Majalah Tempo edisi April 30-6,
Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau
sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di
bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana
persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif.
Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan
Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa,
Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga
orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto.
Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai
ketua MK saat itu.
Saya mencoba menelusuri laporan
tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada
dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat
hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB
(Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon
Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai
calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung
oleh partai lain.
Sejauh ini, baru Nasional
Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya
untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase
quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka
PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya
PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai
lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti.
Saat ini publik masih
menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil
Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di
permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden,
Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua
PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard
Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai
kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.
Namun, dari berbagai sumber
internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat
untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau
dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke
waktu.
Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo
Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama,
orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki
komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan
trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima,
mendukung program pro-rakyat Jokowi.
Seberapa jauh prospek dan
kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila
kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan
Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi
Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran
dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people).
Tahun lalu saat saya mengunjungi
Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak,
pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin
yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar
1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia
bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS
(asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan
kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat. Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia
rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo
menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.
Di Jakarta, tidak sulit untuk
menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan
kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di
Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant
of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang
memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi
melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang
memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur,
pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan
bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.
Jokowi bukan tidak punya
kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan
karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam
dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi
sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok
sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka
Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya
kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia
masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi).
Indonesia saat ini banyak orang
pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus
kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok
Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik
dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo
Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya
kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun
1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga
muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan
favoritism pada group usahanya.
Jokowi? Ia tidak punya
perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu,
masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur
baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang,
termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi
pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia
untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki.
Karena itu, tidak mengherankan
bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres
nanti. Dari sisi chemistry, tidak
sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa
kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak
sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka
mendengar, bukan one man show leader
seperti Capres lain.
Saya setuju dengan pendapat pengamat
politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng
politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang
pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres
lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin
pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok
seorang Jusuf Kalla. (*)