Selasa, 14 Januari 2014

Banjir Jakarta, Bukan Cuma Masalah Pemda DKI, Tapi Juga Pusat



Jakarta banjir lagi!!!
Setiap awal tahun, Jakarta bergelut dan berjuang mengatasi banjir. Dulu siklus banjir biasanya 5 tahun sekali, tapi kini siklus banjir semakin pendek menjadi 2-3 tahun sekali, dan bahkan kini terjadi setiap tahun.  Menarik melihat bagaimana sikap para politisi, masyarakat umum maupun pemerintah dalam menghadapi banjir di kota metropolitan Jakarta. Ada yang saling menyalahkan, ada yang bekerja dan bekerja  mengatasi banjir, ada yang menonton orang lain bekerja. Sikap yang tepat saat menghadapi banjir seperti ini adalah tidak saling menyalahkan, tapi mencari solusi. 

Di tengah perdebatan dan silang pendapat dalam mencari kambing hitam, yang jelas, siapapun yang tinggal di Jakarta hari ini merasakan dampak buruk dari banjir atau lebih tepatnya air tergenang dimana-mana. Entah itu pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, diplomat asing, pelajar, karyawan kantor, dan lainnya. Yang pasti, aktivitas terganggu. Banyak kegiatan masyarakat tertunda atau dibatalkan.  Mereka yang membawa kendaraan di jalan menderita kelelahan akibat macet yang terjadi dimana-mana, belum lagi bahan bakar minyak yang terbuang percuma. Jarak tempuh yang tadinya setengah jam, bisa menjadi tiga-empat jam. Ujung-ujungnya konsumsi BBM masyarakat melonjak.

Untuk mencari solusi, maka kita perlu memahami persoalan banjir di Jakarta, penyebabnya apa, lalu baru mencari solusi, baik solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang.  Ada beberapa fakta penting yang menarik bila kita melihat banjir di ibu kota.

Pertama, banjir di Jakarta tidak hanya terjadi dalam 10 tahun terakhir, tapi sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bila kita membaca berbagai lembaran sejarah, saat Jakarta masih bernama Batavia, banjir sudah terjadi.  Misalnya tahun 1878, banjir melanda hebat di Jakarta akibat hujan yang terus terjadi salama 40 hari. Setelah Indonesia merdeka, banjir besar juga sering terjadi, misalnya pada Januari 1952, 1953, 1954, 1956, 1950-60.

Sungai Ciliwung tempo doeloe
Sejarah juga mencatat terjadi banjir hebat tahun 1960-1970. Berbeda dengan banjir periode-periode sebelumnya, banjir di Jakarta semakin meluas. Yang terkena banjir kini tak lagi hanya daerah bantaran sungai-sungai yang saling silang (criss-cross) di Jakarta, tapi juga daerah pemukiman yang sebelumnya tidak terkena banjir. Dalam 10 tahun terakhir, terjadi kecenderungan baru, wilayah yang terkena banjir meluas dan siklus banjir semakin pendek dan bahkan hampir terjadi setiap 1-2 tahun. 

Kedua, terjadi pendangkalan sungai-sungai yang melintas di Ibu Kota. Lihat saja sungai Ciliwung atau sungai-sungai yang ada di Jakarta. Dasar sungai semakin dangkal akibat sedimentasi serta sampah. Sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan. Akibatnya, volume air yang melintasi jalur sungai semakin sempit dan akibatnya meluap ke rumah-rumah warga. Ulah masyarakat sendiri menjadi salah satu penyebab banjir.

Ketiga, hilangnya daerah resapan air. Ini tidak hanya terjadi di kawasan Puncak-Bogor tapi juga di daerah Ibu Kota. Ruang hijau semakin mengecil karena telah berubah jadi pemukiman. Daerah rawa-rawa seperti Kelapa Gading telah berubah menjadi pemukiman. Air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah, akibatnya mengalir di atas permukaan dan menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta.

Keempat, bencana banjir. Yang menarik dari pemberitaan belakangan ini, sebagian masyarakat dan media menganggap banjir di Jakarta sebagai bencana alam. Istilah bencana alam itu sendiri sebetulnya tidak tepat. Para praktisi kebencanaan telah menghindari penggunaan kata bencana alam, tapi fenomena alam. Bencana terjadi ketika fenomena alam menyebabkan kerusakan dan memakan korban. Gunung api yang meletus adalah fenomena alam. Yang menyebabkan terjadi bencana adalah manusia sendiri. Bila masyarakat tahu gunung api akan meletus, maka tindakan yang tepat adalah menjauh dari sumber potensi bencana.

Demikian juga banjir. Banjir adalah fenomena alam. Bila air meluap dan tidak ada masyarakat yang tinggal di pinggir sungai maka tidak terjadi bencana. Setiap tahun sungai-sungai di Kalimantan misalnya meluap. Tapi masyarakat sudah mengantisipasinya dengan membangun rumah panggung. Banjir ini juga terjadi akibat ulah manusia, yang membabat hutan-hutan di Kalimantan. Banjir yang terjadi di Jakarta juga akibat ulah manusia. 

Masalah banjir dan air yang tergenang dimana di Jakarta bukan cuma masalah Pemerintah DKI Jakarta tapi juga pemerintah pusat. Jakarta adalah juga Ibu Kota Negara. Maka pemerintah pusat berkepentingan mencari solusi penyebab banjir di Jakarta. Saatnya, para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di negeri ini bersatu mencari solusi. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang tegas sehingga bila terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengambil keputusan tegas, termasuk pemindahan ibu kota misalnya. Mengatasi banjir Jakarta bukan cuma dilakukan oleh Jokowi tapi juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara. (*)

Senin, 06 Januari 2014

Kisruh Harga LPG, Cermin Buruknya Sistem Komunikasi Pemerintah Indonesia


Tabung LPG 12 kg
Sebagian besar masyarakat Indonesia larut dalam merayakan kegembiraan merayakan tahun baru 2014. Beberapa jam kemudian, masyarakat dihebohkan oleh fakta naiknya harga LPG 12 kg menjadi Rp117.708 dari sebelumnya Rp70.200 per tabung, atau melonjak 67,7 persen. Fantastis!! Ini merupakan kado terpahit yang dialami masyarakat, menambah kado-kado pahit lainnya, seperti naiknya tarif listrik, tarif tol dan harga-harga lainnya akibat kenaikan tarif tersebut. Keputusan tersebut membuat kehebohan dan kekisruhan dalam 5 hari terakhir. Masyarakat menumpahkan kekesalan mereka melalui media mainstream maupun media sosial seperti di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. 

Keputusan Pertamina tersebut menyuguhkan dagelan dan panggung sandiwara baru. Menteri-menteri terkait membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan yang memprovokasi komentar pedas dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun tangan dengan mengadakan rapat mendadak pada akhir pekan lalu. Presiden SBY meminta Wakil Presiden Budiono untuk memanggil Pertamina agar mengevaluasi keputusan tersebut. Beberapa menteri mencoba mencuci tangan dengan mengatakan tidak tahu menahu dengan keputusan pemerintah tersebut. Keputusan tersebut merupakan tanggung jawab korporasi, Pertamina.

Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jero Wacik mengatakan tidak mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Aneh bin ajaib, seorang menteri ESDM kok tidak mengetahui keputusan kenaikan yang fantastis itu, padahal LPG (Elpiji) merupakan produk yang merupakan hajat hidup orang banyak. 

Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.

Menteri Jero Wacik kemudian meralat pernyataannya bahwa ia bukan tidak tahu. Ia baru mendapat pemberitahuan melalui surat yang ia terima tanggal 2 Januari, sementara keputusan Pertamina dibuat 2-3 hari sebelumnya. Tetap saja, tidak mungkin seorang Menteri ESDM tidak mengetahui keputusan Pertamina. 

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata. 

Dahlan Iskan sebagai Meneg BUMN seharusnya berpikir rasional juga dengan meloloskan keputusan Pertamina tersebut. Berbeda dengan menteri-menteri yang lain, Dahlan mencoba bertanggung jawab, “Itu salah saya”. Ya, salahnya Dahlan Iskan karena tidak melakukan koordinasi yang baik dengan menteri-menteri terkait. Mengapa Dahlan menyetujui keputusan tersebut? Ini menunjukkan DI tidak sensitif dengan kondisi masyarakat.

Dahlan pun membela diri bahwa kenaikan tersebut terpaksa dilakukan atas dasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa bisnis Elpiji Pertamina terus merugi. Dan Pertamina membiarkan itu terus terjadi. Dahlan Iskan mencoba membela diri dengan berargumen bahwa bila gas LPG 12 kg tidak naik, direksi Pertamina bisa dipenjara. 

Lagi-lagi kisruh harga LPG 12 kg tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen komunikasi pemerintah. Tidak ada komunikasi yang baik antara Presiden SBY, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Sepertinya anti-klimaks, pemerintah sore ini memutuskan untuk menurunkan kembali harga LPG 12 kg dari Rp117.708 menjadi Rp82.200 per tabung mulai besok pukul 00.00. Sebuah keputusan jungkir balik (flip-flop decision) dalam kurun waktu 6 hari. Yang jelas, pedagang yang membeli mahal beberapa hari terakhir akan menderita rugi, karena membeli dari Pertamina dengan harga mahal lalu menjual dengan harga rendah. Bila tidak, masyarakat akan protes. Ini salah satu harga yang dibayar akibat kegagalan Pertamina mengantisipasi reaksi masyarakat. 

Bagaimanapun menaikkan harga LPG hampir 68 persen tidak masuk akal. Mudah-mudahan Pertamina dan pemerintah belajar dari kisruh harga tabung gas LPG 12 kg tersebut. Mudah-mudah pemerintah berpikir matang sebelum membuat keputusan yang begitu strategis. Ini juga nanti berlaku pada keputusan-keputusan strategis lainnya, termasuk keputusan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir (seperti Blok Mahakam dan lainnya). Pemerintah perlu berpikir matang-matang dan bijak sebelum mengambil keputusan strategis. (*)

Kamis, 02 Januari 2014

10 Kekeliruan Presiden Indonesia Yudhoyono Tahun 2013

Ketimpangan
Tahun Baru (2014) telah tiba dan Tahun Lama (2013) telah lewat. Banyak harapan masyarakat dititipkan ke pundak pemerintah agar kondisi sosial ekonomi membaik di Tahun 2014 ini. Perayaan hingar-bingar pergantian tahun di berbagai kota besar dan pelosok tanah air menyiratkan optimisme masyarakat, walaupun Indonesia menghadapi agenda politik besar, yakni Pemilihan Presiden-Wakil Presiden serta anggota Legislatif. Jangan-jangan perayaan akhir tahun tersebut justru merupakan pelempiasan masyarakat atas rasa frustasi mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik saat ini? Bisa jadi ya. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh hilang harapan, bahwa Indonesia dapat melewati Tahun Politik ini dengan segala dinamikanya.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melirik ke belakang untuk melihat berbagai peristiwa atau kekeliruan yang terjadi pada tahun lalu. Berikut tercantum 10 Kekeliruan (mistakes) Pemerintah di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai bahan refleksi. Poin 1 sampai 10 tersebut merupakan hasil kompilasi dan refleksi. Susunan 1 sampai 10 tidak mencerminkan bobot dari peristiwa. Dan setiap kita pun bisa berbeda pendapat dan persepsi.

1.  Pemilihan Menpora Roy Suryo

Keputusan yang dinilai salah atau keliru dilakukan oleh Kepala Negara adalah pengangkatan pengamat telematika, Roy Suryo, sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) baru menggantikan Andi Mallarangeng. Andi mengundurkan diri setelah diduga terlibat dalam asus pembangunan kompleks olah raga Hambalang, Bogor. Keputusan pengangkatan Roy Suryo dinilai keliru oleh sebagian besar masyarakat karena ia minim pengalaman dalam organisasi olah raga. Padahal Indonesia membutuhkan sosok yang memahami dunia pemuda dan olah raga Indoensia yang dalam beberapa tahun belakangan minim prestasi.

2. Kasus Lapindo

Kasus luapan lumpur Lapindo memanas pada Februari 2013 setelah Presiden SBY meminta pemilik PT Minarak Lapindo Jaya, keluarga Aburizal Bakrie, untuk membayar sisa tunggakan kompensasi bagi masyarakat Sidoarjo sebesar Rp miliar, setelah rumah mereka terkubur oleh luapan lumpur lapindo. Namun, isu tersebut membuat hubungan antara ARB dengan SBY memanas. Perang isu dan komentar pun terjadi antara kedua pihak. Ujung-ujungnya, hubungan SBY-Bakrie mencair lagi. Buah dari hubungan yang kembali cair tersebut tercermin dari lolosnya sebuah pasal dalam APBN-P untuk mengalokasikan dana Rp155 miliar untuk membantu PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menangani musibah lumpur Lapindo.  Para pengamat menilai alokasi dana tersebut merupakan bentuk tukar-menukar kepentingan antara SBY dan Bakrie sebagai ketua Golkar. SBY dan pemerintah mendapat dukungan dari Golkar untuk menaikkan harga BBM pada pertengahan tahun 2013. Para politisi di DPR mengaku mereka kecolongan dengan terselipnya keputusan alokasi dana Lapindo. Perhatian mereka tersedot pada perdebatan kenaikan harga BBM.

3. Isu Kudeta

Kesalahan kedua adalah melemparkan isu kudeta. Tidak jelas mengapa isu tersebut dimunculkan oleh Presiden. Tapi yang jelas beberapa hari berikutnya setelah isu tersebut muncul di publik. Yang jelas, beberapa hari kemudian sejumlah 25.000 apara t tentara dan polisi dikerahkan untuk mengamankan kudeta. Tidak ada angin tidak ada hujan. Kudeta yang diisukan itu tidak kelihatan. Pengamat menilai isu kudeta hanya sebagai ‘lelucon politik’ kepala negara. Sebagain mengatakan Presiden terlalu oversensitive. Sebagian pengamat mengatakan istilah kudeta tidak tepat, karena kudeta dilakukan oleh pihak internal (bisa militer, bisa pihak internal lain). Sementara polisi mengamankan ibu kota dari potensi demo (people power).

4. Rangkap Jabatan

Ditengah krisis Partai Demokrat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih menjadi Ketua Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum. Anas diduga terlibat permainan uang saat Anas Urbaningrum memenangi kontes pemilihan ketua Partai Golkar di Bandung. Anas pun didorong oleh internal partai Demokrat untuk mengundurkan diri. Akhirnya, Anas ‘dipaksa’ mundur setelah KPK menetapkan AU sebagai tersangka. Banyak pengamat menilai keputusan Presiden sebagai keputusan keliru karena keputusan tersebut dianggap bakal mengganggu konsentrasi SBY sebagai Presiden RI. Lagipula, sebelumnya Presiden meminta para menterinya untuk fokus pada mengurus negara, ketimbang mengurus partai. Namun, ucapan tersebut malah dilanggar sendiri oleh SBY.

5. Orang-Orang Dekat Berkeliaran di Ring-1

Dalam berbagai kasus korupsi yang sedang diproses pengadilan, termasuk kasus impor sapi maupun kasus pembangunan gedung hambalang, muncul ke permukaan orang-orang yang tidak memiliki posisi formal (di luar birokrat) tapi mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Diantaranya Bunda Putri, Sengman, dan lain-lain. Kehadiran orang-orang di sekitar kekuasaan ini menjadi bumerang bagi pemerintah.

6. Tidak Melakukan Tindakan Tegas Terhadap Kasus-kasus Intolerance

Indonesia ibarat rumah untuk dihuni oleh seluruh warga, dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dijamin oleh Konstitusi. Namun, dalam setahun terakhir cukup banyak kasus-kasus ‘intollerance’ yang terjadi, seperti pengusiran kelompok Ahmadiyah di berbagai wilayah serta melarutnya kasus rumah ibadah (Gereja) di Yasmin, Bogor. Di beberapa tempat terjadi upaya penutupan rumah ibadah oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, namun aparat keamanan. Presiden SBY dinilai tidak mengambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok masyarakat tersebut, dan memberi kesan pembiaran kasus-kasus seperti ini terjadi.

7. Tidak Tegas dalam Mereformasi Sektor Energi

Sektor energi, khususnya, minyak dan gas bumi berperan strategis dalam pembangunan bangsa. Dari sisi pendapatan negara, sektor energi menyumbang 30% pendapatan negara (APBN). Sektor ini juga menciptakan multi-plier effect yang besar terhadap industri-industri pendukung migas. Tapi Pemerintahan SBY dinilai gagal mereformasi industri migas serta meningkatkan ketahanan energi (energy security) tidak terlihat. Tidak ada kemajuan berarti dalam industri migas. Yang terjadi malah penurunan produksi minyak dan tidak ada penambahan signifikan pada cadangan migas. Insentif fiskal yang dijanjikan ke pelaku industri untuk mendorong eksplorasi di lepas pantai dan laut dalam serta daerah frontier, tidak muncul-muncul. Jawaban pemerintah selalu klise; masih dalam penggodokan. Kegagalan ini termasuk tidak mengganti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Seharusnya, bila industri migas dan energi secara umum, tidak performed, maka menterinya diganti.

Bentuk kekeliruan dan kegagalan lain adalah menunda keputusan terkait kontrak Blok Mahakam. Padahal, kontrak Blok Mahakam akan berakhir 2017. Sebagai blok besar dan tua, operator tentu berharap pemerintah membuat keputusan jauh-jauh hari – 3-5 tahun, sehingga operator punya cukup waktu untuk mempersiapkan langkah berikutnya, termasuk rencana investasi.

8. Memaksa Diadakannya Konvensi Partai Demokrat

Gelaran Konvensi Partai Demokrat untuk menjaring calon Presiden dari Partai Demokrat yang digagas Ketua Partai Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Presiden Indonesia, gagal menarik simpati publik. Berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei, maupun para pengamat politik, konsensi tersebut gagal menarik simpati publik. Konvensi tersebut dianggap sebagai pemborosan internal partai. Sebagian pengamat menilai, ada perbedaan perlakukan terhadap calon-calon Presiden yang akan bertarung dalam konvensi tersebut. Beberapa calon dipanggil langsung oleh SBY untuk maju dalam konvensi, tapi ada beberapa calon yang dipanggil oleh Komite Konvensi.

9. Pengangkatan Jubir yang Keliru

Ketua Partai Demokrat telah mengangkat politisi Demokrat Ruhut Sitompul sebagai salah satu juru bicara (Jubir) Partai. Ruhut dinilai tidak pas dan bahkan mencoreng imej partai akibat ulah dan pernyataan-pernyataannya yang terkadang memancing kontroversial di masyarakat. Dari sisi moral, ia juga dinilai tidak tepat, karena ia tidak mengakui anak dari hasil perkawinan pertamanya. Dalam internal partai ia juga terkadang membuat pernyataan yang membuat kuping merah sesama politisi partai. Misalnya, ia mengatakan Soetan Bhatugana menerima uang dari kubu Anas Urbaningrum dalam konvensi Partai Demokrat di Bandung. Tapi pernyataan Ruhut kemudian dibantah oleh Soetan. Baru-baru ini ia juga membuat pernyataan yang bernilai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mencap seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (Boni Hargen) sebagai pengamat hitam karena kulitnya hitam. Ruhut pun dilaporkan ke Polda. Pernyataan tersebut jelas tidak diterima masyarakat umum karena Indonesia adalah rumah bagi seluruh penghuninya, dari Sabang sampai Merauke. Apakah karena kulitnya hitam, orang Papua, Ambon, Flores, dianggap sebagai warga kelas dua dan tiga? Tentu tidak.

 10.  Subsidi BBM Membengkak & Rupiah Melemah

Kekeliruan lain yang dilakukan oleh Presiden adalah membiarkan subsidi BBM membengkak. Padahal, uang subsidi BBM yang nilainya ratusan triliun tersebut akan lebih bernilai bila dialokasikan untuk membangun infrastruktur jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan atau pembangunan sektor pertanian. Tidak ada terobosan yang dilakukan SBY dalam mengurangi beban subsidi dalam APBN. Dalam pelaksanannya, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas karena mereka membeli BBM bersubsidi. Pemerintahan SBY juga gagal mencegah pelemahan rupiah yang kini melemah ke atas Rp12.000 per dolar AS. Salah satu akar persoalan adalah meningkatnya permintaan dolar AS oleh Pertamina untuk mengimpor BBM. Akibatnya, defisit neraca pembayaran melebar dan rupiah tertekan. (*)

Minggu, 29 Desember 2013

Awan Gelap Membayangi Industri Migas Indonesia di Tahun Politik



Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah Indonesia tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Kita berharap para pelaku industri migas tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha seperti biasa, sementara pemerintah berani membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. 

* * *
Dua hari jelang pergantian tahun, mendung menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau dikenal Jabodetabek. Beberapa wilayah sudah diguyur hujan sejak pagi. Seperti Jabodetabek yang mendung, demikian juga kondisi industri minyak dan gas bumi selama tahun 2013. Dikhawatirkan mendung yang membayangi industri minyak dan gas bumi ini akan terus berlanjut pada tahun 2014, tahun politik saat Indonesia akan sibuk dengan agenda Pemilihan Umum, baik untuk memilih anggota legislatif maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Salah satu situasi yang memprihatinkan adalah tingkat produksi minyak yang terus turun. Pada tahun 2013, lifting minyak Indonesia hanya mencapai 826.000 barel per hari, dibawah target 830.000 bpd. Padahal target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sudah direvisi dari sebelumnya 900.000 bph. 

Lifting minyak ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya. Pada 2012, realisasi produksi minyak mentah Indonesia sebesar 860.000 bph, dibawah target sebesar 930.000 bph yang ditetapkan dalam APBN. 

Pada tahun 2014, produksi minyak diperkirakan bakal menurun lagi, dengan asumsi belum ada tambahan produksi dari proyek-proyek pengembangan minyak yang ada, terutama dari Blok Cepu. Padahal, sebelumnya pemerintah menargetkan produksi minyak dapat meningkat ke atas 1 juta bph lagi bila Blok Cepu memasuki tahapan produksi puncak (peak production). 

Pemerintah sebelumnya berharap produksi Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu, bakal mencapai peak production sebesar 165.000 bph pada 2014. Namun, berbagai hambatan teknis dan non-teknis, termasuk masalah pembebasan lahan, perizinan yang memakan waktu lebih dari yang diperkirakan, membuat produksi puncak Blok Cepu molor.

Pemerintah sendiri telah menetapkan target lifting minyak sebesar 870.000 bph pada 2014 nanti. Namun, sebagian anggota DPR maupun pengamat energi mengatakan target lifting minyak tersebut sulit dicapai.

Sementara itu, lifting gas bumi selama 2013, seperti yang diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa waktu lalu, mencapai 1.204.000 bph, di bawah target pemerintah sebelumnya sebesar 1.360.00 bph. 

Cadangan minyak Indonesia hanya sebesar 3,7 miliar barel, yang diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang, dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan minyak yang baru. Cadangan gas bumi sebesar 152,89 triliun standar kaki kubik (standard cubic feet/tsfc). Dari jumlah itu, 104,71 tscf merupakan cadangan terbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potensial.

Penurunan produksi atau lifting minyak dan gas bumi tersebut merupakan cermin buruknya pengembangan industri minyak dan gas bumi pada 2014. Produksi atau lifting yang menurun menunjukkan menurunnya investasi perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk keperluan peningkatan produksi. 

Cukup banyak ranjau menghantui pelaku industri migas pada tahun 2013. Pelaku Indonesia maupun pemerintah sendiri mengakui masih adanya berbagai persoalan yang menghambat laju industri migas di Indonesia.  Beberapa faktor yang sering diutarakan oleh pelaku industri adalah faktor birokrasi dan perizinan yang rumit. Untuk membangun fasilitas produksi minyak dan gas bumi, dibutuhkan belasan dan bahkan puluhan perizinan yang perlu dikantongi oleh pelaku industri migas.

Faktor kedua adalah ketidakpastian hukum dan politik sehingga keputusan pemerintah dapat berubah-ubah, tergantung siapa yang berpengaruh pada pemimpin negara. Sebagai contoh, pembubaran BPMigas, badan pelaksana kegiatan industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia, atas tuntutan sekelompok masyarakat, padahal badan itu merupakan buah dari sebuah Undang-Undang Migas yang dihasilkan oleh DPR, yang notabene dipilih oleh rakyat. Namun, pemerintah tidak hilang akal. Pemerintah kemudian membentuk lembaga pengganti yakni SKK Migas, yang memiliki tugas dan fungsi yang mirip, hanya statusnya sekarang langsung berada di bawah kontrol Kementerian ESDM.

Faktor lain adalah ketidakpastian kontrak blok-blok Migas yang kontraknya segera berakhir. Paling tidak ada 5-6 blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. Perusahaan migas, atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), membutuhkan kepastian lebih awal mengenai nasib kontrak blok-blok migas karena itu akan mempengaruhi rencana investasi mereka. Dalam peraturan yang ada, pemerintah memberikan kesempatan kepada KKKS untuk mengajukan perpanjangan hingga 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ketentuan ini punya maksud, yakni investasi industri migas bersifat jangka panjang, apalagi blok-blok migas yang berskala besar, seperti Blok Mahakam.

Sinyal yang diberikan pemerintah sejauh ini tidak mengesankan. Sebagai contoh, Blok Siak dan Blok Kampar. Pemerintah baru membuat keputusan pada hari terakhir kontrak. Karena itu, pemerintah memberi kesempatan kepada operator lama untuk tetap beroperasi selama 6 bulan berikutnya, sebelum blok Siak diserahkan ke pemerintah.

Operator blok-blok migas berharap pemerintah membuat keputusan jauh sebelum kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator punya cukup waktu untuk melakukan strategi kedepan, termasuk keputusan terkait investasi. Operator Blok Mahakam, Total E&P Indonesie telah mengajukan perpanjangan kontrak operatorship Blok Mahakam tahun 2007 dan pendekatan terus dilakukan oleh perusahaan tersebut. Namun, hingga kini pemerintah belum membuat keputusan. 

Sejauh ini, pemerintah telah menetapkan 3 opsi terkait pengembangan Blok Mahakam, yakni diperpanjang, tidak diperpanjang dan kolaborasi operator lama (Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex), dan mengakomodasi pemain baru, dalam hal ini Pertamina. Wakil Menteri ESDM sebelumnya mengatakan pemerintah masih membutuhkan operator lama dalam pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Apakah itu berarti pemerintah akan memilih opsi ketiga, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Tarik menarik kepentingan politik dan transisi perubahan pemerintah yang sedang terjadi dapat berpengaruh pada keputusan pemerintah. 

Namun, bila melihat tingkat kerumitan dan kompleksitas Blok Mahakam, para pelaku industri dan pengamat menilai kolaborasi atau joint-operation – melibatkan operator lama dan pemain baru – merupakan solusi ideal bagi pengembangan Blok Mahakam selanjunya.  Selain, dapat mengurangi tingkat risiko, opsi tersebut dapat menjamin kelanjutan produksi Blok Mahakam dan bahkan produksi dapat dioptimalkan. Investasi besar yang telah direncanakan oleh operator sebesar US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan dapat terealisasi.

Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah sendiri tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Namun, kita berharap para pelaku industri migas dapat tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha mereka, sementara pemerintah tetap membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. (*)