Selasa, 02 Juli 2013

Menanti Blok Masela Berproduksi



Oleh Irfan Toleng* 
Ilustrasi proyek Lapangan Abadi, Blok Masela
Blok Masela kembali menjadi berita. Berita pertama terkait keputusan PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan kelompok Bakrie, untuk menjual 10% sahamnya (participating interest) di Blok Masela. Berita kedua, terkait permintaan Inpex, operator Blok Masela, untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2028.

Alasan utama permohonan perpanjangan adalah bila Lapangan Abadi mulai berproduksi tahun 2019 atau 2020, maka operator hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan blok raksasa tersebut. Waktu pengembalian investasi dirasa tidak cukup untuk proyek raksasa sekelas Masela.

Inpex sendiri bukanlah pemain baru di Indonesia. Perusahaan asal Jepang tersebut telah berpartner dengan Total E&P Indonesia puluhan tahun dalam mengembangkan Blok Mahakam, di delta Mahakam, Kalimtan Timur. Kedua perusahaan tersebut telah mengembangankan sebuah blok dengan tingkat kompleksitas yang rumit karena terletak di 'tiga dunia', rawa-rawa, daratan dan lepas pantai. 

Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).

Di Blok Masela, perusahaan migas raksasa Jepang Inpex  memegang hak sebagai operator, sementara, Shell dan Energi Mega hanya sebagai pemegang saham. Nah, keputusan Energi untuk menjual PI-nya di Blok Masela senilai US$313 juta, berarti belum ada partner lokal lagi yang menjadi pemegang saham blok Masela. 

Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.

Dengan harga penjualan saham 10% tersebut, maka nilai projek Masela saat ini sebesar US$3.13 miliar. Dan tentu saja nilai proyek tersebut meningkat lagi setelah proyek tersebut berproduksi. Menurut perkiraan pemerintah dan Inpex, nilai investasi untuk mengembangkan lapangan Abadi di Blok Masela akan mencapai paling kurang US$5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.

Nilai persisnya belum diketahui karena operator belum mengumumkan Final Investment Decision (FID). Saat ini, baru memasuki tahapan pengerjaan FEED – Front-End Engineering Design. Final Investiment Decision diperkirakan akan diumumkan akhir tahun, dengan catatan FEED sudah selesai.

Sekadar kilas balik, Inpex memenangkan tender untuk mengembangkan Blok Masela bulan November 1998. Dua tahun kemudian (2000), setelah dilakukan pengeboran, Inpex menemukan cadangan gas alam yang layak untuk diproduksi yakni lapangan Abadi (Abadi gas field). Dalam 12 tahun terakhir, perusahaan tersebut terus melakukan pengeboran, termasuk sumur appraisal (appraisal well) untuk memastikan cadangan dan menentukan lokasi/titik-titik sumur produksi.

Dengan rentang waktu 12 tahun, jelas menunjukkan bahwa pengembangan lapangan migas merupakan proyek atau investasi jangka panjang. Artinya, selama 12 tahun terakhir, Inpex (dan belakangan Shell bergabung), mengeluarkan dana investasi untuk eksplorasi. Tentu saja ratusan juta dolar telah dikeluarkan untuk keperluan tersebut, sementara pengembalian investasi tersebut baru dimulai sekitar 6 tahun lagi, yakni 2019.

Tertunda
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’

Padahal, beberapa pejabat di kementerian energi pada awalnya menggembar-gemborkan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang memproduksi gas alam cair (LNG) dengan menggunakan skema kapal terapung atau floating LNG facility (FLNG). Tentu dengan asumsi Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016 atau 2017.

Proyek Prelude FLNG, Australia (foto: BBC)
Dengan diundurkannya jadwal produksi pertama, maka negara pertama yang akan menggunakan FLNG adalah Australia. Melalui proyek Prelude FLNG di lepas pantau Australia barat. Proyek tersebut dikembangkan oleh perusahaan migas raksasa Shell, yang juga menjadi partner Inpex di Masela. Shell memang diakui telah menjadi pionir pengembangan FLNG di dunia.

Fasilitas kapal terapung (FLNG) di proyek FLNG ini kabarnya seluas 6 kali kapal induk Amerika, Nimitz. Biaya investasinya pun bernilai jumbo, yakni kurang lebih US$30 miliar atau Rp300 triliun.

Memproduksi minyak di lepas pantai melalui Floating Production Storage and Offloading (FPSO) memang sudah berkembang pesat dalam belasan tahun terakhir. Namun, memproses gas alam cair melalui fasilitas lepas pantai memang belum ada. Saat ini pun, beberapa proyek gas alam kita seperti proyek Tangguh oleh BP di Papua memanfaatkan fasilitas onshore. Gas alam yang ada dilepas pantai dialirkan melalui pipa gas ke fasilitas produksi di daratan.


Pertanyaan sekarang apakah pemerintah memperpanjang hak pengembangan dan pengelolaan Blok Masela pasca 2028? Dari sisi perusahaan, memang tidak efisien bila masa produksi hanya 10 tahun karena proyek tersebut baru mulai berproduksi tahun 2019.

Disatu sisi, pemerintah tentu tidak begitu saja mengiyakan permintaan Inpex-Shell tersebut. Pasalnya, menurut peraturan yang ada, perpanjangan waktu hanya boleh dilakukan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dan, dengan catatan proyek tersebut sudah berproduksi. Sementara, blok Masela belum mulai berproduksi.

Publik dan industri migas tentu berharap pemerintah mengambil keputusan dengan bijak, dalam arti tidak menabrak peraturan yang ada. Konsekuensinya, bila diperpanjang sekarang maka ada peraturan yang perlu diadaptasi. Bila tidak ada keputusan, dikhawatirkan proses pengembangan proyek blok Masela tersebut akan tertunda lagi dan menjadi menggantung.

Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.

Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.

Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator. 

Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.

Kamis, 27 Juni 2013

Ketika Cadangan Minyak Menipis

Oleh Irfan Toleng*

Sebuah judul berita sebuah media online baru-baru ini menarik perhatian saya. Disitu tertulis, ‘Buruh tuding pemerintah bohong soal cadangan minyak’. Media online tersebut mengutip pernyataan seorang pimpinan buruh yang mengatakan bahwa cadangan minyak kita masih cukup banyak dan karena itu tidak beralasan pemerintah menaikkan harga BBM.

Apakah benar seperti itu? Apakah cadangan minyak Indonesia masih cukup banyak? Apakah produksi minyak kita masih cukup untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri?

Jawabannya singkat dan sederhana. Cadangan minyak Indonesia sedikit dan menipis. Mengutip pernyataan Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas, sebelumnya BPMIGAS) Gde Pradnyana, cadanan minyak Indonesia hanya sebesar 4 miliar barel. Dan produksi minyak saat ini sebesar 830,000-850,000 barel per hari, separuh dari puncak produksi 1.6 juta barel per hari.

Dengan cadangan sebesar itu dan dengan tingkat produksi rata-rata per hari sejumlah angka di atas, maka cadangan di atas akan habis pada 2021. Saat ini, konsumsi minyak kita terus meningkat menjadi sekitar 1.4 juta barel per hari dari cuma 400000 bph tahun 1980-an. Konsekuensinya, Indonesia saat ini harus mengimpor 400000 bph minyak. Ada jurang besar antara produksi minyak dalam negeri dan kebutuhan atau permintaan masyarakat.Akibatnya, biaya subsidi minyak membengkak.

Pernyataan seorang tokoh buruh di atas mengindikasikan bahwa masih ada persepsi yang keliru di masyarakat, seolah Indonesia masih negara pengekspor minyak. Persepsi itu masih melekat barangkali karena dulu Indonesia pernah menjadi negera pengekspor minyak. Saat itu, Indonesia bergabung dengan OPEC, sebuah organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Saat itu, OPEC sangat powerful karena apapun keputusan OPEC terkait quota produksi minyak selalu diperhatikan pasar. Keputusan dan produksi minyak OPEC sangat berpengaruh pada harga minyak.
Nah, Indonesia sejak tahun 2000-an, sudah keluar dari OPEC karena Indonesia telah menjadi pengimpor minyak. Produksi minyak Indonesia terus menurun hingga hanya sebesar 830,000-850,000 barel per hari saat ini.

Cadangan minyak Indonesia diperkirakan terus menurun bila Indonesia tidak melakukan terobosan untuk meningkatkan cadangan minyak.

Menurut laporan Business Monitor International, sebuah lembaga riset ternama yang berbasis di London, memperkirakan cadangan minyak Indonesia akan menurun menjadi 3.8 miliar barel pada 2017, dari 4.1 miliar barel saat ini.

Pernyataan sekretaris SKK Migas di atas bahwa cadangan minyak kita akan habis 2021 benar adanya bila Indonesia tidak melakukan eksplorasi saat ini. Artinya, kita hanya memproduksi minyak dari cadangan yang ada.

Karena itu, tidak ada jalan bagi Indonesia untuk menambah cadangan minyak dengan meningkatkan aktivitas eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak baru. Pemerintah perlu mendorong investor migas untuk meningkatkan investasi pada kegiatan eksplorasi migas.

Sayangnya, upaya tersebut bagai membentur tembok. Seperti yang diutarakan oleh berbagai petinggi-petinggi perusahaan migas dan eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA), kegiatan eksplorasi minyak kian menurun karena banyak kendala teknis dan non-teknis, salah satunya rumitnya perizinan.

Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku dan terheran-heran dengan begitu banyaknya pos-pos perizinan industri migas di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 270 perizinan. Artinya, mulai dari permohonan awal hingga minyak diproduksi, produsen migas (K3S) harus melewati 270 proses perizinan di paling kurang 15 kementerian dan pemerintah daerah – pemerintah provinsi dan kabupaten.

Akibat rumitnya perizinan tersebut, kegiatan eksplorasi dan produksi minyak terhambat dan tertunda atau bahkan tidak terealisasi. Contoh nyata adalah Blok Cepu. Produksi puncak blok tersebut bakal tertunda hingga 2014 atau 2015, dari target semula 2013, karena fasilitas produksi baru mulai dikonstruksi. Pengerjaan fasilitas produksi terhambat akibat izin IMB terlambat dikeluarkan oleh pemda Bojonegoro.

Publik dan perusahaan migas (KKKS) saat ini menunggu langkah nyata pemerintah untuk mengatasi masalah perizinan di industri migas serta upaya lain untuk menjaga iklim investasi migas.

Banyak ranjau yang harus dilewati oleh investor migas, baik asing maupun lokal, dalam menjalankan operasinya di Indonesia. Secara umum iklim investasi sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia masih belum menggembirakan.

Pada satu sisi pemerintah mengundang investor untuk berinvestasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi minyak dan gas. Pada sisi lain, perusahaan migas menghadapi berbagai ranjau untuk mengeksplorasi/mencari minyak dan meningkatkan produksi minyak.

Disamping itu, ada kelompok-kelompok tertentu yang terus memainkan isu nasionalisme sempit untuk kepentingan kelompoknya. Ada pihak tertentu yang terus memainkan isu nasionalisme sempit ini yang berdampak pada ketidaknyamanan investor dalam berinvestasi di Indonesia, sehingga Indonesia kian tergantung pada impor. Isu nasionalisme sempit dihembuskan, misalnya, untuk memaksa pemerintah menyerahkan blok-blok migas tertentu, seperti Blok Mahakam, ke Pertamina, untuk kemudian dijual kembali oleh perusahaan BUMN tersebut.

Berbagai kendala yang dihadapi industri migas akan berdampak pada penurunan produksi minyak (dan gas) serta penurunan cadangan minyak . Akibatnya, Indonesia kian tergantung pada impor Semakin besar ketergantungan Indonesia pada impor, semakin besar keuntungan para mafia importir minyak dari kegiatan mengimpor minyak.

Sangat riskan bila Indonesia bergantung pada impor. Bila terjadi gejolak di Timur Tengah atau bagian bumi lain yang berakibat pada meningkatnya harga minyak, maka Indonesia akan kolaps. Ekonomi bisa mati suri karena pemerintah akan kesulitan mengimpor minyak bila harga minyak katakanlah melonjak ke US$200 per barel.

Karena itu, pilihannya hanya satu: meningkatkan eksplorasi migas untuk meningkatkan cadangan minyak dan produksi dalam jangka panjang. Kita tidak persoalkan apakah itu perusahaan lokal, asing atau join venture. Yang terpenting mereka mampu dan berkomitmen dalam jangka panjang untuk berkontribusi dalam produksi minyak dan gas nasional. (*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.

Kamis, 20 Juni 2013

BBM & Solusi Jangka Panjang

Apa trending topic di negara 17,000 pulau dengan 240 juta penduduk hari ini? Tanpa perlu menanyakan pada twitter, jawabannya pasti jelas. BBM atau Bahan Bakar Minyak. Setelah terjadi perdebatan panas di DPR diiringi lobi-lobi dan politik 'dagang sapi', yang rakyat tidak tahu (baru ketahuan belakangan, seperti terselipnya 'pasal Lapindo'), DPR akhirnya menyetujui untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.



Sebuah fasilitas produksi migas (photo: www.steelindonesia.com)
Dengan demikian, kenaikan harga BBM bersubsidi tinggal menunggu pengumuman resmi pemerintah dalam beberapa hari ke depan.

Respons masyarakat bermacam-macam atas keputusan tersebut bermacam-macam. Ada yang bereaksi secara ekstrim, ada pula yang beradaptasi dengan situasi dengan mengencangkan ikat pinggang. Seperti telah diduga, sebagian pemuda yang mengklaim sebagai mahasiswa melakukan demo, memblokir jalan, membakar ban hingga melakukan tindakan tidak terpuji seperti merusak gerai KFC seperti yang terjadi di salah satu kota di Sumatera Utara.

Para pemilik angkutan umum seperti bis sudah menaikkan tarif angkutan, bahkan sebelum pemerintah mengumumkan harga BBM bersubsidi secara resmi dan sebagian bersiap-siap untuk menaikkan tarif. Organda, sebuah organisasi angkutan umum, telah mengajukan ke pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan sebesar 30 persen.

Dampak langsung dari kenaikkan BBM bersubsidi memang terjadi pada angkutan atau transportasi. Jadi, masuk akal bila mereka melakukan penyesuaian asalkan masih dalam taraf wajar. Industri secara umum seharusnya tidak serta-merta menaikkan harga barang karena toh mereka selama ini telah membeli BBM  industri, yang harganya lebih tinggi dari harga BBM bersubsidi. Kecuali mereka menggunakan modus tertentu untuk membeli harga BBM bersubsidi.

Pemerintah tentu punya alasan logis untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Salah satunya, penikmat  BBM bersubsidi selama ini adalah masyarakat kelas menengah ke atas, para pemilik mobil pribadi. Mereka toh, bisa membeli harga BBM bersubsidi lebih mahal. Pasti mereka punya cara untuk beradaptasi dengan harga BBM bersubsidi yang baru.

Tantangan terberat pemerintah adalah bagaimana mengurangi dampak kenaikan subsidi pada kelompok masyarakat dengan income rendah. Persoalannya, BLSM, atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat hanya diberikan selama 4 bulan. Seharusnya, pemerintah menyiapkan strategi lain, misalnya menciptakan lapangan kerja masal. Misalnya, melibatkan mereka pada proyek-proyek padat karya, irigiasi, jalan raya, dan lain-lain. Jadi, disamping mereka mendapatkan uang, masyarakat umum juga mendapat manfaat dengan adanya proyek-proyek padat karya tersebut.

Kita bisa berbicara panjang lebar soal BBM ini dan pasti tidak akan habis-habisnya. Kita juga bisa memberikan alasan-alasan mengapa BBM tidak perlu naik dan mengapa harga BBM bersubsidi harus dinaikkan.

Pemerintah pun tampaknya berupaya keras untuk meyakinkan masyarakat dengan berbagai cara, mulai dari selebaran, sosialisasi di televisi, radio, spanduk-spanduk untuk memberikan 1001 alasan mengapa BBM harus naik. Masyarkat juga mempunyai 1001 alasan mengapa BBM bersubsidi tidak perlu naik, sambil menuding pemerintah telah gagal menyediakan BBM dengan harga terjangkau untuk masyarakat.

Pada saat yang sama, tersiar kabar bahwa beberapa perusahaan migas gagal menemukan cadangan migas (dryhole) atau cadangan tidak mencukupi untuk dilanjutkan ke production stage. Seperti yang dilansir media beberapa hari ini, ada 11 perusahaan minyak yang gagal menemukan cadangan migas setelah 5 tahun melakukan eksplorasi. Akibatnya, mereka terpaksa menanggung kerugian sekitar US$1.9 miliar. Sebuah angka yang besar nilainya.

Sesuai skema cost recovery, bila perusahaan gagal mendapatkan cadangan migas, kerugian ditanggung sendiri. Biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa digantikan melalui skema cost recovery. Namun, bila mereka menemukan migas, maka biaya yang dikeluarkan selama masa eksplorasi tersebut digantikan oleh pemerintah melalui skema cost recovery.

Kegagalan perusahaan migas tersebut menunjukkan investasi di industri migas memang berisiko tinggi. Risiko lebih besar saat eksplorasi karena tingkat keberhasilannya cuma 10%. Karena itu, tidak heran bila bank-bank nasional tidak mau memberikan kredit ke perusahaan migas untuk keperluan pencarian migas (eksplorasi). . Tidak heran bila sebagian besar yang melakukan eksplorasi adalah perusahaan-perusahaan asing. Hanya perusahaan-perusahaan besar dengan modal besar yang berani mengambil risiko untuk melakukan eksplorasi.

Lalu apa hubungan antara persoalan BBM bersubsidi di atas tadi dengan berita kegagalan perusahaan migas menemukan cadangan?

Sangat erat kaitannya. Masalah BBM bersubsidi adalah masalah di hilir, sementara berita kegagalan perusahaan migas adalah persoalan di sektor hulu industri migas. Persoalan di hilir (BBM) saat ini sebetulnya refleksi persoalan besar di hulu industri migas.

Persoalan besar di hulu adalah produksi minyak yang terus turun.  Alasannya, sebagian besar blok migas yang berproduksi saat ini adalah blok migas yang sudah tua. Contoh, blok milik Chevron di Riau atau Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur. Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh Total EP Indonesie ini, sudah berproduksi lebih dari 40 tahun. Cadangan gas alam terus menipis.  Dampaknya, operator harus mengeluarkan investasi besar setiap tahun untung mengangkat gas alam (dan minyak dengan porsi kecil). Belum lagi karakter blok tersebut yang sangat kompleks.Operator harus menggunakan teknologi tertentu untuk mengangkat gas alam dari perut bumi Mahakam.

Bisnis migas memang berisiko tinggi dan horizon investasinya bersifat jangka panjang. Apa yang dialami oleh 11 perusahaan migas di atas merupakan contoh nyata risiko yang dihadapi perusahaan migas.

Apa implikasi bila perusahaan-perusahaan tersebut berhenti melakukan eksplorasi dan memutuskan melakukan eksplorasi di negara-negara tetangga seperti Vietnam, Cambodia atau Myanmar, yang notabene kian membuka diri bagi investasi migas asing?

Bisa jadi mereka akan memindahkan/mengalihkan rencana investasi mereka ke negara-negara tetangga. Bila investasi untuk eksplorasi berkurang, maka cadangan migas tidak bertambah, bahkan berkurang. Dampaknya, produksi minyak  akan menurun, sementara di satu sisi, kebutuhan minyak (BBM) meningkat. Bila gap ini terus melebar, maka biaya untuk mengimpor minyak meningkat dan akan sangat membebani anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN).

Kesimpulannya singkat: Tingkatkan investasi eksplorasi migas!!! 

#BBM#

Selasa, 18 Juni 2013

Indonesia Energy Update - Seputar Blok Mahakam

<Indonesia Energy Update - Seputar Blok Mahakam


Fasilitas produksi Blok Mahakam
Perdebatan siapa yang akan menjadi pengelola Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie tahun 2017 terus berlangsung dan menarik perhatian pelaku industri, pengamat, masyarakat lokal di Kalimantan Timur dan pemangku kepentingan lainnya.
Seperti yang kita ketahui, Blok Mahakam menjadi pionir dalam pengembangan gas alam di Indonesia. Blok ini pernah membuat Indonesia menjadi produsen gas alam (LNG) terbesar di dunia. Blok Mahakam sudah berproduksi lebih dari 40 tahun sehingga tergolong blok tua, sehingga dibutuhkan komitmen investasi besar tiap tahun oleh opertor, Total EP Indonesie yang bermitra dengan Inpex, untuk mencegah penurunan produksi.
Selain blok yang memasuki usia uzur, Blok Mahakam juga memiliki karakter yang unik, terletak di 'tiga dunia' daratan, rawa-rawa dan lepas pantai. Karena itu, para ahli geologi melukiskan Blok Mahakam sebagai salah satu blok yang unik dan paling kompleks di dunia. Blok ini memiliki lapisan-lapisan (layers) yang kompleks sehingga dibutuhkan pengetahuan, pengalaman, teknologi dan komitmen investasi untuk mempertahankan produksi serta sekaligus mencegah penurunan produksi.
Pengembangan produksi gas alam Blok Mahakam sudah cukup lama. Ketika mau mengembangkan blok tersebut, Indonesia saat itu belum memiliki kapasitas, teknologi dan knowhow, maka pemerintah mengundang produsen migas dunia, Inpex dan Total EP Indonesia untuk menggarap blok ini.

Seperti yang kita ketahui, Inpex, produsen migas terbesar Jepang, juga mendapat kontrak untuk mengembangkan blok Masela yang berada di laut Arafura. Blok ini diperkirakan akan menjadi kebanggaan Indonesia karena akan menjadi blok lepas pantai pertama yang memproduksi dan memproses gas di lepas pantai melalui mekanisme floating LNG plant (FLNG).

Saat ini, blok Mahakam masih memiliki posisi yang strategis karena menyumbangkan kurang lebih 30 persen produksi gas alam Indonesia. Secara umum, industri migas nasional memiliki peran penting dalam keseimbangan anggaran karena memberi kontribusi kurang lebih 30 persen terhadap pendapatan negara. Sehingga gangguan pendapatan dari industri migas tentu akan mengganggu keseimbangan APBN.
Menjelang berakhirnya kontrak Total EP Indonesie dan Inpex untuk mengembangkan dan mengoperasikan blok Mahakam, operator tersebut terlihat tidak menyurutkan investasinya sebesar US$2.5-US$3 miliar setiap tahun. Kabarnya, perusahaan tersebut telah menganggarkan puluhan miliar untuk investasi baik untuk meningkatkan cadangan maupun untuk berproduksi.
Karakter blok yang komplex, pengalaman, kompetensi, teknologi know-how serta komitmen untuk menjaga konsistensi produksi menjadi alasan mengapa pemerintah masih terlihat mempertimbangkan operator yang saat ini, Total EP Indonesie, untuk memparpanjang kontraknya. Tentu ada opsi-opsi lain yang sedang dipertimbangkan pemerintah.
Seperti yang kita lihat, tampaknya Eni, perusahaan migas Italia, juga melirik blok ini. Namun, yang perlu dicatat pemerintah adalah bahwa ENI merupakan pemain baru di industri migas di Indonesia. Sementara Total EP Indonesie sudah puluhan tahun mengoperasikan blok Mahakam dan tentu sudah tahu pula karakter masyarakat, budaya lokal, disamping memahami karakter blok Mahakam yang kompleks ini. Tentu saja, seperti yang kita lihat, Pertamina juga terlihat ngebet untuk menjadi operator Blok Mahakam.Semangat saja tentu tidak cukup. Perusahaan BUMN itu harus menunjukkan ke pemerintah terkait kemampuan, komitmen investasi besar, teknologi know-how dan pengalaman.
Perusahaan BUMN ini juga perlu melakukan evaluasi apakah efisien untuk menganggarkan investasi setiap tahun yang besar dan tidak mempengaruhi biaya investasi untuk mengembangkan blok-blok yang masih idle saat ini. Seperti yang disampaikan oleh pejabat-pejabat SKK Migas, saat ini Pertamina menguasai 47% blok migas nasional, tapi belum semuanya tergarap. Belum lagi pertimbangan clean governance yang masih menjadi catatan serius bagi perusahaan negara ini.
Masyarakat tentu berharap agar pemerintah dapat mengambil keputusan bijak dan rasional dalam mengambil keputusan siapa pengelola blok Mahakam yang baru, apakah diperpanjang atau diberlakukan skema baru, atau opsi-opsi lain yang tentu masih belum dibuka pemerintah. Yang pasti, pertimbangan utama harus melihat kemampuan mengelola blok Mahakam dengan segala kompleksitasnya, komitmen investasi besar untuk mempertahankan produksi gas alam, teknologi know-how, manajemen yang pruden (clean governance). Ini penting mengingat produksi gas alam tidak boleh terganggu. Bila terganggu akan tentu berpengaruh pada keseimbangan anggaran dan belanja pemerintah.

Berikut berita dari salah satu media (www.beyondenergynews.com)
 http://www.beyondenergynews.com/kategori/berita-924-eni-tertarik-garap-blok-mahakam.html

ENI Tertarik Garap Blok Mahakam
Diposting oleh : indah yusmita
Jakarta, Beyondenergynews.com - Pemerintah memastikan bahwa perusahaan minyak dan gas asal Italia, ENI Spa, telah menyatakan minatnya untuk menggarap Blok Mahakam pasca 2017 setelah kontraknya saat ini berakhir. Demikian diungkapan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edy Hermantoro di Jakarta, Selasa (18/6/2013).
"ENI memang menyatakan ke kita, kalau diberi kesempatan mau. Mereka juga tertarik, tapi ini masih pembicaraan informal. Tapi tentunya kami mengutamakan Pertamina untuk memperkuat basis ekonomi Indonesia," ujar Edy.
Pemerintah berprinsip bahwa siapapun operator yang akan dipilih pasca 2017, produksi Mahakam harus tidak terganggu, katanya.
Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menegaskan, "Kita belum tahu, masih dibahas. Kita maunya yang simple aja, tidak complicated."
Sebagaimana diketahui, Blok Mahakam saat ini dikelola oleh Total bersama Inpex dengan saham masing-masing 50%. Kontrak blok tersebut akan habis tahun 2017. Saat ini Total tengah meminta perpanjangan kontrak ke pemerintah, namun hingga detik ini belum ada kepastian. (*)

Follow my twitter account at : @irfantoleng dan facebook Irfan Toleng 

Indonesia Energi

Rabu, 12 Juni 2013

7 Eleven & Pilkada



Bila kita melewati gerai 7 Eleven hari-hari ini, mata kita mungkin tertuju pada spanduk yang dipasang di depan atau samping gerai itu dengan tulisan mencolok “PilKaDa”.
Lha, apakah kini 7 Eleven jadi sponsor Pilkada? Atau Jakarta akan mengadakan Pilkada lagi? Apakah pasangan Jokowi-Ahok mau dilengserkan? Jawaban ketiga pertanyaan tadi “Tidak”.
Lalu, apakah ada hubungan antara 7-Eleven dengan Pilkada? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala saya ketika hendak membeli hot chocolate favorit saya di 7 Eleven di salah satu gerainya di kawasan Pejaten, Jakara Selatan beberapa hari lalu.
“Ah, ternyata yang dimaksud Pilkada pada spanduk tersebut, bukan Pemilihan Kepala Daerah, tapi Pilihan Kamu Dua. Ya, Pilihan Kamu Dua. Oh, itu toh maksudnya . Ada-ada saja,” saya tersenyum geli.
Para kreator ide iklan memang terkadang mendompleng kata-kata yang menjadi hits di masyarakat.
Ya, ada 30 lebih provinsi di Indonesia dan ratusan kabupaten dan kota. Dan hampir tiap hari, masyarakat disuguhkan dengan berita Pilkada, terlepas masyarakat tertarik atau tidak. Berita Pilkada juga beranak-cucu. Ada berita korupsi terkait Pilkada, demo memprotes hasil Pilkada, atau berita tentang peserta Pilkada (bupati atau gubernur) yang terhempas akibat isu selingkuh yang dilemparkan calon lawan.
Salah contoh ide (kurang) kreatif saat Pemilu presiden silam: salah satu calon presiden saat itu menggunakan dan memodifikasi kata-kata dalam iklan “Indomie Seleraku”… menjadi “President bla bla, Pilihanku”. Entah karena iklan itu atau tidak, sang capres pun akhirnya terpilih menjadi presiden.
Saya kembali menengok ke spanduk bertuliskan “Pilihan Kamu Dua”. “Pilihan saya siapa? Kok cuma dua? Bakal calon presiden dan wakil presiden yang dimunculkan di media kan banyak? 
Jadi, kalau 7-Eleven mengatakan ‘Pilihan Kamu Dua’, maka saya jawab “Maaf, saya belum punya pilihan…”. 


Oops, ternyata yang dimaksudkan “PilKaDa” tadi adalah bahwa pembeli atau konsumen boleh memilih pilihan makanan paket A atau B. 

“Ah bilang kek dari tadi…pikiran saya jadinya kemana-mana,” gumam saya. 

Kehadiran 7 Eleven di Indonesia memang menarik. Konsep dan strateginya unik. Pertanyaannya, apakah 7 Eleven, atau “Sevel” masuk kategori ‘convenience store?” atau café-restoran? Di luar negeri, 7 Eleven digolongkan sebagai convenience store.

Di Indonesia sudah ada raja-raja penguasa pasar convenience store, Indomaret dan Alfamart. Dua-duanya sudah mencengkram pasar convenience store. Mungkin keduanya sudah mendominasi 80 persen pangsa pasar convenience store. Sulit bagi pemain baru untuk masuk ke niche market tersebut.
Apakah karena kondisi tersebut lantas pemegang master franchise 7 Eleven di Indonesia, keluarga Honoris (Modern Group) membuat beberapa modifikasi untuk memenuhi selera masyarakat Indonesia? Yang pasti, soal tata letak, layout toko, warna dan hal-hal mendasar lainnya, tidak berubah.
Henri Honoris, putra Sungkono Honoris yang lahir pada 1975 ini, punya jawaban. Masyarakat Indonesia, termasuk kalangan mudanya suka ‘kongkow-kongow’ alias duduk, ngobrol ngalor-ngidul, hingga diskusi hal-hal serius seperti Pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pemilihan presiden, BBM, kasus suap sapi mantan petinggi PKS berikut dayang-dayang cantiknya, dll.
Nah, singkat cerita, Henri Honoris, aktor kunci dibalik keberhasilan Sevel merangsek pasar convenience store, membuat sedikit modifikasi. 
Di negeri asalnya Paman Sam (kini dimiliki oleh pengusaha asal negeri Matahari), 7 Eleven merupakan convenience store, tempat untuk membeli barang bila waktu kepepet, atau sekadar ingin membeli sebungkus rokok or minuman ringan. Di luar sana, konsepnya dikenal dengan istilah “grab and go”, ambil barang, bayar dan pergi. Barangkali membutuhkan waktu hanya 5-10 menit mampir di Sevel.
Nah, di Indonesia Sevel menerapkan konsep cukup unik. Konsumen, Anda dan saya, boleh ikut PilKaDa. Pilihan pertama, ‘Grab and Go’ dan pilihan kedua, ‘Grab and Eat’ atau ‘Grab and Sit-down’.
Bila kita perhatikan, orang-orang Jakarta apalagi anak-anak mudanya menyukai pilihan No 2 – Grab and Eat (atau Grab and Sit down). Saya sendiri memang terkadang pilih opsi 1, dan pada kesempatan lain pilih opsi 2.
Biasanya, kalau sedang janjian ketemu kawan di Sevel, maka No 2 pilihannya. – Grab and Sit-down. Mengapa? Karena Sevel juga menyediakan tempat duduk dan meja, colokan listrik serta wi-fi. Fasilitas tambahan ini yang mungkin membuat Sevel memiliki daya tarik tersendiri.
Lalu, apakah Sevel masuk kategori convenience store atau café? Susah untuk menjawabnya dengan pasti. Convenience store ya, café/restoran ya.
Pada awalnya, kehadiran Sevel memang banyak ditentang karena dianggap menyalahi peraturan. Saat itu, pemeritnah sudah punya peraturan untuk membatasi hadirnya convenience store baru. 
Nah, entah mengapa, Sevel tetap hadir hingga saat ini, dan bahkan menciptakan tren tersendiri. Bila kita telisik lebih jauh, tampaknya Sevel mengantongi izin membuka café dan restoran. Dan memang, masuk akal karena mayoritas barang-barang yang dijual dan tersedia  masuk food and beverage.
Konsep ‘banci’ Sevel - convenience store ya, cafe ya -- bahkan kini mulai diikuti oleh pemain-pemain lama di pasar convenience store seperti Indomaret dengan Indomaret Point-nya.
Foto: www.waymarking.com
Pemegang master franchise 7 Eleven, Grup Modern, memang bukan pemain baru di sektor ritel. Grup ini sudah lama bermain di sektor ritel, yakni cuci cetak film. Setelah, kamera digital berkembang pesat sejak awal 2000-an, kehadiran gerai Fuji Film menjadi pudar.
Akibatnya, bisnis cetak film Grup Modern juga memudar. Keluarga Sungkono Honoris, rupanya melakukan langkah jitu. Mengubah dan menambah bisnisnya. Setelah berupaya keras, keluarga ini berhasil memperoleh lisensi Master Franchise 7 Eleven untuk Indonesia pada April 2009. 
Grup Modern, lewat salah satu anak perusahaannya, PT Modrn Putra Indonesia (MPI), mengambil langkah cepat dan agresif. Beberapa bulan setelah lisensi dipegang, gerai Sevel pertama di kawasan Bulungan Jakarta. 
Beberapa gerai cetak foto yang tersebar di Jakarta kemudian diubah menjadi gerai 7 Eleven. Perkembangannya cukup mencengangkan memang.

Saat ini, kurang lebih 150-an gerai Sevel tersebar di sudut-sudut kota Jakarta. Menurut sang CEO, Henri Honoris, seperti dikutip di media-media online, jumlah gerai diperkirakan meningkat menjadi 200 sebelum akhir tahun. Tahun lalu, 50% pendepatan PT Modern Internasional Tbk sebesar kurang lebih Rp1 trillion, disumbangkan oleh 7 Eleven dan bisa meningkat lagi menjadi 60-70%. Luar biasa!

Grup Modern kini merangkak naik. Grup ini nyaris tenggelam dan tak muncul lagi ke permukaan setelah krisis melanda Indonesia tahun 1997-1998. Salah satu icon grup, Bank Modern, kolaps. Sang Komandan, Samadikun H. (H = Hartono, bukan Honoris) menghilang bersama lenyapnya ratusan miliar dana bantuan likuiditas emergensi (BLBI) yang digelontorkan Bank Indonesia saat krisis moneter.
Badai kasus hukum yang menimpa Samadikun H, saudara dari Luntungan Honoris dan Siwie Honoris, serta perkembangan teknologi dan kamera digital yang cepat, tidak membuat keluarga Honoris merenung berlama-lama. Kehadiran dan perkembangan 7-Eleven yang pesat, bangkitnya kembali unit properti melalui PT Modernland Realty Tbk, serta ekspansi di sektor otomotif (lewat PT Foton Mobilindo, yang dikomandani oleh putra Samadikun Hartono, James Hartono) dan pertambangan nikel, tampaknya membuka jalan lebar bagi Grup Modern untuk kembali ke era emasnya.
Bagi konsumen, kehadiran 7 Eleven memberikan alternatif tempat baru untuk kongkow-kongkow. Bisa mengikuti PilKaDa. Grab and Go atau Grab-and-Sit down. (*)
Bogor, 12 Juni 2013
*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di salah satu lembaga riset. Menulis catatan ini sambil menikmati kopi hanget.