Kamis, 05 September 2013

Harga Minyak Naik Lagi, Ekonomi Indonesia Terancam


Harga minyak naik


Tahun 2008, harga minyak mentah dunia meroket hingga US$145 per barel, menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis ekonomi. Tapi ekonomi Indonesia lolos dari kelesuan ekonomi dunia tersebut didukung oleh sektor konsumsi dalam negeri dan ekspor komoditas. Kini, ekonomi Indonesia kembali menghadapi ancaman eksternal, yakni naiknya harga minyak mentah dunia. Dalam beberapa hari ini harga minyak (WTI) dan Brent telah bergerak di kisaran US$106-US$114 per barel.

Apa yang menyebabkan harga minyak naik? Apa yang dilakukan Indonesia agar tidak mudah terancam dari gejolak harga minyak? Apakah Indonesia dapat kembali lolos dari guncangan eksternal ini?

Beberapa pengamat minyak mentah di bursa Wall Street memprediksi harga minyak bisa naik antara US$20 hingga US$40 per barel.

Apa yang menyebabkan harga minyak naik? Faktor pertama adalah kekhawatiran memburuknya kondisi geopolitik di Timur Tengah bila Amerika dan sekutunya menyerang Suriah. Suriah (Syria) sebetulnya bukan negara penghasil minyak. Produksi minyaknya tidak signifikan, hanya sekitar 50.000 barel per hari, jauh di bawah produksi minyak mentah Pertamina.

Namun dari sisi geopolitik, Suriah berbatasan dengan negara Irak, produsen minyak kedua terbesar OPEC, serta Jordan, Turki, Israel dan Lebanon. Dikhawatirkan, bila Suriah chaos, kekacauan politik dapat berpengaruh (spill-over) ke negara-negara tetangga.

Disamping itu, tampaknya sulit bagi Amerika untuk mendapat dukungan dari negara-negara seperti Rusia, Iran, dibanding, misalnya, ketika negara Paman Sam menyerang Irak dan Libya. Bila Amerika tetap ngotot menyerang Suriah, dan ditentang oleh Rusia, boleh jadi eskalasi akan memburuk. Apa yang terjadi Rusia dan Iran turut "bermain" melawan serangan AS?

Akankah terjadi Perang Dunia ke-III? Pertanyaan yang provokatif, tapi perlu agar kita menaikan bendera waspada. Saat ini, dunia sedang menunggu perkembangan politik di Paman Sam dan dunia, menanti apakah pemerintah Obama betul-betul menyerang. Bila kita mengamati gerakan-gerakan di belakang layar, pertanyaannya bukan “jika”, tapi “kapan”.   

Kondisi ini, dapat membuat para spekulan dunia memainkan harga minyak.

Lalu, apakah “faktor Suriah”, menjadi satu-satunya penyebab harga minyak naik? Tidak juga. Faktor lain adalah menurunya harga obligasi Amerika, yang turun tajam 10 tahun terakhir. Hal ini, yang membuat investor memindahkan sebagian dana mereka instrumen lain, termasuk emas dan “emas hitam” atau minyak. Faktor ini pula yang menyebabkan harga emas kembali merangkak naik belakangan ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu waspada. Tampaknya, pemerintah sudah melakukan beberapa langkah antisipasi. Misalnya, untuk penetapan Indonesia Crude Price (ICP) untuk APBN 2014, sudah memasukan faktor kenaikan harga minyak ini.

Beberapa hari lalu, pemerintah dan DPR belum menetapkan ICP, namun, mereka setuju ICP akan berada di kiaran US$100-US$115 per barel. Produksi terjual atau lifting minyak mentah dan kondensat dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2014 sebesar 870.000 barel per hari.

DPR dan pemerintah juga itu juga menyepakati lifting gas bumi 1,24 juta barel setara minyak per hari, sehingga lifting minyak dan gas tahun depan diusulkan 2,11 juta barel setara minyak per hari.

Kenaikan harga minyak sangat tidak menguntungkan Indonesia karena negara kepulauan ini sudah menjadi net-importer. Tidak ada lagi cerita ‘windfall profit’ dari kenaikan harga minyak. Produksi minyak Indonesia kini turun hingga menjadi sekitar 860.000 barel per hari turun dari 1,6 juta bph tahun 1995.

Kenaikan harga minyak, melemahnya rupiah akibat anjloknya neraca perdagangan, serta memanasnya kondisi politik jelang Pemilihan Umum 2014 diperkirakan akan berdampak buruk pada kondisi ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan. 

Dalam situasi ini, pemerintah perlu waspada dan menyiapkan langkah-langkah antipasi. Protokol krisis perlu disiapkan sehingga bila pemerintah terpaksa harus melakukan langkah drastis  untuk menyelamatkan ekonomi, tidak lagi ragu-ragu dan tidak menyebabkan kerancuan dan keraguan hukum seperti yang terjadi pada kasus bail-out Bank Century tahun 2009, yang kemudian menyebabkan kasus berkepanjangan.

Langkah lain yang perlu diambil adalah membuat terobosan untuk meningkatkan investasi sektor minyak dan gas bumi. Investasi migas bersifat jangka panjang. Investasi eksplorasi hari ini, baru akan membawa hasil dalam 5 hingga 10 tahun mendatang. Biasanya, perusahaan minyak dan gas justru melakukan investasi ketika terjadi krisis ekonomi. Sehingga ketika ekonomi kembali pulih, mereka siap memproduksi minyak dan gas. 

Pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan migas untuk mempercepat dan merealisasikan investasi mereka. Disamping pasokan dolar meningkat, ekonomi akan tetap bergerak dan produksi minyak dan gas dapat meningkat.

Dalam perspektif ini, kita menyambut baik rencana Investasi perusahaan-perusahaan migas besar seperti BP, yang berencana membangun train 3 proyek LNG di BP Tangguh, Papua; Inpex dengan proyek Masela, serta rencana Total E&P Indonesia untuk menginvestasikan US$7.2 miliar untuk mengembangkan Blok Mahakam. Tentu dengan asumsi kontrak pengembangan blok tersebut diperpanjang atau paling tidak Total E&P tetap dilibatkan dalam pengembangan Blok Mahakam pasca 2017.  (*)

Rabu, 04 September 2013

Pasar Tenaga Kerja Industri Migas Indonesia

Pasar tenaga kerja industri minyak dan gas (migas) bersifat global, lintas batas, spesifik dan terbuka. Siapa yang memiliki kompetensi dan keahlian tertentu, para pekerja migas Indonesia punya peluang untuk bekerja di perusahaan migas dimana saja. Para pekerja migas diperlakukan sama (equal treatment).


Pekerja Migas
Dalam perjalanan dari Bandung menuju Bogor beberapa waktu lalu saya secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pekerja di industri minyak dan gas. Sebut saja namanya Damas (35 tahun), lulusan STM swasta di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Walaupun lulusan STM, ia telah malang melintang di berbagai perusahaan kontraktor minyak dan gas besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ia tak sungkan berbagai pengalaman.

Ia memiliki latar belakang teknik elektro. Selepas lulus STM ia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor migas ternama, Tripatra engineering. Saat itu ia terlibat di berbagai projek minyak dan gas dalam negeri. Ia sempat mengenyam pengalaman beberapa perusahaan kontraktor sebelum mengadu nasib di Angola, bekerja di sebuah perusahaan minyak raksasa Perancis di Angola.

Ia bercerita saat ini banyak tenaga kerja ahli Indonesia bekerja di berbagai proyek migas di Angola. Menariknya, perusahaan-perusahaan migas besar menaruh kepercayaan besar pada pekerja asal Indonesia. Beberapa perusahaan migas internasional bahkan kini lebih memilih tenaga kerja ahli asal Indonesia dibanding India. Salah satu alasannya adalah etos kerja pekerja Indonesia disukai oleh perusahaan-perusahaan tersebut, disamping punya keahlian mumpuni tentunya.

Ketika ditanya mengapa banyak tenaga kerja migas asal Indonesia bekerja di negara-negara seperti Angola, dengan jujur ia mengatakan alasan utama adalah kompensasi dan pengalaman. Untuk keahlian dan posisi yang sama di Indonesia, katakanlah, well supervisor atau reservoir engineer, dapat memperoleh kompensasi atau gaji 7 kali lipat. Misalnya: di Indonesia dia mendapat US$6,000 per bulan, maka di sana ia akan mendapatUS$420,000 per bulan.

“Kita kerja cukup 5 tahun disana, sama saja kita kerja 20-30 tahun disini,” ujarnya. Tapi tentu saja ada plus-minusnya, misalnya harus tinggalkan keluarga untuk periode yang cukup lama. Bisa juga pulang ke Indonesia beberapa kali dalam setahun. Damas sempat bercerita, beberapa lalu ia sempat berlibur dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan membuka usaha, sekadar mengisi waktu. Namun, setelah beberapa bulan, ia kembali ditawari oleh Tripatra Engineering untuk bekerja di proyek Cepu.

Pekerja Migas di salah satu platform offshore
Tentu cukup banyak pekerja migas seperti Damas. Menurut perkiraan SKK Migas, kurang lebih 100,000 tenaga kerja ahli migas Indonesia saat ini yang tersebar di berbagai negara, termasuk di Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin seperti di Qatar, Kuwait, Angola, Nigeria, Amerika Utara, Norwegia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Brasil.

Tentu saja ini fenomena menarik dan menguntungkan bagi perkembangan industri minyak dan gas Indonesia kedepan. Para pekerja migas ini tentu beberapa di antaranya akan kembali ke Indonesia dan menyumbangkan keahlian mereka di berbagai proyek migas di Tanah Air.

Industri migas memang memiliki keunikan dan karakter tersendiri. Namun, secara umum dapat kita lihat bahwa pasar tenaga kerja industri migas bersifat global, lintas batas, spesifik dan terbuka. Artinya, siapa yang memiliki kompetensi dan keahlian tertentu, ia punya peluang untuk bekerja dimana saja. Para pekerja migas diperlakukan sama (equal treatment).

Bila tenaga kerja migas mencapai sekitar 100,000 di luar negeri, tentu yang bekerja di industri minyak dan gas di dalam negeri mencapai puluhan juta. Baik yang bekerja langsung di perusahaan migas, maupun di industri penunjang migas seperti kontraktor, supplier, dan sebagainya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik memperkirakan, tahun ini akan terjadi penambahan tenaga kerja sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) nasional hingga 6.700 orang.

Besarnya perkiraan jumlah penambahan tenaga kerja nasional sektor hulu migas ini, didasarkan pada persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget/WP&B) 2013 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas dengan anggaran belanja mencapai US$ 26,2 miliar.

Angka ini tampaknya merupakan perkiraan kasar, karena bisa jadi ribuan orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang tidak terlibat secara langsung, misalnya mereka yang bekerja di industri-industri terkait industri migas seperti industri yang memproduksi pipa dan baja. Mereka menyuplai produk mereka ke industri migas. Perusahaan Guna Nusa, misalnya, mempekerjakan ribuan orang untuk memproduksi anjungan minyak lepas pantai (oil and gas platform) untuk kebutuhan  produksi migas Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh perusahaan migas raksasa Perancis Total E&P Indonesia.

Perusahaan-perusahaan kontraktor seperti Tripatra, Rekind, McDermott, dan PAL, mempekerjakan ribuan tenaga kerja di berbagai proyek migas onshore maupun offshore.

Permintaan Tenaga ahli migas dari Indonesia tinggi
Proyek-proyek migas tersebut tentu akan memberikan efek berganda bagi perekonomian nasional. Perusahaan BP Tangguh, misalnya, mempekerjakan puluhan dan bahkan ratusan tenaga kerja asal Papua di proyek BP Tangguh. Tenaga kerja lokal tidak saja bekerja sebagai tenaga kerja security, sebagian bahkan dipekerjakan di control room, seperti yang penulis saksikan sendiri ketika mengunjungi BP Tangguh beberapa waktu lalu.

Belum lagi proyek pengembagnan Blok Masela. Seiring berjalannya waktu, puluhan ribu tenaga kerja baru akan dipekerjakan di proyek lepas pantai tersebut, baik pada masa persiapan, konstruksi maupun ketika proyek tersebut telah beroperasi. Proyek-proyek migas besar biasanya mempekerjakan puluhan ribu orang. Di Blok Mahakam, sebagai contoh, sektiar 3,000 orang yang terlibat langsung atau yang dipekerjakan oleh Total E&P Indonesie. Tapi juga ada 22,000 orang yang pekerja yang terlibat secara tidak langsung. Kehadiran sebuah proyek migas tentu saja akan menciptakan trickle down effect bagi daerah sekitar proyek migas.

Patut dibanggakan berbagai posisi puncak di perusahaan-perusahaan migas besar sudah ditempati oleh putra-putri bangsa Indonesia. Kita berharap semakin berkembangnya industri migas di Tanah Air, semakin banyak lapangan kerja yang tercipta. Kita tidak persoalkan asal-muasal perusahaan tersebut. Tolok ukurnya adalah kontribusi bagi Kepentingan Bangsa atau Nasional, entah itu perusahaan lokal, nasional atau asing. Semakin banyak perusahaan migas yang beroperasi, semakin baik bagi negara. (*)

Kamis, 29 Agustus 2013

Total E&P Tetap Perlu Dilibatkan di Blok Mahakam (?)

Kini, para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero risk)


Keputusan mengenai hak pengelolaan Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur, Indonesia, pasca 2017 tampaknya kian mendekati keputusan final, walaupun  kondisi politik nasional kian gaduh jelang Pemilihan Umum 2014 mendatang.
 
Pemerintah punya beberapa opsi mengenai siapa dan bagaimana skema pengelolaan blok tua tersebut. Namun, dari pernyataan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terakhir [29 Agustus 2013], tampaknya pemerintah cenderung memilih untuk tetap melibatkan operator yang sekarang, Total E&P Indonesie, demi menjamin adanya manfaat yang lebih bagi negara, walaupun keputusan belum final. Benarkah demikian? Mengapa perlu tetap dilibatkan?
 
Berbagai opini di ruang publik berseliweran dan terkadang berbenturan dengan maksud untuk memenangkan hati dan simpati rakyat. Aroma politik terkadang mewarnai atau dipaksa mewarnai keputusan ekonomi, demikian sebaliknya.
 
Itulah risiko dan konsekuensi sebuah negara demokrasi. Keputusan yang diambil pemerintah tidak bisa begitu saja diambil. Terkadang pertimbangan seharusnya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kompetensi, business, kapasitas, namun, pada kenyataanya, ada aspek lain yang tetap perlu didengar oleh pemerintah. Toh, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk diambil setelah melakukan evaluasi mendalam dan menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko.
 
Itu tampaknya terjadi dengan Blok Mahakam. Menurut peraturan yang berlaku, operator sebuah blok dapat mengajukan perpanjangan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Mengapa 10 tahun? Itu bukan tanpa pertimbangan. Alasannya, investasi di sektor migas berorientasi jangka panjang. Investasi yang dilakukan saat ini, baru akan mulai memberikan manfaat atau hasil setelah 5 atau 10 tahun, atau bahkan belasan tahun.
 
Lihat saja Blok Masela. Operator blok tersebut, Inpex, telah mengeluarkan dana ratusan juta dolar mulai dari eksplorasi hingga persiapan pembangunan fasilitas produksi, sudah berjalan cukup lama, tapi belum memberikan hasil. Saat ini, Inpex sedang memasuki tahap tender pembangunan fasilitas FLNG (floating LNG). Bila berjalan sesuai rencana, produksi baru akan mulai tahun 2018 atau 2019, tertunda dari rencana awal 2017.
 
Namun, bisa tertunda juga bila operator tersebut belum mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2029. Inpex jauh jauh hari menginginkan keputusan pemerintah, mengingat investasi yang dikeluarkan bakal besar dan pengembalian investasi belum tentu break-even 10 tahun. Itu alasan Inpex.
 
Demikian juga Blok Mahakam. Total E&P Indonesia bersama mitranya non-operator Inpex Ltd, menurut berita-berita di media, telah menyampaikan keinginan mereka untuk memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam setelah 2017. Idealnya, memang keputusan perpanjangan atau tidak, atau skema baru, dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, tahun 2012, sudah ada keputusan terkait operatorship blok Mahakam pasca 2017.
 
Namun, keputusan belum terjadi. Operator dan berbagai pengamat migas maupun eksekutif di Indonesia Petroleum Association (IPA) mengatakan tahun 2013 tahun yang tepat untuk membuat keputusan operator blok Mahakam, karena tahun 2014 Indonesia sudah disibukkan dengan agenda pemilihan umum -- pemilihan wakil rakyat (DPR) dan Presiden.
 
Pertanyaannya, apakah hak pengelolaan Blok Mahakam diperpanjang, tidak diperpanjang atau dibuat skema baru melibatkan operator lama dan pemegang participating interest (PI) baru, dalam hal ini Pertamina?
 
Dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan terus berlangsung mengenai skema dan hak operatorship Blok Mahakam. Terakhir, seperti yang diberitakan di berbagai media, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengungkapkan Total E&P Indonesia tetap akan "dilibatkan" dalam pengelolaan Blok Mahakam yang berlokasi di pesisir Kalimantan Timur itu. Dia beralasan, blok tersebut tidak bisa dioperasionalkan sama seperti blok-blok minyak dan gas bumi pada umumnya.
 
Susilo mengatakan kondisi sumur-sumur di Blok Mahakam kini hasilnya 98% berwujud air sehingga dibutuhkan penangangan khusus. "Total akan tetap dilibatkan karena masalah ini tidak bisa hanya sekedar dijalani dengan seperti biasa," kata Susilo, seperti yang dikutip Detik.com , Kamis (29/8/2013).

Tentu Wakil Menteri tersebut tidak sekadar membuat pernyataan, tetapi telah melalui proses hasil evaluasi mendalam baik secara teknis maupun non-teknis serta aspek risiko. Ia menandaskan pertimbangan Kementerian ESDM semata-mata melihat mana yang terbaik bagi negara.
 
"Jadi semua itu kita evaluasi, yang jelas ESDM tidak berkepentingan untuk merugikan negara, tidak ada rencana permainan di zaman yang serba semua disadap, kalau misalkan ada tuduhan buat ini lah itu lah ya janganlah," kata Susilo.
 
Status operator sebuah blok migas memang hanya seperti penyangkul kebun atau sawah. Ia diberi kewenangan untuk menyangkul sawah (blok), sementara pemilik tetap negara yang diwakili oleh Negara. Karena itu, operator tetap harus tunduk terhadap keputusan sang pemilik blok, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini, blok migas, tetap berada dalam kekuasaan negara. Operator hanya berfungsi sebagai kontraktor yang menyangkul sawah atau blok.
 
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengaku tetap memikirkan keberpihakan nasional dalam Blok Mahakam tersebut. Namun yang paling penting produksi gas yang ada di blok tersebut harus tetap berjalan walaupun adanya isu perpanjangan tersebut.
 
"Teman-teman jangan berpikir mengoperasikan Mahakam sama dengan mengoperasikan Banyu Urip. Banyu urip itu masih baru. Waktu produksi, begitu dibuka krannya masih minyak. Kalau di Mahakam itu 98 persennya sudah berwujud air. Oleh karena itu kompleksitas berbeda. Bukan berarti siapapun bisa menjalankan itu," ujar dia yang ditemui di Kantornya, Jakarta, Kamis (29/8).
 
Tampaknya, memang tidak semua elemen masyarakat memahami tingkat kompleksitas blok Mahakam. 

Material yang muncul ke atas tidak hanya condensat dan gas, tapi juga sudah bercampur lumpur, pasir dan material lainnya. Hal ini bisa dipahami karena blok tersebut sudah berproduksi 40 tahun dan berada di tiga dunia, daratan, rawa-rawa dan lepas pantai. Kondisi ini turut membuat operasional blok tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati,  agar mencapai titik zero risk.
 
Disamping itu produksi gas alam dan minyak cenderung menurun secara alamiah. Karena itu, perlu investasi baru untuk mempertahankan dan bila perlu meningkatkan produksi. Operator telah mengumumkan akan berinvestasi sekitar US$2.5-US$3 miliar setiap tahun atau sekitar US$7.3 miliar dalam 5 tahun mendatang untuk mempertahankan produksi. Saat ini, memang operator Blok Migas sedang membangun anjungan minyak dan gas baru di beberapa lapangan.
 
Pembangunan fasilitas tersebut diperkirakan akan selesai 1-2 tahun mendatang. Beberapa rencana investasi baru juga sedang disiapkan, namun, ditahan dulu sebelum ada keputusan dari pemerintah terkait hak pengelolaan blok pasca 2017.
 
Kini, para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero risk)
 
Bila pemerintah membuat keputusan untuk melibatkan operator yang sekarang untuk kepentingan yang lebih besar, agar produksi tetap berjalan lancar, tidak ada risiko gangguan produksi, dan bahwa ada jaminan pemerintah akan memperoleh pendapatan lebih dari blok Mahakam dalam tahun-tahun mendatang, maka publik akan tentu memahami keputusan pemerintah, walaupun ada sekelompok elemen tidak menyetujui.  (*)

Selasa, 27 Agustus 2013

Pelemahan Rupiah, Investasi dan Industri Migas



Ekonomi Indonesia sedang menghadapi gejolak mata uang. Salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang rupiah adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan di sisi lain kepastian hukum harus dijaga. 

-------------------------------------

Salah satu fasilitas produksi Blok Mahakam
Gejala guncangan yang dihadapi ekonomi Indonesia saat ini mirip seperti yang terjadi pada tahun 2008, yakni adanya tekanan pada rupiah. Beberapa pengamat telah mengingatkan pemerintah bahwa guncangan akan memburuk bila salah dan telat memberikan respons. Apakah benar seperti itu? Lalu bagaimana peran industri migas dalam menghadapi guncangan ekonomi tersebut?

Dalam satu minggu terakhir rupiah mengalami tekanan hebat. Rupiah tertekan dan mengalami penurunan drastis dari tingkat di bawah 10,000 menjadi di atas 11,000 terhadap dolar AS. Rupiah atau nilai tukar ibarat darah dalam transaksi ekonomi.

Bila rupiah mengalami fluktuasi tajam, hal itu akan berpengaruh pada harga barang-barang, utang dolar membengkak dalam nilai rupiah, terjadi penurunan dan bahkan kekeringan likuiditas di perbankan karena pemilik modal ramai-ramai membeli dolar, entah untuk membayar impor atau membayar utang dalam dolar.

Pemerintah dan beberapa pengamat ekonomi mencoba mencari jawab dibalik pelemehan rupiah, antara lain kebijakan quantiative easing di Amerika Serikat yang menyebabkan arus balik investasi global, defisit perdagangan yang kemudian tercermin pada berkurangnya cadangan devisa di Bank Indonesia.

Kondisi ini menyebabkan sebagian investor asing melepas saham mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI), lalu membeli dolar, sehingga menyebabkan rupiah melemah dan dolar menguat. Intinya, terjadi ketidak-seimbangan suplai dolar dan rupiah.

Jumat lalu (23 Agustus), pemerintah telah mengumumkan kebijakan atau paket ekonomi sebagai upaya meningkatkan suplai dolar ke dalam sistem perbankan. Diantaranya, membebaskan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan untuk menjual langsung produk mineral; berupaya mengurangi impor minyak dengan meningkatkan komposisi biodiesel dalam minyak yang dikonsumsi masyarakat, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penstabilan Neraca Pembayaran, kondisi Moneter, Fiskal dan meredam ancaman Inflasi.

Bila kita melihat kondisi pasar uang, menguatnya dolar sebetulnya dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk atau berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan atau investor-investor asing yang berencana memasukan investasi ke Indonesia perlu didorong oleh pemerintah untuk mempercepat rencana investasi mereka, termasuk investasi di sektor minyak dan gas bumi atau sektor energi.

Sektor minyak dan gas biasanya memiliki daya tahan terhadap krisis. Bahkan saat krisis merupakan peluang emas untuk berinvesasi sehingga pada saat ekonomi membaik, perusahaan siap beroperasi atau mulai berproduksi. Investasi di sektor migas butuh betahun-tahun sebelum operasi komersial beroperasi.

Proyek raksasa Blok Masela, misalnya, dapat didorong oleh pemerintah untuk dipercepat, agar mulai berproduksi mulai tahun 2018 seperti yang direncanakan. Pemerintah dapat pula mendorong BP untuk mempercepat proyek Train 3 Tangguh. Demikian juga dengan kelanjutan pengembangan Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Total E&P Indonesie sebagai operator dan Inpex asal Jepang sebagai mitra non-operator.

Pada kondisi ekonomi seperti dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017, apakah diperpanjang atau melalui joint-operation antara operator lama dan pemain baru, dalam hal ini BUMN Migas nasional Pertamina. Pemerintah tidak perlu lagi menghabiskan energi untuk melobi investor untuk masuk ke blok ini, karena Total E&P dan Inpex telah berkomitmen untuk menanamkan investasinya sebesar US$7.3 miliar untuk mengembangkan Blok Mahakam dalam 5 tahun ke depan.

Saat ini industri migas dapat memainkan peran strategis untuk meredam gejolak ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2008, perbankan nasional luput dari guncangan global, setelah perusahaan-perusahaan minyak menggunakan bank-bank nasional seperti Bank Mandiri, Bank BNI sebagai transaction bank maupun untuk cash management. 

Ini terjadi setelah BPMIGAS (sekarang SKK Migas) saat itu ‘memaksa’ perusahaan-perusahaan minyak dan gas global di Indonesia untuk menggunakan bank nasional untuk berbagai transaksi mereka. Kebijakan ini paling tidak membuat suplai dolar di perbankan nasional cukup terjaga, sehingga tekanan terhadap rupiah berkurang.

Pelemahan rupiah saat ini akan menguji sejauh mana daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi global. Solusi textbook dapat dilakukan dengan menggenjot ekspor, namun itu tidak mudah karena kondisi beberapa negara tujuan ekspor Indonesia sedang lesu darah. Namun, untuk produk-produk tertentu, ekspor dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pasokan dolar ke dalam sistem keuangan dalam negeri.

Seperti yang dijelaskan di atas, salah satu upaya untuk menghadapi gejolak mata uang adalah dengan mendorong masuknya investasi asing, khususnya di foreign direct investment (FDI) di sektor minyak dan gas bumi atau energi pada umumnya. Insentif dan kemudahan perizinan perlu dilakukan agar investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Hambatan-hambatan berinvestasi harus dihilangkan dan disisi lain kepastian hukum harus dijaga. (*)