Kamis, 10 Oktober 2013

Ketahanan Energi Indonesia dan Pandangan Para Calon Presiden




Sebuah Platform Migas Lepas Pantai
Isu mengenai ketahanan energi (energy security) menjadi salah satu agenda dalam pertemuan puncak para kepala negara yang tergabung dalam forum APEC 2013 di Bali awal minggu ini. Para kepala negara menyadari ketahanan energi, disamping ketahanan pangan, menjadi salah satu isu penting yang perlu diatasi. Isu ketahanan energi seharusnya menjadi salah satu isu penting yang perlu diagendakan oleh para calon presiden yang akan bertempur pada pemilihan umum tahun 2014.


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengakui ketahanan energi Indonesia masih lemah. Ia menuturkan Indonesia mengidap ‘penyakit’ tiga L, lemah karena ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit. Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang tinggi, ketahanan fiskal digerogoti. Ketiga, terkait ketergantungan pada harga internasional.


Di Indonesia sendiri, ketahanan energi masih rentan. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja hanya rata-rata 21 hari. Gangguan distribusi dan suplai serta harga minyak dunia yang melonjak mengancam ketahanan energi Indonesia dari waktu ke waktu. Persoalan ketahanan energi kita tak hanya pada sisi hilir, tapi juga pada sisi hulu. Bahkan masalah di sisi hulu menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor hulu migas.


Persoalan mendasar pada sisi hulu migas adalah produksi minyak yang terus terun dalam dekade terakhir. Produksi gas cenderung stabil tapi terancama menurun pada tahun-tahun mendatang bila tak ada upaya keras dari pemerintha untuk meningkatkan investasi, khususnya pada aktivitas pencarian cadangan minyak dan gas baru. Investasi untuk eksplorasi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggembirakan. Dan ini sudah diakui oleh pemerintah dan pelaku industri. Salah satu masalah yang sering mengemuka adalah iklim investasi yang tidak mendukung serta birokrasi yang njelimet sehingga terkadang menyurutkan niat dan langkah investor migas untuk berinvestasi.


Disamping itu, investasi untuk eksplorasi migas kian mahal dan berisiko karena sebagian besar blok Migas Indonesia saat ini berlokasi di lepas pantai dan berada di daerah yang terpencil (remote areas). Dibutuhkan nyali besar para investor migas untuk berinvestasi dan keberanian untuk mengambil risiko. Risiko investasi untuk eksplorasi memang terbilang tinggi karena tingkat keberhasilannya Cuma sekitar 10-20 percent. Bila menemukan cadangan minyak dan gas maka akan untung, bila tidak menemukan cadangan atau potensi cadangan, maka uang yang telah diinvestasikan menguap a.k.a. hilang, tidak bisa diganti atau diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.


Lalu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah hasil Pemilu 2014? Kita belum banyak mendengar pandangan para calon Presiden terkait program ketahanan energi ataupun pandangan atau rencana mereka terhadap industri energi, khususnya minyak dan gas. Publik sejauh ini hanya meraba-raba atau mengira-ngira kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemerintah baru hasil pemilu?


Apa pandangan Partai Demokrat terkait ketahanan energi? Sebagai partai incumbent, sebetulnya tidak sulit kita membaca arah kebijakan Partai Demokrat. Di atas kertas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya ketahanan energi bagi Indonesia. SBY, dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam forum APEC di Bali menyatakan komitmen Indonesia terhadap masuknya investasi asing ke Indonesia, termasuk investasi untuk mengembangkan sektor energi tentunya.


Kenyataannya, masih banyak persoalan energi yang dihadapi Indonesia dibawah pemerintahan SBY, mulai dari masih tingginya ketergantungan pada impor, investasi migas yang cenderung melambat khususnya eksplorasi, produksi minyak yang menurun, program-program pengembangan infrastruktur energi yang lamban. Intinya, masih ada jurang antara rencana, komitmen, program dan kebijakan dengan kenyataan atau realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.


PDIP sebagai partai yang pernah berkuasa belum banyak bicara soal ketahanan energi. Bila Megawati Soekarnoputri yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDIP, publik paling tidak punya gambaran terkait kebijakan energi partai itu. Sebagai partai yang pernah berkuasa publik punya catatan negatif terkait energi. Indonesia menjual LNG dari Tangguh proyek ke China dengan harga murah saat Presiden Megawati berkuasa. Bisa jadi ini akan diungkit oleh lawan-lawan politik PDIP untuk menyerang kebijakan energi partai tersebut. Namun, bila PDIP mendorong Jokowi menjadi calon Presiden, persepsi publik mungkin akan berubah dan ingin mengetahui lebih jauh kebijakan energi Jokowi.


Publik juga belum banyak mendengar mengenai program terkait energy (energy policy) partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PSK, Hanura atau partai-partai lainnya. Golkar yang diketuai oleh Aburizal Bakrie sebetulnya bukan awam terhadap masalah energi. Beberapa anak perusahaan Group Bakrie bergerak di sektor energi seperti PT Energi Mega Persada. Namun, Bakrie punya catatan hitam terkait energi, yakni masalah lumpur Lapindo yang kini masih terus dipersoalkan publik. Salah satu perusahaan afiliasi Bakrie diduga menjadi pemicu muntahnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai pebisnis yang menjadi politisi Aburizal Bakrie mestinya sangat paham tentang pentingnya ketahanan energi. Sebagai mantan ketua Kadin yang pro-bisnis, kita bisa menduga Bakrie akan pro-investasi. Namun, seperti apa program Golkar terkait energi, sejauh ini masih belum jelas.


Barangkali satu-satunya calon presiden yang memiliki visi yang jelas terkait ketahanan energi (energy security adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Hal ini bisa dimaklumi karena Prabowo sendiri memiliki perusahaan energi, yakni Nusantara Energy, yang tentu sangat paham pentingnya ketahanan energi. Prabowo tampak mengetahui dan memahami akar persoalan energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yakni ketergantungan pada impor. Sementara pada sisi lain, investasi untuk eksplorasi rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila baru-baru ini Prabowo mengkritik pemerintah terkait kegagalan serta rendahnya perhatian pemerintah untuk mendorong investasi eksplorasi. Disamping itu, Prabowo juga dengan tegas mengkritik upaya sebagian kelompok masyarakat untuk menasionalisasi aset migas. Menurut dia, ini hanya persoalan pemahaman saja. Yang terutama adalah bekerja untuk kepentingan nasional dan semangat nasionalisme, bukan menasionalisasi.


Kita berharap para calon presiden dan partai-partai yang akan bertempur pada Pemilu 2014 akan menempatkan isu ketahanan energi ini menjadi salah satu isu utama. Tentu kita berharap akan terjadi perdebatan yang sehat, bukan manipulasi isu sekadar untuk menarik simpati publik. Ketahanan energi adalah isu yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Tanpa itu, ekonomi Indonesia dapat terancam dari waktu ke waktu.


Profil Kebijakan Energi Para Calon Presiden:


Prabowo Subianto (Gerindra)

Prabowo Subianto: Prabowo Subianto baru-baru ini mengatakan dia tidak setuju dengan nasionalisasi aset migas (gaya Chaves). Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo tampaknya mendukung investasi asing untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, namun, berbeda dengan Presiden Yudhoyono, Prabowo ingin fokus pada investasi untuk eksplorasi migas. Prabowo mengkritik kegagalan pemerintah saat ini untuk mendorong investasi untuk eksplorasi migas.

Poin Kebijakan Energi: 8/10




Aburizal Bakrie (Golkar)

Aburizal Bakrie, seorang pelaku bisnis melalui group Bakrie, yang kemudian terjun ke politik tampaknya akan pro-bisnis dan pro-investasi. Maksudnya, kepentingan bisnisnya kemungkinan akan diprioritaskan. Investor bisa jadi akan nervous bila Bakrie menjadi presiden, yang sejauh ini kemungkinannya (menjadi presiden) kecil. Golkar kemungkinan akan berjuang untuk fokus pada pemilihan parlemen (legislative election) agar tetap bisa menjaga keseimbangan politik seperti yang dilakukan saat ini. Namun, Bakrie sebagai pelaku bisnis punya catatan buruk yakni terkait kasus lumpur Lapindo.

Poin Kebijakan Energi: 3/10



Megawati Soekarnoputri (PDIP)

Saat ini PDIP belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden partainya. Kita asumsikan ketua partai Megawati Soekarnoputri masih berpeluang untuk dicalonkan. Siapapun yang akan dicalonkan pengaruh Megawati masih akan besar. Namun, publik punya catatan terhadap Megawati. Saat menjadi Presiden, Mengawati dihadapkan pada tantangan berat yakni melakukan reformasi birokrasi dan menghapus praktik-praktik korupsi yang telah merajalela, termasuk di sektor minyak dan gas bumi. KPK pun dibentuk. Tapi ia dinilai gagal.

Nilai Kebijakan Energi: 2/10



Joko Widodo (PDIP & Dijagokan oleh Partai-Partai Lain)

Jokowi saat ini menjadi tokoh yang disukai oleh publik dan menjadi media darling. Peluang Jokowi menjadi Presiden sangat besar, dengan catatan Megawati tidak ego dan menghalangi jalan Jokowi menjadi Presiden. Walaupun prestasi yang dicapainya dalam waktu singkat saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengagumkan, prestasi Jokowi di tingkat nasional belum terbukti dan belum diketahui pandangan dan kebijakan dia terkait industri minyak dan gas.

Nilai Kebijakan Energi: ?/10




Hatta Rajasa (Partai Amanat Rakyat)

Hatta Rajasa merupakan mantan menteri perhubungan yang memiliki catatan buruk. Cukup banyak kecelakaan pesawat, kerita api dan ferry saat ia menjadi menteri perhubungan. Namun, kedekatannya dengan Presiden SBY (melalui ikatan perkawinan, putrinya menikah dengan salah satu putra SBY) membuat Hatta tetap dipertahankan menjadi menteri dan bahkan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Catatan buruk saat ia menjadi menteri perhubungan dan dukungannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan BPMIGAS dan pandangan nasionalisme ekstrim PAN  terhadap industri minyak dan gas akan membuat investor nervous. Melihat posisi PAN, kemungkinan Hatta akan menjadi calon Wakil Presiden.

Nilai Kebijakan Energi: 1/10


Incumbent: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Partai Demokrat belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden dari Partai itu. Namun, publik paling tidak memiliki catatan terhadap berbagai kebijakan, program dan realisasi program pemerintah terkait kebijakan energi. Presiden SBY terlihat pro-investasi energi dan pro-bisnis.  Namun, SBY gagal meningkatkan investasi eksplorasi migas dan produksi minyak cenderung turun. Ketergantungan impor minyak tinggi. Ada jurang antara rencana dengan realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.

Nilai Kebijakan Energi: 3/10


Wiranto (Hanura)

Hanura telah mendeklarasikan Wiranto sebagai calon Presiden berpasangan dengan Harry Tanoesudibyo sebagai wakil Presiden. Kebijakan energi Wiranto belum kelihatan jelas, namun, kemungkinan dia akan pro-bisnis dan pro-investasi. Bergabungnya Harry Tanoe ke Hanura paling tidak akan sedikit banyak berpengaruh pada kebijakan Wiranto bila ia menjadi Presiden. Harry Tanoe merupakan pemilik MNC group, sebuah konglomerasi bisnis yang bergerak di media dan industri lainnya, termasuk minyak dan gas bumi melalui Bhakti Group.

Nilai kebijakan Energi: 5/10

Minggu, 06 Oktober 2013

Perpu Mahkamah Konstitusi, BBM dan Blok Mahakam

Sebuah Fasilitas Produksi Blok Mahakam
Hanya selang beberapa hari setelah Akil Mochtar (AM), ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Republik Indonesia Bambang Susilo Yudhoyono (SBY) langsung mengadakan rapat dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Rapat itu dilakukan untuk menyelamatkan wibawa MK, yang runtuh dalam sekejab setelah AM kedapatan menerima suap dari pihak yang berpekara untuk mempengaruhi sebuah keputusan. Sebuah tindakan fatal dan memancing amarah publik.

Rapat lembaga-lembaga tinggi negara tersebut menghasilkan sebuah keputusan penting. Bahwa, pemerintah akan mengajukan Peraturan Pengganti Undang (Perpu) ke DPR. Salah satu poin penting dari Perpu soal MK tersebut adalah untuk mengatur mekanisme pengawasan dan perekrutan hakim MK. Kekuasaan para hakim MK sejauh ini memang tidak terbatas. Lebih dari itu, tidak ada yang mengawasi sehingga rentan penyalahgunaan. Komisi Yudisial tidak punya hak untuk mengawasi hakim MK. Sistem perekrutan juga dianggap sebagai salah satu penyebab.

Pada titik ini, kita salut pada pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut penting mengingat lembaga ini merupakan salah satu pilar demokrasi dan merupakan amanat reformasi.

Pemerintah, khususnya Presiden SBY, memang harus sigap dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Berani tidak berarti grasa-grusu. Risiko tetap diperhitungkan.

Kasus BBM Bersubsidi
Apa yang terjadi bila seorang pemimpin lamban mengambil keputusan? Risiko dan ongkosnya menjadi lebih mahal. Lihat saja, ketika pemerintah lamban mengambil keputusan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beberapa bulan lalu. Akibat kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan, biaya subsidi terus meningkat sementara harga-harga barang meningkat, bahkan jauh sebelum keputusan diambil. Timing keputusan pemerintah dalam membuat kenaikan harga BBM dinilai tidak tepat karena bersamaan dengan meningkatnya belanja rumah tangga untuk pendidikan serta meningkatnya pengeluaran jelang hari Raya Idul Fitri.

Publik dan dunia usaha mendampakan seorang pemimpin yang tegas, tidak ragu-ragu dan bimbang dalam mengambil keputusan. Salah satu kritikan yang dialamatkan ke pemerintah dan Presiden SBY secara khusus adalah kelambanan dalam mengambil keputusan. Pihak istana pernah berdalil bahwa Presiden SBY memang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan semua risiko. Sehingga, terkesan lamban.

Mempertimbangkan semua aspek dan risiko memang perlu. Tapi hal itu tidak boleh mengorbankan waktu. Penting juga untuk mempertimbangkan ketepatan waktu (timing) dalam mengambil sebuah keputusan. Kalau sebuah keputusan ditunda-tuda, justru biaya dan risiko juga meningkat seperti contoh kenaikan harga BBM diatas tadi.

Kontrak Blok Mahakam
Salah satu contoh keputusan yang mendesak dan saat ini dinanti-nantikan oleh berbagai pihak adalah terkait hak pengelolaan blok Mahakam, yang akan berakhir tahun 2017. Idealnya, sebuah kontrak perpanjangan atau tidak atas sebuah blok Migas dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dengan demikian, operator dapat melakukan perencanaan dengan matang, rencana investasi bila diperpanjang atau exit strategy bila memang tidak diperpanjang. Hal ini penting mengingat rencana investasi sebuah proyek minyak dan gas bersifat jangka panjang. Sebuah proyek investasi yang sedang dilakukan saat ini, misalnya, biasanya sudah direncanakan 4-5 lima tahun sebelumnya.

Saat ini, operator Blok Mahakam sedang menantikan keputusan pemerintah apakah memperpanjang, tidak diperpanjang atau membuat skema baru semacam joint-operation yang melibatkan operator lama dan operator baru. Opsi ketiga ini yang kelihatannya bakal diambil pemerintah untuk menjamin transisi yang smooth dan memastikan operasional blok tersebut tidak terganggu dan tetap berjalan. Namun, detail skema-nya belum jelas.

Mengingat investasi sebuah proyek migas bersifat jangka panjang, maka keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam tidak ditunda-tunda terus. Idealnya, keputusan dilakukan tahun ini, karena bila ditunda ke tahun 2014, maka bisa jadi tidak akan ada keputusan karena pemerintah sudah akan sibuk dengan Pemilihan Umum. Bila ini yang terjadi, maka akan sangat berisiko karena operator Blok tersebut bisa saja menghentikan sementara rencana investasi kedepan sambil menunggu keputusan pemerintah, terutama investasi atau proyek yang akan berakhir melebih batas akhir kontrak, yakni 2017. 

Penundaan keputusan akan berdampak pada kesinambungan produksi Blok Mahakam. Sebuah proyek gas alam, bila dihentikan akan membutuhkan waktu dan ongkos yang mahal lagi untuk membuat produksi kembali berjalan.

Juru bicara Total E&P Indonesie Kristanto Hartadi 4 Oktober lalu telah mengatakan bahwa operator blok Mahakam telah menganggarkan Rp73 triliun (US$7.3 miliar) untuk pengembangan Blok Mahakam pasca 2017. Namun, operator blok tersebut kemungkinan menahan sementara rencana investasi untuk mengembangan blok Mahakam sebelum pemerintah mengambil keputusan. 

Beberapa rencana proyek pengembangan dalam beberapa tahun kedepan terancam dihentikan akibat tidak adanya kepastian terkait kontrak pasca 2017. Ini menunjukkan penundaan sebuah keputusan berdampak pada meningkatnya risiko kesimbungan produksi Blok Mahakam. Karena itu, masuk akal bila operator blok tersebut berharap pemerintah dapat mengambil keputusan segera dan tidak ditunda-tudan. Setiap keputusan memang berisiko apalagi bila pemerintah mengambil keputusan yang berani dan tidak populis.  (*)

Rabu, 25 September 2013

Calon Presiden Prabowo Subianto Menolak Nasionalisasi Industri Migas



Prabowo Subianto

Calon Presiden Prabowo Subianto dari Partai Indonesia Raya (Gerindra) mengingatkan pihak-pihak tertentu bahaya nasionalisasi industri minyak dan gas di Indonesia, serta mengkritik ‘kesombongan’ para elit pemerintah atas kegagalan mereka dalam meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi.

Berbicara pada Jakarta Foreign Correspondents Club di Jakarta pada hari Rabu (25/9), Prabowo Subianto, salah satu Calon Presiden (Capres) yang juga sekaligus Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengingatkan pihak-pihak tertentu yang menginginkan nasionalisasi di industri migas. Dia juga mengkritik ‘kesombongan’ yang diperlihatkan oleh para elit politik di tanah air yang telah gagal mendorong kegiatan eksplorasi migas. 

Prabowo menceritakan kembali apa yang terjadi pada sebuah dialog radio pada suatu pagi. Penelepon tersebut menanyakan pada Prabowo apakah ia ingin menjadi seperti Hugo Chavez dan menasionalisasi industri minyak dan gas bumi di Indonesia?

Ketua Partai Gerindra tersebut mengatakan kepada penelepon yang usianya masih muda tersebut bahwa “berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisasi.” Tampaknya, Prabowo mau menekankan lebih penting bekerja untuk kepentingan nasional daripada menasionalisasi. 

Kehadiran seorang warga negara atau sebuah perusahaan dinilai dari apa yang telah dilakukannya bagi negara.

Apakah seorang warga negara yang menilep uang negara untuk kepentingan pribadi lebih berharga daripada sebuah perusahaan migas yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja lokal, memproduksi migas dan hasil penjualan minyak dan gas menjadi sumber pendapatan bagi negara (APBN). Dan dana hasil produksi migas tersebut sebagian akan dialokasikan ke daerah melalui dana alokasi khusus (DAU) dan sebagian lagi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan termasuk untuk fasilitas pendidikan.  

Jelas sang koruptor yang juga warga negara Indonesia tersebut tidak lebih penting. Tempat yang layak bagi sang koruptor adalah di hotel prodeo a.k.a penjara, sementara perusahaan tadi kehadirannya jauh lebih penting. Dalam konteks ini, pernyataan Prabowo “bekerja untuk kepentingan nasional lebih penting dari nasionalisasi” sangat relevan.

Prabowo kemudian melanjutkan, “penting bagi kita untuk mendidik warga masyarakat terkait perbedaan itu, sehingga perdebatan politik menjadi lebih dewasa.” Dengan kata lain, lebih penting berdebat isu-isu yang realistis, bermanfaat langsung bagi rakyat daripada menjual mimpi kepada masyarakat kecil  dengan cara memanipulasi isu-isu murahan agar terlihat seperti pahlawan di siang bolong.

Perdebatan soal perpanjangan blok Migas, seperti Blok Siak, Blok Mahakam, dan beberapa blok lainnya, dengan meniupkan isu nasionalisasi migas, jelas tidak elok dan tidak pada tempatnya. Seharusnya, rakyat disuguhkan oleh argumen-argumen yang rasional dan masuk akal, tidak dengan memainkan isu nasionalisasi sempit. Apa yang disampaikan Prabowo mengingatkan publik dan elemen masyarakat agar mengedepankan perdebatan yang sehat dan rasional.

Menurut Prabowo, tidak ada salahnya dengan hadirnya perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing di Indonesia yang terlibat aktif dalam berbagai proyek migas, asalkan saja berada di bawah kontrol pemerintah yang baik. Ketika kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya, yang kini mulai memudar, para elit politik menjadi sombong dengan mengkalim bahwa Indonesia akan menjadi negara tersuksi karena sumber daya alam yang kaya dan populasi yang besar. Namun, kebijakan yang ada saat ini gagal untuk meningkatkan aktivitas eksplorasi migas. 

Dia berkomitmen untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia karena tanpa eksplorasi, lapangan-lapangan minyak dan gas yang berproduksi saat ini akan segera mengering karena terkuras habis. 


Industri Migas Strategis

Industri minyak dan gas bumi berperan penting bagi ekonomi suatu negara. Tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri industri minyak dan gas menyumbang sekitar 30 persen pendapatan negara pada Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu, pemerintah memiliki kepentingan untuk memastikan industri minyak dan gas  bumi terjaga, terus bertumbuh. Semakin berkembang industri migas, semakin besar kontribusi industri ini pada ekonomi nasinoal.

Kontribusi industri migas tidak sekadar angka-angka pendapatan yang disumbangkan kepada negara. Manfaat dari kehadiran industri migas juga dapat menciptakan multiplier efect bagi industri-industri lain.

Perusahaan-perusahaan migas yang mengembangkan berbagai proyek migas, entah itu fasiltas produksi di daratan atau rig atau platform di lepas pantai, membutuhkan berbagai produk, buatan lokal dan impor, untuk mendukung projek tersebut.

Sebuah proyek migas bisa saja melibatkan ratusan perusahaan yang menyuplai berbagai produk dan jasa, mulai dari produk pipa, baja, hingga jasa desain proyek. Sebuah proyek migas dapat menciptakan multiplier efek yang luar biasa bagi industri nasional, apalagi setelah pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM bersama SKK Migas mendorong penggunaan produk dalam negeri untuk dalam pembangunan proyek-proyek migas.

Kehadiran perusahaan migas baik perusahaan-perusahaan raksasa Migas internasional maupun perusahaan dalam negeri juga telah menciptakan lapangan kerja bagi pemuda-pemudi Indonesia baik yang bekerja langsung di perusahaan migas maupun mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan pendukung migas.

Namun, tidak semua menyadari pentingnya industri migas yang maju dan stabil. Belakangan ini, pelaku industri migas di Tanah Air mulai terusik oleh ulah sekelompok kecil masyarakat yang ingin mencari simpati rakyat dengan meneriakan isu nasionalisasi migas, dengan mencontohi apa yang telah dilakukan oleh Hugo Chaves.

Apakah menasionaliasi migas realistis di era terbuka dan globalisasi ekonomi saat ini? Apakah Indonesia akan menjadi negara yang terisolir seperti Korea Utara dengan mengusir semua perusahaan asing di Indonesia? 

Pernyataan Prabowo bahwa ia dengan tegas menolak nasionalisasi industri migas tentu mengirimkan sinyal positif bagi pelaku industri migas. Bagi pelaku industri migas, siapapun nanti yang menjadi Presiden baru tahun 2014, ia harus punya komitmen pada pengembangan industri migas nasional, yang saat ini masih terseok-seok. Birokrasi yang rumit di tingkat nasional dan lokal masih terus menghambat investasi sektor migas, baik eksplorasi maupun untuk produksi.  (*)