Kamis, 11 Juli 2013

Memahami Keputusan BI Menaikkan Suku Bunga Acuan


Mata saya tertuju pada berita keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate ketika membaca koran-koran dan berita online pagi ini.  Wah, tidak tanggung-tanggung, BI langsung menaikkan BI Rate 50 basis poin menjadi 6.50%.

Mengapa langsung 50 bps? Bukan 25 bps seperti yang diprediksi beberapa ekonom dan pelaku industri?

Pertama, tampaknya BI melihat ancaman inflasi dalam beberapa bulan kedepan bakal meningkat. Kenaikan inflasi bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kenaikkan harga-harga menyusul keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Kedua, nafsu belanja masyarakat kelas menengah ke atas meningkat tajam. Ini terlihat dari belanja masyarakat untuk membeli properti, mobil, dan barang-barang konsumsi lainnya. Ini juga terlihat pada laju perkembangan kredit perbankan yang kian menggila dalam beberapa tahun terakhir. Suku bunga kredit yang cukup rendah dalam 2-3 tahun terakhir rupanya mendorong nafsu belanja masyarakat yang cukup tinggi.

Tampaknya BI membaca hal tersebut. Karena itu, BI melakukan kebijakan teksbook dengan menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan. Bisa diduga, keputusan BI tersebut bakal diikuti oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit dan suku bunga deposit mereka.

Dampaknya?  Pertama, calon pembeli mobil, rumah, terutama yang memiliki dana terbatas dan bergantung pada kredit perbankan bakal menahan nafsu belanja mereka. Bagi mereka yang sudah terlanjur membeli dengan memanfaatkan fasilitas kredit, siap-siap suku bunga dinaikkan sepihak oleh perbankan atau perusahaan multifinance terutama bila suku bunga kredit ditetapkan secara ‘floating’. Bila suku bunga kredit sudah di-fixed untuk dua-tiga tahun, beruntunglah Anda. Bila suku bunga kredit cuma dikunci selama setahun, maka siap-siaplah suku bunga kredit dinaikkan setelah periode satu tahun sudah lewat.

Wah, kebetulan juga saya termasuk kelompok ini. Berarti harus siap-siap nih bakal membayar cicilan rumah bulanan lebih tinggi. Pada saat yang sama pengeluaran bakal meningkat karena harus membeli barang-barang dengan harga lebih tinggi. Fatal bila pemasukan sudah terkunci.

Sebagai konsumen atau pengusaha, saatnya untuk berpikir keras bagaimana menghadapi situasi ini. Sebagai pengusaha, bila perusahaannya sedang tajir, mungkin bisa mempertahankan gaji karyawan dengan meningkatkan penjualan dan meningkatkan produkvitas karyawan. Menambah karyawan baru kemungkinan direm dulu. Menurunkan gaji dikhawatirkan justru akan melemahkan produktivitas karyawan. Saat-saat seperti ini dibutuhkan komunikasi internal dari pimpinan manajemen agar tidak terjadi gejolak.

Bagi konsumen seperti saya, salah satu cara adalah mengurangi biaya-biaya yang tidak penting. Bila sebelumnya makan beberapa kali di restoran favorit dalam seminggu, mungkin dilakukan sekali atau dihilangkan dulu. Bagi yang perokok, cobalah dikurangi dan bila perlu distop. Selain keputusan tersebut menyehatkan kantong, juga menyehatkan badan. Dan, pasangan Anda mungkin akan lebih menyayangi Anda.

Pada saat yang sama, bisa dilakukan dengan meningkatkan pendapatan. Saya memilih cara ini – work smart, mencari tambahan income sehingga pendapatan tidak stagnan tapi meningkat. Dengan demikian, income meningkat saat pengeluaran meningkat. Mudah-mudahan kenaikan income melebihi laju pengeluaran. 

Dari sinyal yang diberikan BI, masih kemungkinan BI Rate dinaikkan lagi dalam beberapa bulan kedepan, sambil melakukan assessment dari keputusan kemarin menaikkan BI Rate 50 bps.

Selamat pagi Indonesia!!! Tingkatkan Produktivas!!!

Rabu, 10 Juli 2013

Catatan Harian -- Selamat Pagi Indonesia!!



Bundaran HI
 Apa yang baru hari ini di kota Metropolitan Jakarta? Demikian pertanyaan kolega saya dari Hong Kong lewat jalur skype pagi ini. 

Tanpa berpikir panjang saya langsung menjawab, ‘not much really’. As usual, jalanan masih macet. Pada hari pertama bulan puasa kemarin, kemacetan sedikit berkurang. Mungkin ada sebagian warga memilih cuti pada hari pertama puasa (dan hari kedua bagi sebagian warga Muslim yang telah memasuki bulan puasa hari Selasa).

Menarik untuk mengamati prilaku para elit politik, kata saya kepada kawan saya itu. Biasanya, periode fasting month ini terkadang digunakan untuk ber-bukber (buka bersama) sambil bersilahturahmi. Saat-saat seperti ini dimanfaatkan untuk bersilahturahmi dengan teman, kompetitor ataupun musuh.

Lihat saja dua raja media, ARB (Aburizal Bakrie) sang pemilik Viva group dan Bakrie Group dan Surya Paloh (SP), sang empunya Metro TV. Tiba-tiba keduanya terlihat mesra di hadapan wartawan kemarin. Keduanya, terlihat akrab padahal hubungan keduanya sempat renggang sejak berkompetisi merebut posisi Ketua Golkar beberapa tahun lalu. Kala itu, ARB keluar sebagai Ketua Umum Golkar, partai besar peninggalan Orba (sempat mau dicabut dan dihapus dari muka bumi saat reformasi, tapi belakangan tetap rimbun).

SP kemudian tetap menunjukkan eksistensinya dengan mendirikan sebuah organisasi masa (Ormas) -- Nasional Demokrat.  Banyak tokoh Golkar maupun non-Golkar yang sempat tersedot ke gerakan tersebut karena misinya yang menarik -- mengedepankan gerakan perubahan.

Ya, siapa sih yang tidak ingin berubah. Semua orang ingin berubah. Menuju ke sesuatu yang lebih baik tentunya. Nasdem juga demikian. Dengan media yang dimilikinya, Metro TV, terkadang dijadikan corong oleh sang pemilik untuk mendiseminasi informasi dan menggalang dukungan bagi gerakan tersebut. 

Smart (or unsmart) move?

Yang pasti, gerakan SP lewat Nasdem terus bergulir. Namun, sebagian orang melihat gerakan masa tersebut  akan bermuara dan bermetamorfosis menjadi sebuah partai politik. Soal ini, tidak dibantah dan juga tidak diiyakan oleh SP. Yang jelas, kemudian ARB mewanti-wanti dan memberikan warning kepada para politisi Golkar -- pilih Nasdem or Golkar. Sebagian tokoh-tokoh pendiri atau penggerak Nasdem melakukan gerakan ‘Muntaber’ – mundur tanpa beritahu atau sebagian pamit baik-baik setelah membaca, mencium, ada motivasi tersembunyi dibalik gerakan masa tersebut.

Ah, orang yang hijau dalam berpolitik saja yang pura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu. Apapun misi dan motivasinya, adalah hak Mr. SP untuk melakukan sesuatu yang dijamin Undang-Undang. Hak setiap warga pula untuk bergabung, mendukungmaupun memilih jalur Muntaber.

Apa yang terjadi kemudian telah menjadi sejarah. Salah satu raja media ‘HT’ (Harry Tanoe), tiba-tiba membuat kejutan, dengan menyatakan bergabung dengan Nasdem. Semua melihat, memantau dan menganalisa dengan pisau analisis masing-masing. Apa yang terjadi bila dua raksasa media bergabung? Yang pasti, lawan-lawan politik melakukan perhitungan. Pemerintahan yang berkuasa (PD) melakukan perhitungan.

Yang menarik, langkah HT tersebut dilakukan pada saat salah satu saudaranya tersandung kasus proyek IT di Kementerian Hukum and Hak Asasai Manusia. HT pun menjadi saksi dalam kasus tersebut. Bukan tidak mungkin statusnya meningkat jadi tersangka.

Tersangka? Hmm, menentukan status tersangka, terdakwa tak semudah meng-update status di twitterland, facebook atau media sosial lainnya. Sebagai lembaga yang tidak steril terhadap pengaruh kekuatan eksternal, KPK, tidak semudah itu menetapkan status seseroang. Kalau pun status telah dibuat, eksekusinya pun mengambang. Lihat saja, mantan Menteri Olah Raga Andi Malarangeng (AM) atau Anas Urbaningrum (AU – Au ah gelap) sudah ditetapkan tersangka tapi belum ditahan.

Kembali ke dua tokoh kita di atas tadi – SP dan ARB. SP kemudian membuat partai sendiri Partai Nasdem dan ARB pemegang kendali Golkar. HT? Setelah bergabung, mencoba membesarkan Nasdem lewat jaringan-jaringan TV-nya, membangun jaringan partai hingga ke bawah. Nasdem pun lolos jadi peserta Pemilu 2014. Lagi-lagi, kejutan terjadi. Setelah beredar ada cracking internal di Nasdem lantaran ada matahari kembar. Keretakan internal itu berujung pada HTH – HT hengkang.

Dengan resources yang dimiliki HT digoda berbagai partai untuk bergabung. Tapi, rupanya pilihan HT jatuh ke Hanura, partai yang didirikan (retired general) Wiranto. Kenapa bukan Gerindra? Golkar? PAN? Atau partai-partai lain? Hanya HT yang tahu. Adakah deal-deal politik antara HT dan Hanura? Dalam berpolitik, there is no lunch. “Tidak mungkin tidak ada” kata seorang sahabat.   Benar saja, Wiranto dan HT beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Langkah W-HT tersebut menyulut keresahan internal di Hanura. Beberapa tokoh senior Hanura berkoar-koar di media, langkah W-HT tidak sesuai aturan main partai, terlalu awal, langkah blunder, etc, etc. Sebagian mendukung dan memuji, langkah bagus untuk ‘test the water’. Tidak salah juga sih. Apakah pasangan W dan HT, merupakan pasangan ‘married made in heaven?’ Hanya waktu yang akan memberi jawaban.

Itu perkembangan politik dari kacamata warga, kata saya kepada kolega saya tersebut.

Media-media jugahingga hari ini  masih memberitakan soal harga-harga yang melambung pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebagian masyarakat terjepit karena harga-harga kebutuhan pokok naik saat kebutuhan dana meningkat bulan Juni-Juli untuk biaya pendidikan. Inilah ongkos sebuah keputusan yang terlambat dibuat. Lebih tepat keputusan kenaikan BBM dibuat awal tahun.

Berita menarik lain, apalagi kalau bukan sang media darling ‘Jokowi’, blusukan (kunjungan tanpa rencana dan bersifat mendadak) tetap menarik perhatian media. Kemarin JoKoWi ber-blusukan ke Kemayoran dan sorenya mengunjungi sebuah mesjid di kawasan Manggarai dan berbaur dengan masyarakat saat buka puasa.

Ah setelah ngobrol tanpa batas waktu dan ruang, saya dan kolega saya pun pamitan sambil mengucapakan ‘enjoy your day’ and ‘have a nice day’.   

Selamat Pagi Indonesia!!!

Selasa, 02 Juli 2013

Menanti Blok Masela Berproduksi



Oleh Irfan Toleng* 
Ilustrasi proyek Lapangan Abadi, Blok Masela
Blok Masela kembali menjadi berita. Berita pertama terkait keputusan PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan kelompok Bakrie, untuk menjual 10% sahamnya (participating interest) di Blok Masela. Berita kedua, terkait permintaan Inpex, operator Blok Masela, untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2028.

Alasan utama permohonan perpanjangan adalah bila Lapangan Abadi mulai berproduksi tahun 2019 atau 2020, maka operator hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan blok raksasa tersebut. Waktu pengembalian investasi dirasa tidak cukup untuk proyek raksasa sekelas Masela.

Inpex sendiri bukanlah pemain baru di Indonesia. Perusahaan asal Jepang tersebut telah berpartner dengan Total E&P Indonesia puluhan tahun dalam mengembangkan Blok Mahakam, di delta Mahakam, Kalimtan Timur. Kedua perusahaan tersebut telah mengembangankan sebuah blok dengan tingkat kompleksitas yang rumit karena terletak di 'tiga dunia', rawa-rawa, daratan dan lepas pantai. 

Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).

Di Blok Masela, perusahaan migas raksasa Jepang Inpex  memegang hak sebagai operator, sementara, Shell dan Energi Mega hanya sebagai pemegang saham. Nah, keputusan Energi untuk menjual PI-nya di Blok Masela senilai US$313 juta, berarti belum ada partner lokal lagi yang menjadi pemegang saham blok Masela. 

Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.

Dengan harga penjualan saham 10% tersebut, maka nilai projek Masela saat ini sebesar US$3.13 miliar. Dan tentu saja nilai proyek tersebut meningkat lagi setelah proyek tersebut berproduksi. Menurut perkiraan pemerintah dan Inpex, nilai investasi untuk mengembangkan lapangan Abadi di Blok Masela akan mencapai paling kurang US$5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.

Nilai persisnya belum diketahui karena operator belum mengumumkan Final Investment Decision (FID). Saat ini, baru memasuki tahapan pengerjaan FEED – Front-End Engineering Design. Final Investiment Decision diperkirakan akan diumumkan akhir tahun, dengan catatan FEED sudah selesai.

Sekadar kilas balik, Inpex memenangkan tender untuk mengembangkan Blok Masela bulan November 1998. Dua tahun kemudian (2000), setelah dilakukan pengeboran, Inpex menemukan cadangan gas alam yang layak untuk diproduksi yakni lapangan Abadi (Abadi gas field). Dalam 12 tahun terakhir, perusahaan tersebut terus melakukan pengeboran, termasuk sumur appraisal (appraisal well) untuk memastikan cadangan dan menentukan lokasi/titik-titik sumur produksi.

Dengan rentang waktu 12 tahun, jelas menunjukkan bahwa pengembangan lapangan migas merupakan proyek atau investasi jangka panjang. Artinya, selama 12 tahun terakhir, Inpex (dan belakangan Shell bergabung), mengeluarkan dana investasi untuk eksplorasi. Tentu saja ratusan juta dolar telah dikeluarkan untuk keperluan tersebut, sementara pengembalian investasi tersebut baru dimulai sekitar 6 tahun lagi, yakni 2019.

Tertunda
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’

Padahal, beberapa pejabat di kementerian energi pada awalnya menggembar-gemborkan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang memproduksi gas alam cair (LNG) dengan menggunakan skema kapal terapung atau floating LNG facility (FLNG). Tentu dengan asumsi Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016 atau 2017.

Proyek Prelude FLNG, Australia (foto: BBC)
Dengan diundurkannya jadwal produksi pertama, maka negara pertama yang akan menggunakan FLNG adalah Australia. Melalui proyek Prelude FLNG di lepas pantau Australia barat. Proyek tersebut dikembangkan oleh perusahaan migas raksasa Shell, yang juga menjadi partner Inpex di Masela. Shell memang diakui telah menjadi pionir pengembangan FLNG di dunia.

Fasilitas kapal terapung (FLNG) di proyek FLNG ini kabarnya seluas 6 kali kapal induk Amerika, Nimitz. Biaya investasinya pun bernilai jumbo, yakni kurang lebih US$30 miliar atau Rp300 triliun.

Memproduksi minyak di lepas pantai melalui Floating Production Storage and Offloading (FPSO) memang sudah berkembang pesat dalam belasan tahun terakhir. Namun, memproses gas alam cair melalui fasilitas lepas pantai memang belum ada. Saat ini pun, beberapa proyek gas alam kita seperti proyek Tangguh oleh BP di Papua memanfaatkan fasilitas onshore. Gas alam yang ada dilepas pantai dialirkan melalui pipa gas ke fasilitas produksi di daratan.


Pertanyaan sekarang apakah pemerintah memperpanjang hak pengembangan dan pengelolaan Blok Masela pasca 2028? Dari sisi perusahaan, memang tidak efisien bila masa produksi hanya 10 tahun karena proyek tersebut baru mulai berproduksi tahun 2019.

Disatu sisi, pemerintah tentu tidak begitu saja mengiyakan permintaan Inpex-Shell tersebut. Pasalnya, menurut peraturan yang ada, perpanjangan waktu hanya boleh dilakukan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dan, dengan catatan proyek tersebut sudah berproduksi. Sementara, blok Masela belum mulai berproduksi.

Publik dan industri migas tentu berharap pemerintah mengambil keputusan dengan bijak, dalam arti tidak menabrak peraturan yang ada. Konsekuensinya, bila diperpanjang sekarang maka ada peraturan yang perlu diadaptasi. Bila tidak ada keputusan, dikhawatirkan proses pengembangan proyek blok Masela tersebut akan tertunda lagi dan menjadi menggantung.

Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.

Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.

Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator. 

Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.