini bukan kunci rahasia. Semua pelaku industri, pemerintah juga tahu. Namun, kata eksplorasi ini mudah diucap, tapi sulit untuk direalisasikan. Paling tidak, itu yang terlihat saat ini. Investasi untuk eksplorasi migas saat ini masih jauh dari yang diharapkan, akibat iklim investasi yang tidak mendukung.

Birokrasi, ketidakpastian hukum, tumpang tindih peraturan, kondisi social masyarakat yang tidak mendukung, turut menghambat investasi migas. Belum lagi isu-isu nasionalisasi industri migas, yang ditiup sekelompok LSM dan vested interest, yang mengadu-domba dan memprovokasi masyarakat, turut memperunyam industri migas. Padahal integritas kelompok-kelompok LSM tersebut meragukan karena sebagian besar tidak pernah bergelut di industri migas. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk memetakan berbagai masalah yang menghambat laju pertumbuhan industri migas.

Disamping mengatasi isu-isu non-teknis di atas, pemerintah terus mendorong pelaku industri migas untuk menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Beberapa perusahaan minyak besar telah menerapkan Enhanced Oil Recovery (EOR), seperti yang dilakukan oleh CPI di lapangan minyak tua mereka di Minas ataupun di Duri.

Total E&P Indonesie juga telah menerapkan Improved Gas Recovery (IGR) untuk untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di Blok Mahakam. Seperti yang diucapkan oleh salah satu eksekutif Total E&P Indonesie beberapa hari lalu, dari awal 2000, Total sudah menerapkan IGR. Namun, perlu disadari teknologi terus berkembang dan perusahaan migas asal Perancis tersebut menerapkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di lapangan-lapangan tua, Blok Mahakam.

Pada dasarnya, potensi minyak dan gas bumi Indonesia, masih bisa dikembangkan. Masih ada beberapa cekungan (basin) di Indonesia timur yang belum dieksplorasi, yang sebagian besar berada di lepas pantai. Mengesplorasi cekungan tersebut tidak mudah karena membutuhkan dana investasi besar dan teknologi. Risiko investasinya juga besar. Kini teknologi juga terus berkembang, dan bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, untuk mengoptimalkan produksi seperti yang dilakukan Total E&P Indonesie di Blok Mahakam.

Tugas pemerintah adalah mendorong perusahaan-perusahaan migas baik nasional maupun internasional atau oil majors seperti Chevron, ExxonMobil, Total E&P, BP, Inpex untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia. Tugas pemerintah, baik yang sedang berkuasa maupun pemerintahbaru nanti adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menghilangkan berbagai ketidakpastian, termasuk birokrasi perizinan yang rumit, peraturan yang tumpang tindih serta memberikan kepastian perpanjangan blok-blok yang akan segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. 

Penundaan keputusan tentu berdampak pada penundaan rencana investasi. Padahal disatu sisi kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa terhenti bila tidak didukung oleh suplai energi yang cukup, khususnya minyak dan gas bumi. (*)

Kamis, 14 November 2013

Politisi Partai Demokrat Marzuki Alie Tidak Layak Jadi Ketua DPR


Sumber: Istimewah
Politisi Indonesia Marzuki Alie bukan sosok yang asing bagi publik. Marzuki sering muncul lantaran ia adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Marzuki Alie, seorang pengusaha asal Palembang yang kemudian terjun ke panggung politik, kerap menuai kritik tidak hanya dari koleganya di Parlemen (DPR) tapi juga dari masyarakat umum. Pernyataan-pernyataan yang dibuatnya menunjukkan bahwa ia bukan seorang negarawan dan bahkan cenderung memalukan, terutama dalam perang melawan korupsi. Politisi Demokrat yang sedang mengikuti konvensi Partai Demokrat ini tampaknya mencerminkan buruknya kualitas sebagian besar anggota Parlemen saat ini. 

Kontroversi terakhir yang melibatkan Marzuki Alie terkait pernyataannya bahwa ia tidak mau membongkar nama-nama yang menerima suap terkait rencana pembangunan gedung Parlemen yang baru, yang kemudian dibatalkan karena resistensi publik. 

Teguh Juwarno, Sekretaris Partai Amanat Nasional (PAN) mengatakan menyembunyikan nama-nama yang diduga menerima uang suap terkait rencana pembangunan gedung baru DPR justri bersifat kontra-produktif. Ketua DPR seharus lebih tegas dan membuka saja partai-partai mana saja yang menerima suap tersebut, jangan hanya melempar pernyataan tapi hanya setengah hati. Marzuki mengatakan bahwa ia hanya mengetahui salah satu anggota Badan Rumah Tangga DPR yang melakukan tindakan terpuji tersebut.

Pada edisi terakhir majalah Tempo, Marzuki Alie dikatakan telah menerima Rp250 juta uang suap terkait proyek tersebut, beserta politisi lainnya, termasuk Anas Urbaningrum, yang saat itu merupakan Ketua Partai Demokrat, sebelum dipaksa lengser.

(sumber: Istimewah)
Bukan kali ini saja Marzuki Alie dituding mendegradasi derajat DPR. Tahun 2011 lalu, muncul dugaan keterlibatan Marzuki Alie dalam kasus koroupsi, yang berpotensi diambilalih KPK. Ia diduga terlibat korupsi saat menjabat menjabat Direktur Komersil PT Semen Baturaja (Persero). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK ditemukan dugaan adanya penyimpangan dan potensi kerugian keuangan negara.

Tapi kemudian Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Marzuki lolos karena kemudian KPK batal mengambil-alih kasusnya.

Bila kita melihat tiga tahun ke belakang, cukup banyak pernyataan Marzuki Alie yang menuai kritikan pedas terhadap dirinya. Pertamina, terkait tsunami yang menyerang Mentawai tahun 2010 silam. Ia mengatakan, “Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai”. Pernyataaannya dinilai arogan, tidak berempati dengan warga yang ditimpa bencana. Bila ia mengatakan hal tersebut kepada orang Aceh setelah kota itu terkena bencana tsunami, mungkin ia kini tinggal nama.

Pada bulan Februari 2011, lagi-lagi ia membuat komentar yang tidak intelek saat mengomentari kritikan publik terhadap kegandrungan Anggota DPR bepergian ke luar negeri dengan alasan studi banding. Publik mengkritik karena sebagian anggota DPR itu membawa istri mereka. Apa kata Marzuki? “Laki-laki sifatnya macam-macam. Ya perlu diurus untuk minum, obat (atau) pengin hubgungan dengan istrinya rutin. Itu terserah. Sepanjang tidak menggunakan uang negara.” Sebuah pembelaan yang mengada-ada.

Pada bulan yang sama, ia mengomentari sejumlah kasus yang menimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, yang sering menghadapi masalah, seperti pelecehan seksual, penyiksaan atau hak-haknya diinjak. "PRT TKW itu membuat citra buruk, sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan." Bukannya membela, malah Marzuki menyalahkan para TKI tersebut, yang terkadang disebut sebagai pahlawan devisa.

Yang paling fatal adalah ketika ia membabi buta membela Nazaruddin yang saat itu kasusnya baru mengemuka (29 Juli 2011). Saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai membuka kasus politikus Partai Demokrat M. Nazaruddin yang mengguncang partai berkuasa itu. "Kalau tudingan Nazaruddin terbukti, sebaiknya KPK bedol desa atau lembaganya dibubarkan saja," katanya saat itu. Apa yang terjadi kemudian, Nazaruddin ditangkap KPK dan terbukti terlibat berbagai kasus korupsi. Para politisi Demokrat yang tadinya membela, terpaksa menjilat air ludah sendiri.

Marzuki, bahkan membuat proposal yang tidak masuk akal. Saat kasus Nazaruddin menyeruak, Marzuki membuat usulan mengejutkan yakni memaafkan koruptor. "Jadi kita maafkan semuanya, kita minta semua dana yang ada di luar negeri untuk masuk. Tapi kita kenakan pajak."  What???? Kenapa tidak digantung di Monas saja, seperti yang dilontarkan oleh mantan Ketua Demokrat Anas Urbaningrum?

Sebetulnya, masih cukup banyak pernyataan-pernyataan kontroversial politisi Partai Demokrat ini. Tidak heran banyak yang menilai Marzuki Alie tidak cocok dan tidak layak menjadi Ketua DPR. Sesama anggota DPR pun berkali-kali meminta Partai Demokrat untuk mengganti Marzuki Alie sebagai Ketua DPR. Namun, rupanya Partai Demokrat lebih senang mendengar suara dari dalam partai, ketimbang mendengar desakan publik. Marzuki Alie tidak hanya mendegradasi DPR, mengingat posisinya sebagai Ketua DPR. Ia bahkan tidak pantas menjadi Wakil Rakyat.

Ulah Marzuki Alie turut menenggelamkan Partai Demokrat. Lihat saja, hasil survei terakhir dari sebuah lembaga survei. Sebagian besar rakyat tidak mengetahui sedang ada Konvensi Partai Demokrat, untuk menjaring sosok yang akan diajukan oleh Partai Demokrat sebagai calon Presiden tahun 2014 nanti. 

Sosok yang melemahkan Partai Demokrat tidak hanya kasus Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, yang terlibat dalam kasus proyek gedung olahraga di Hambalang, Bogor, atau kasus-kasus korupsi lainnya yang melibat petinggi-petinggi Demokrat, tapi juga sosok Marzuki Ali. Ia tidak hanya pantas menjadi Ketua DPR, tapi tidak pantas menjadi anggota DPR sekalipun. Lalu, ingin maju jadi calon Presiden dari Partai Demokrat? Sebaiknya Marzuki Alie bercermin dulu. (*)

Selasa, 05 November 2013

Setelah Gagal Melawan Mafia Minyak, Meneg BUMN Indonesia Dahlan Iskan Kini Melunak



(sumber: karikatur Pelita Online)
Sosok Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Group yang kini menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN), belakangan sering muncul di hadapan publik. Ia muncul dalam kapasitas dia sebagai Menteri Negara BUMN, sebagai bakal calon presiden yang sedang bertarung di Konvensi Partai Demokrat, sebagai pemilik Jawa Pos Group, maupun sebagai sosok Dahlan Iskan sebagai individu yang menarik.

Pada sisi lain sosok Dahlan Iskan juga merupakan sosok kontroversial karena keputusan-keputusannya yang mencurigakan, perubahan sikap maupun track record bisnisnya yang membuat orang mengernyitkan dahinya.

Berita-berita yang muncul di media pun ada yang memang memiliki nilai berita, tapi juga yang terkesan direkayasa untuk memoles reputasi Dahlan Iskan atau melakukan counter issue tatkala dia diserang oleh pihak-pihak lain, seperti saat Dahlan Iskan diserang oleh DPR terkait kerugian puluhan triliun rupiah di tubuh perusahaan listrik negara PLN.

DIS, demikian ia disapa media, memang memiliki tim media yang setia 24 jam yang siap membuat berita serta merekayasa berita. Maklum, Dahlan Iskan adalah orang media, pemilik Jawa Pos Group, yang tentu memiliki jaringan untuk mempengaruhi opini publik melalui jaringan media yang dimilikinya maupun jaringan media koleganya, Chairul Tanjung (CT). Dahlan Iskan memang dekat dengan CT. CT pulalah yang merekomendasikan DI kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik saat menjadi Direktur Utama PLN, maupun saat menjadi Menteri BUMN. 

Dahlan Iskan dalam beberapa kesempatan tidak menyangkal hubungan dekatnya dengan CT. CT sendiri, beserta rombongan konglomerat di belakangnya, merupakan salah satu penyokong besar Presiden SBY baik dalam pemilu 2004 maupun 2009. Sehingga tidak mengherankan bila Presiden SBY berhutang budi pada CT.

Tidak ada makan siang gratis. Demikian prinsip umum dalam berbisnis dan berpolitik. Dukungan CT terhadap DIS tentu tidak cuma-cuma. Sebagai imbalan CT mendapat berbagai kemudahan maupun preferensi atas proyek-proyek BUMN. Diantaranya, CT Corp menang dalam tender pembelian 10% saham Garuda. CT Corp juga ditunjuk sebagai pemenang untuk membeli Telkom Vision, sebuah anak Perusahaan perusahaan telekomunikasi BUMN, Telkom. Dan tentu masih banyak yang lainnya.

Sebagai Meneg BUMN, tugas utama Dahlan Iskan adalah meningkatkan kinerja perusahaan-perusahaan milik negara. Ada yang berhasil ada yang tidak. Ada yang terkesan tanpa perencanaan. Langkah Dahlan Iskan dalam memilih direksi dan komisaris pun terkadang kontroversial. Misalnya, saat dia memilih salah satu anak buahnya di Jawa Pos Group, Ismed Hasan Putro, sebagai Direktur Utama PT RNI, produsen gula milik negara. Beberapa orang dekat CT pun ditempatkan untuk menjadi “staf ahli” Dahlan Iskan. Mereka melepaskan posisi dengan gaji tinggi di Para Group, untuk menjadi “hanya” staf ahli Menteri BUMN, yang tentu gajinya tak seberapa.

Dahlan Iskan, Pertamina dan Mafia Minyak
Yang tak kalah menarik adalah sikap Dahlan Iskan yang berubah-ubah terhadap perusahaan minyak dan gas nasional Pertamina. Pada awal-awal dia menempatkan posisinya sebagai Meneg BUMN, dia pun getol dan berkomitmen untuk menghapus praktek-praktek korupsi dan praktek-praktek derivatif korupsi. Salah satu yang menarik perhatian publik adalah ketika Dahlan Iskan berupaya memerangi mafia minyak yang sering dituduhkan pada tubuh Petral, anak perusahaan Pertamina yang bermarkas di Singapura. Petral merupakan tangan kanan Pertamina dan negara dalam mengimpor ratusan ribu barel minyak per hari ke Indonesia. Ratusan triliun digelontorkan negara tiap tahun untuk mengimpor minyak melalui Petral.

Bahkan dalam rapat dengar pendapat September 18, 2013 lalu, Meneg BUMN) Dahlan Iskan menyatakan siap membubarkan anak usaha Pertamina, PT Pertamina Energy Trading (Petral), bila terbukti ada mafia minyak yang bermain di perusahaan tersebut. "Petral, saya komit kalau memang dibuktikan ada mafia saya akan bubarkan," kata Dahlan saat rapat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (http://finance.detik.com/read/2013/09/18/225911/2362898/1034/dahlan-iskan-saya-komit-bubarkan-petral-kalau-terbukti-ada-mafia).

Sebelumnya, Dahlan Iskan melontarkan ide untuk membubarkan Petral dan meminta Pertamina untuk mengimpor langsung minyak dari produsen minyak, tanpa melalui trader, untuk memangkas biaya. Tapi, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Pertamina. Dahlan Iskan pun dibuat bertekuk lutut oleh Pertamina. Ia pun tak bisa memaksakan kehendaknya. Lagi-lagi ini membuktikan betapa kuatnya jaringan mafia minyak sehingga mampu mempengaruhi kebijakan dan langkah pemerintah. Dari kasus ini pun terlihat siapa yang berkuasa di negeri ini. 

Namun, belakangan tatkala Dahlan Iskan menapaki karir politiknya menuju RI-1 melalui kandang Parta Demokrat, sikapnya terhadap Pertamina sudah mulai melunak. Bahkan terkesan heroik, berdiri di garda terdepan untuk membela kepentingan Pertamina. Dahlan Iskan kini sedang bertarung melawan kandidat-kandidat lain untuk menjadi bakal Calon Presiden dari Partai Demokrat. Untuk menuju RI-1 pun terbuka jalan bagi DI. Jaringan media yang dimilikinya serta dukungan dari konglomerat (termasuk dari CT) serta posisi dia sebagai Meneg BUMN saat ini, dapat menjadi modal utama baginya untuk terus menapaki jalan menuju tangga RI-1. Hanya yang belum dimiliki oleh DI adalah pembuktian dukungan politik dan dukungan rakyat. 

Langkah Dahlan Iskan menuju RI-1 serta perubahan sikapnya terhadap Pertamina memang tidak salah bila publik mempertanyakannya. Apakah ada motif tersembunyi sehingga DI kini terkesan mengelus-elus kepala Pertamina. Minggu lalu misalnya DI mengatakan siap “membentengi” Pertamina. Dari praktek-praktek korupsi? Tidak. Tapi dari rencana Pertamina untuk masuk ke Blok Mahakam. "Tugas saya ringan, membentengi Petamina dari intervensi siapapun. Saya percaya penuh pada tim direksi, komisaris dan manajernya percaya penuh mampu, sepanjang tidak diganggu-ganggu dan tidak dirusuhi," pungkasnya. 

Namun, pernyataan DI, sendiri justru diinterpretasi oleh publik sebagai bentuk intervensi terhadap Pertamina, apalagi pernyataan tersebut dilontarkan saat DI sedang bertarung dalam konvensi Partai Demokrat untuk mendapat tiket menuju RI 1 melalui kandang Demokrat.

Disamping itu, Dahlan Iskan juga terkadang melemparkan pernyataan yang membuat pelaku industri terbelalak tak percaya. Misalnya, saat dia mengatakan bahwa laba Pertamina bisa tembus Rp171 triliun 2018 jika bisa mengelola 100% Blok Mahakam. Entah kalkulator apa yang dipakai Dahlan Iskan sehingga ia menuai kritik dan bulan-bulanan di media. Ia kemudian meralatnya, “Rp171 triliun itu keuntungan kumulatif, kemarin saya salah,” kata Dahlan seperti yang dikutip Berita Hukum.

Dahlan Iskan memang sosok yang menarik dan kontroversial. Dalam era demokrasi saat ini, siapa saja boleh bertempur di ruang publik melalui media. Rakyat dan publik pun perlu mendapatkan berita-berita dan fakta-fakta yang seimbang tentang seseroang. Dengan demikian publik mendapat gambaran yang asli dan jelas tentang sosok publik, bukan gambaran palsu. (*)