Jumat, 21 Februari 2014

Jokowi dan Risma, Inikah Pemimpin Indonesia Masa Depan?

Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta
Risma, Walikota Surabaya
Setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang ada zamannya, kata seorang kawan. Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa setiap zaman akan lahir tokoh atau figur-figur tertentu yang mungkin tidak dibayangkan orang sebelumnya. Pada zaman kemerdekaan, lahir pemuda-pemuda penggerak, melawan penindasan penjajah. Banyak tokoh dan pahlawan yang muncul yang kemudian kita kenang sebagai pahlawan kemerdekaan. Salah satu tokoh yang muncul pada zaman Indonesia memproklamirkan kemerdekaan adalah Soekarno atau lebih tepat dwi-tunggal Soekarno-Hatta.

Ketika terjadi transisi pemerintahan tahun 1966, muncul juga tokoh-tokoh pembaharu. Demikian juga saat reformasi tahun 1997-1998, muncul figur-figur baru yang membawa perubahan. Demikian juga yang terjadi saat ini. Jelang pemilihan umum 2014, publik mulai mereka-reka, apakah akan ada muncul figur atau tokoh baru yang akan memimpin Indonesia? Ataukah Indonesia masih akan dipimpin oleh tokoh-tokoh lama? atau tokoh lama yang telah mentransformasi diri menjadi sosok baru atau sosok pembaharu? Ataukah masih akan tetap wajah dan watak lama?

Terlepas dari siapa yang bakal mempimpin Indonesia nanti, Indonesia rupanya tak pernah kehabisan tokoh atau figur-figur pembaharu yang muncul di zamannya. Pernahkah kita bayangkan 3-4 tahun lalu, publik akan mengenal sosok seperti Joko Widodo, mantan Walikota Solo, yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta? Atau pernahkah kita bayangkan sebelumnya, seorang tokoh baru dalam rupa Tri Rismaharin, Walikota Surabaya yang kini menjadi sorotan publik?

Bu Risma, demikian orang Suroboyo memanggilnya, atau lengkapnya Ir. Tri Rismaharini, M.T. merupakan anak kandung kota Surabaya, Jawa Timur. Ia lahir 20 Oktober 1961 (52 tahun). Ia menjadi Wali Kota Surabaya sejak 28 September 2010. Risma merupakan wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota Surabaya.

Insinyur lulusan Arsitektur dan paskasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini juga tercatat sebagai wanita pertama di Indonesia yang dipilih langsung menjadi walikota melalui pemilihan kepala daerah sepanjang sejarah demokrasi di Indonesa paska Refromasi 98. Risma diusung oleh partai PDI-P dan memenangi pilkada. Risma dan wakilnya dilantik 28 September 2010.

PDI Perjuangan beruntung memiliki dua tokoh baru-- Jokowi dan Risma yang menyedot perhatian publik. Kedua sosok ini berkontribusi besar dalam mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan belakangan ini. Masyarakat menyukai kedua sosok. Keduanya memiliki kesamaan.

Mereka tidak suka duduk lama-lama di kantor, tapi lebih suka blusukan atau langsung terjun ke lapangan. Keduanya tak suka hanya menerima laporan asal bapak senang (ABS) seperti yang biasa kita jumpai pada kebanyakan pemimpin-pemimpin Indonesia. Mereka lebih suka melihat atau mengecek langsung permasalahan di lapangan. Keduanya tak suka protokel-protoler yang resmi yang terkadang mengungkung seorang pemimpin.

Rupanya tidak semua orang suka dengan kemunculan dua tokoh ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan mereka, seperti penyadapan, isu-isu miring, dll. Sosok keduanya yang mencuat ke publik seperti meteor, membuat pihak-pihak tertentu seperti tak rela. Di internal partai PDIP sendiri, ada ketidaknyamanan pada petinggi-petinggi partai. Ada yang merasa partailah yang melahirkan kedua sosok ini. Namun, di kacamata publik Jokowi-Risma lah yang mendongkrak elektabilitas partai, bukan partai yang mempopulerkan keduanya.

Kedua tokoh ini sepertinya memporak-porandakan persepsi publik tentang seorang pemimpin. Dulu, seorang pemimpin harus berada di singgasana, seperti tak terjangkau oleh rakyat. Ia dipagari oleh orang-orang di sekitarnya yang mem-filter setiap informasi yang masuk dan keluar. Tapi terkadang orang-orang di sekeliling pemimpin terkadang memanfaatkan pemimpin untuk kepentingan dia sendiri. Terkadang akhirnya, orang-orang dekat itu yang menjatuhkan pemimpin tersebut.

Berbeda dengan tokoh baru seperti Jokowi dan Risma, mereka mendobrak pakem pemimpin seperti itu. Mereka tipe pemimpin yang lebih senang untuk terjun langsung (hands-on).

Namun, tidak semua orang menyukai pemimpin seperti ini. Terkadang, mereka juga dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya. Boleh jadi ada pihak-pihak tertentu yang tidak mau berubah dan tetap melanjutkan praktek-praktek lama, seperti korupsi tender, menyalahgunakan kekuasaan, dsbnya. Contoh nyata adalah, soal tender atau pengadaan bus Trans Jakarta yang didatangkan dari China. Belakangan muncul dugaan, pengadaan proyek tersebut telah di-mark-up dan dapat merugikan negara. Jokowi dan Ahok berang.

Demikian juga dengan Risma, perubahan-perubahan yang dilakukannya di Surabaya, mulai dari hal-hal kecil seperti soal pertamanan, kebun binatang, dan perubahan pelayanan publik mendapatan penolakan dari berbagai pihak yang merasa tidak nyaman dengan perubahan tersebut. Sehingga muncul isu Risma mau mundur, yang menarik simpati publik dan meminta dia untuk tidak mundur. Sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dikhabarkan meminta Risma untuk tidak mundur.

Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Apakah saat ini, merupakan eranya Jokowi-Risma? Atau paling tidak simbol tokoh yang membumi? (*)

Minggu, 16 Februari 2014

Kasus Penyadapan Muncul Kembali, Australia Sedot Data Telepon Indonesia dalam Skala Besar


Kasus penyadapan oleh Australia terhadap Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat-pejabat tinggi Indonesia yang sempat membuat hubungan Indonesia dan Australia memanas beberapa waktu lalu kini mencuat lagi. Menurut laporan media Australia (Canberra Times), penyadapan rupanya tidak hanya terhadap para pejabat tapi data-data dan pembicaraan telepon dalam skala luas. Penyadapan tersebut dilakukan melalui jaringan kabel bawah laut telepon Indosat. Penyadapan ini tampaknya akan membuat berang Indonesia karena sulit menerima hal itu dilakukan oleh tetangga terdekat dan dapat menjadi ganjalan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia kedepan.

Dokumen-dokumen rahasia yang dibocorkan oleh mantan staf kontrak inteligen AS Edward Snowden yang diperoleh The New York Times memperlihatkan bahwa target penyadapan tidak hanya terduga teroris, para politisi penting republik ini, tapi sebuah penetrasi untuk mendapatkan akses yang luas terhadap jaringan telepon dan data.

Dokumen-dokumen itu memperlihatkan secara detil kerjasama antara US National Security Agency dan Australian Signals Directorate. Untuk pertama kalinya terkuak akses yang komprehensif diperoleh lembaga spionase Australia tersebut terhadap sistem komunikasi nasional Indonesia.

Menurut dokumen NSA tahun 2012, Direktorat Sinyal Australia (Australian Signals Directorate) memperoleh data telepon dalam jumlah yang sangat banyak dari Indosat, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar Indonesia, termasuk data tentang pejabat-pejabat pemerintah di berbagai kementerian.

Dokumen tahun 2013 memperlihatkan Direktorat Sinyal Australia telah memperoleh 1.8 juta kunci master enskripsi (encrypted master keys), yang digunakan untuk melindungi komunikasi pribadi, dari Telkomsel, dan mengembangkan sebuah cara untuk melakukan decrypt atau decoding (menginterpretasi) semua data itu tanpa mengetahui master key.

Tentu ini merupakan perkembangan yang menarik. Dan lebih menarik apa isi dari data-data itu? Apakah ada data-data rahasia, pembicaraaan-pembicaraan atau komunikasi rahasia antar pejabat yang disadap? Dari kacamata hubungan diplomatis, tampaknya apa yang dilakukan oleh ASD ini sudah terlalu jauh masuk ke jaringan telekomunikasi Indonesia. Dan tentu akan memancing reaksi keras pemerintah Indonesia.

Mengomentari laporan tersebut, Perdana Menteri Australia Tony Abbott hari Minggu mengatakan pemerintahnya menggunakan materi-materi inteligen tersebut “untuk kepentingan sahabat-sahabat kami’ dan untuk “memegang teguh nilai-nilai”. Tampaknya ‘sahabat’ yang diucapkan oleh PM Australia tersebut adalah Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa beberapa waktu lalu mengatakan akan berbicara dengan Menlu Amerika saat kunjungannya ke Indonesia

Hubungan antara Indonesia dan Australia memburuk November tahun lalu setelah muncul laporan adanya penyadapan telepon terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istrinya dan pejabat-pejabat Indonesia.

Pemerintah Indonesia berang, dan berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi di Kedutaan Australia. Pemerintah kemudian menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia sebagai bentuk ungkapan protes Indonesia terhadap penyadapan tersebut. Di antara suara-suara yang memprotes penyadapan tersebut, sekelompok masyarakat berharap mudah-mudahan penyadapan itu membongkar kongkalikong dan korupsi yang merajalela di lembaga-lembaga dan kantor-kantor pemerintahan.

Pemerintah Australia dan Amerika juga telah melakukan akses pembicaraan telepon dan trafik internet melalui kabel telekomunikasi bawah laut melalui Singapura. Pemerintah Australia sebelumnya menolak mengungkap operasi inteligen yang terungkap melalui dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Snowden.  Rupanya masalah penyadapan ini bakal berlanjut. Kita tunggu periode berikutnya. (*)

Kamis, 13 Februari 2014

Tingkatkan Eksplorasi, Solusi Jangka Panjang Kurangi Ketergantungan Indonesia Terhadap Impor Minyak


Dalam sebuah seminar tentang teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) hari ini, para insinyur mengingatkan kembali kondisi industri minyak dan gas bumi Indonesia yang mengkhawatirkan. Yang paling dikhawatirkan adalah cadangan minyak yang kian menipis. Produksi minyak terus menurun, sementara tidak ada tambahan cadangan baru yang signifikan. Bila tidak ada tambahan cadangan maka, produksi minyak hanya akan bertahan hingga 10 tahun kedepan.

Apa konsekuensinya?  Pertama, Indonesia akan bergantung 100 persen terhadap impor minyak. Saat ini konsumsi minyak Indonesia mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari (bph), sementara produksi dalam negeri hanya sedikit di atas 800.000 bph. Akibatnya, Indonesia mengimpor sekitar 500.000-600.000 bph. Kabar buruknya, volume impor diperkirakan akan terus naik karena permintaan dalam negeri terus meningkat, sementara produksi turun.

Produksi gas bumi memang masih cenderung stagnan, namun pada titik tertentu nanti akan berkurang. Disamping itu kondisi blok-blok migas Indonesia sebagian besar memasuki usia tua, seperti blok milik Chevron di Riau sera Blok Mahakam yang dioperasikan Total E&P di Kalimantan Timur. 

Melihat kondisi ini, tepat apa yang diingatkan oleh para insinyur tersebut untuk menerapkan teknologi EOR sebagai upaya mempertahankan produksi minyak dari blok-blok tua. Saat ini antara lain telah diterapkan oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) di lapangan tua Minas, Riau. Ada beberapa perusahaan migas juga sedang melakukan uji coba di beberapa lapangan migas. Penerapan teknologi dan investasi yang besar akan menentukan produksi blok-blok migas tua (ageing) dalam tahun-tahun mendatang.

Ironisnya, saat produksi minyak turun, pemerintah tetap memanjakan masyarakat dengan memberi subsidi BBM. Ratusan triliun dialokasikan setiap tahun untuk subsidi BBM. Masalahnya, subsidi BBM selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh konsumen kelas menengah atas serta industri besar. Banyak penyalahunaan subsidi BBM terjadi, tapi pemerintah tampak kesulitan mencegah terjadinya pelanggaran.

Tidak heran bila Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani hari ini berteriak bahaya subsidi BBM yang terlalu besar. Tantangan ekonomi Indonesia terbesar saat ini, katanya, adalah berkaitan erat dengan ketahanan energi. Ya, Ketahanan Energi. Pasalnya, di tengah penurunan produksi minyak mentah setiap tahun, kebutuhan terhadap minyak justru bergerak naik.

“Uang kita habis untuk BBM (bahan bakar minyak) subsidi. Harus ada efforts yang sistematis," ujarnya.

Tidak ada resep rumit untuk mengatasi penurunan produksi minyak dan gas bumi. Pemerintah sudah tahu persoalan utama, yakni lemahnya aktivitas eksplorasi migas. Mengapa? Penyebabnya, antara lain, ketidakpastian hukum dan usaha, birokrasi yang rumit sehingga investor enggan melakukan eksplorasi. Disamping itu, insentif eksplorasi yang dijanjikan pemerintah, khususnya untuk eksplorasi laut dalam, belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal masih banyak cekungan bumi yang belum eksplorasi.

Oleh karena itu, kita menyambut positif rencana beberapa perusahaan migas dunia untuk melakukan eksplorasi dalam waktu mendatang. Diantaranya, ENI, perusahaan minyak raksasa asal Italia, yang mengumumkan akan segera memulai eksplorasi di laut Makassar, lepas pantai Kalimantan Timur.

Disamping itu, Total E&P Indonesie juga diberitakan hari ini bahwa perusahaan asal Perancis itu akan mengalokasikan dana US$100 juta untuk eksplorasi di laut Mentawai, lepas pantai Sumatra Barat. Dana tersebut merupakan bagian dari rencana investasi tahunan Total, yakni sebesar US$2.4 miliar. Eksplorasi di Kepala Burung di Papua Barat sejauh ini belum memberi hasil positif. Kini perusahaan asal Perancis itu akan beralih ke Mentawai. Sebagian besar dana investasi tersebut akan dialokasikan untuk melakukan eksplorasi di Mentawai.

Masih ada perusahaan-perusahaan migas lain lagi yang saat ini atau di waktu mendatang akan melakukan eksplorasi. Langkah atau investasi untuk eksplorasi migas merupakan kunci peningkatan cadangan minyak Indonesia yang saat ini hanya sejumlah 3,7 miliar barel. Tanpa adanya tambahan cadangan, maka cadangan tersebut bakal habis dalam 10-12 mendatang. Karena itu, generasi ini bertanggungjawab untuk melakukan eksplorasi yang manfaatnya mungkin baru akan dirasakan oleh generasi berikutnya.

Kita berharap pemerintah terus meningkatkan iklim investasi dan menjamin kepastian usaha, sehingga investor migas tertarik untuk investasi di industri migas Indonesia. Menariknya, sebagian besar yang melakukan eksplorasi di lepas pantai serta laut dalam saat ini adalah perusahaan multinasional. Hal ini masuk akal karena kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang berisiko. Tingkat keberhasilannya hanya antara 10-30 persen. Artinya, risiko tidak menemukan cadangan lebih besar.

Mendorong eksplorasi migas harus menjadi program energi utama pemerintah. Tanpa ada cadangan baru, Indonesia bakal menghadapi krisis energi yang akut. Dan tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi. (*)

Senin, 03 Februari 2014

Pengembangan Energi Panas Bumi di Indonesia Macet, Mengapa?


Ibarat pisau bermata dua, letak Indonesia yang berada di daerah cincin api (ring of fire), membuat Indonesia berada di kawasan yang berbahaya a.k.a. rawan bencana, tapi juga membawa berkah. Sebagai wilayah yang berada di wilayah cincin api, Indonesia terancam oleh berbagai bencana termasuk letusan gunung api, akibat semburan lava dari perut bumi.

Namun di satu sisi, kondisi ini membuat Indonesia sebagai negara dengan potensi sumber panas bumi terbesar di dunia, yakni 40% dari potensi panas bumi di dunia, yang diperkirakan mencapai 28.000 megawatts (MW). Luar biasa bukan? Kondisi ini patut kita syukuri bersama. 

Namun, sumber ini akan tersimpan di perut bumi dan tidak memberi manfaat apa-apa bila tidak dimanfaatkan. Data-data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa dari sisi pemanfaatan energi panas bumi, Indonesia justru berada di posisi ke-tiga, dengan total kapasitas 1,300 MW. Produksi tersebut datang dari 6 proyek panas bumi yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. 

Saat ini, produsen energi panas bumi terbesar adalah Amerika Serikat dengan total kapasitas 3,4 Gigawatt disusul Filipina dengan total kapasitas 1,9 GW. Di posisi keempat adalah Meksiko (1 GW), Italia (0.9 GW), Selandia Baru (0.8 GW), Iceland (0,7 GW) dan Jepang (0.5 GW).

Pertanyaannya, mengapa Indonesia begitu lamban dalam mengembangkan energi panas bumi (geothermal)? Seharusnya, begitu produksi minyak Indonesia menunjukkan tanda-tanda menurun, maka energi panas bumi digenjot. 

Tapi apa yang terjadi, dalam 10 tahun terakhir, belum ada proyek panas bumi yang signifikan. Dalam 5 tahun terakhir, pemerintah dalam beberapa kesempatan menyatakan niatnya untuk mengembangkan energi panas bumi, tapi kenyataannya, banyak proyek energi panas bumi macet, tidak menunjukkan perkembangan yang berarti.

Pemerintah bukan tidak menyadari betapa pentingnya dan potensialnya energi panas bumi di Indonesia. Berbagai konferensi dan seminar diadakan untuk mengundang dan mendorong investor mengembangkan proyek energi panas bumi. Misalnya, tahun 2010, diadakan World Geothermal Congress di Bali. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan rencana pemerintah untuk membangun 44 pembangkit listrik panas bumi sebelum 2014, yang akan meningkatkan kapasitas produksi energi panas bumi saat ini menjadi 4.000 MW.
Pemerintah bahkan mengungkapkan rencana ambisiusnya untuk membangun hingga 9.000 MW pembangkit listrik panas bumi sebelum tahun 2025.

Namun, tetap saja pengembangan energi panas bumi berjalan di tempat. Pemerintah misalnya telah memasukan berbagai proyek energi panas bumi dalam program Power Crash Program tahap 2, yang sebagian besar akan datang dari proyek panas bumi. Namun, faktanya banyak proyek panas bumi terhambat dengan berbagai alasan, mulai dari alasan lambannya pembebasan lahan, masalah izin dari Departemen Kehutanan, harga listrik yang belum disepakati, kegagalan perusahaan atau pemegang konsensi dalam memperoleh financing, dan penyebab lainnya.

Tidak heran bila beberapa pengusaha energi panas bumi mengungkapkan kekecewaan mereka. Mereka mengatakan yang dibutuhkan pihak swasta adalah dukungan regulasi dari pemerintah. 

Belasan proyek energi panas bumi mandeg pada fase eksplorasi. Bulan Juni 2013 lalu, saat penyelenggaraan International Geothermal Conference and Exhibition, pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga tarif listrik yang akan dibeli dari perusahaan pengembang energi panas bumi. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk membuat proyek-proyek panas bumi menjadi commercially viable.

Di balik lambannya pengembangan proyek-proyek energi panas bumi tersebut, muncul berita yang sedikit melegakan hari ini, mengenai kelanjutan proyek energi panas bumi Rantau Dedap (PLTP Rantau Dedap) oleh PT Supreme Energy, yang bermitra dengan investor asing, GDF Suez Energy International (Prancis), dan Marubeni Corporation (Jepang). Supreme Energy dan kedua mitranya membentuk sebuah perusahaan patungan PT Supreme Energy Rantau Dedap (PT SERD) dalam mengembangkan proyek panas bumi yang berlokasi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Kita berharap, beberapa perusahaan yang telah memperoleh konsesi dari pemerintah segera merealisasikan proyek-proyek energi panas bumi mereka. Tentu, pemerintah dituntut untuk memberikan dukungan yang serius berupa kebijakan dan peraturan yang mendukung serta  koordinasi dengan berbagai pihak untuk memecahkanberbagai persoalan yang dihadapi perusahaan atau investor. Tanpa dukungan regulasi yang mendukung serta iklim investasi yang sehat, sulit untuk mengharapkan energi panas bumi dapat berkembang. 

Kita tahu, produksi dan cadangan minyak kita terus menurun dalam beberapa tahun terakhir dan bakal terus menurun bila tidak ada penemuan cadangan baru. Maka langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi pada satu sisi dan pada sisi lain mendorong investor migas untuk meningkatkan investasi untuk eksplorasi migas. Dua-duanya membutuhkan iklim usaha yang sehat.(*)


Senin, 27 Januari 2014

Pemerintah Indonesia Jadikan 'Ancaman Luar' Alasan untuk Perbesar Belanja Pertahanan?

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan isu ‘ancaman eksternal’ ini sengaja dihembuskan sehingga ada alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Sebuah ironi saat negara ini dihadapkan dengan berbagai bencana, baik bencana alam maupun 'bencana korupsi'.

***

Melihat show-of-force dan alokasi anggaran, Pemerintah Indonesia tampaknya terus memperkuat sistem pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran Belanja yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] pun terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari dua kali lipat anggaran untuk ke polisian.

Kapal selam
Pertanyaan publik adalah mengapa anggaran terus diperbesar? Bukankah lebih baik anggaran untuk kesejahteraan masyarakan diperbesar seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain? Apakah memang karena Presidennya berlatar belakang militer, sehingga sang Presiden tahu apa yang dibutuhkan tentara nasional kita. Atau ada motif-motif lain, misalnya untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer sehingga perlu diistimewahkan? Pertanyaan terakhir relevan mengingat tahun 2014 ini adalah tahun politik sehingga wajar saja bila pertanyaan semacam itu muncul.

Pertanyaan lain yang muncul di benak publik adalah apakah belanja dan sistem pertahanan diperkuat karena ancaman eksternal meningkat. Contoh saja, potensi ancaman di laut China Selatan, akibat klaim perbatasan dan wilayah yang tumpang tindih antara China, Filipina dan Vietnam?
Pesawat tempur Sukhoi

Bila kita melihat anggaran pemerintah di APBN tahun 2014 ini, anggaran untuk pertahanan memang cukup besar. Untuk tahun 2014 saja, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp83,4 triliun, dua kali lipat anggaran untuk Kepolisian sebesar Rp41,5 triliun.

Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk memperkuat alat dan mesin-mesin pertahanan atau lebih dikenal [Alutsista atau alat utama sistem pertahanan negara], seperti pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, helikopter dan lain-lain. Di bawah Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Pertahanan, pemerintah tampaknya cukup agresif memperkuat alat dan sistem pertahanan.

Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan mengungkapkan secara terbuka rencana pemerintah untuk membeli pesawat perang. Indonesia, kata Purnomo, butuh satu skuadron Sukhoi yang terdir atas 16 pesawat, Su-30MK2 yang akan difungsikan sebagai jet tempur serang maritim. Pesawat-pesawat itu akan melengkapi 10 Sukhoi yang kini sudah dimiliki Indonesia sehingga nantinya genap menjadi satu skuadron yang ditempatkan di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga berencana membeli pesawat tempur T-50 atau light fighter buatan Korea Selatan sebanyak 16 unit (satu skuadron).

Saat Indonesia menghadapi berbagai bencana, rasanya miris saja melihat anggaran dan alokasi anggaran pemerintah untuk pertahanan tersebut. Dari sisi urgensi, justru yang diperlukan pemerintah saat ini adalah memperkuat sistem pertahanan internal agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh.

Potensi ancaman terbesar kita sebetulnya datang dari dalam, bukan dari luar. Lihat saja, gerakan atau kasus penembakan misterius yang terjadi di Papua Barat. Boleh jadi ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat lokal, karena bumi dan sumber daya di Papua dikeruk, tapi sedikit dana yang dikembalikan untuk menyejahterahkan masyarakat. Kalaupun ada peningkatan dana yang disalurkan, seperti yang diklaim pemerintah, dana tersebut ditilep atau dikorupsi. Hanya sedikit dana yang menetes ke bawah atau dirasakan masyarakat.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan alasan ‘ancaman eksternal’ ini hanya dijadikan alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

Salah satu anggota DPR yang getol mendukung langkah pemerintah tersebut adalah Susaningtyas Handayani Kertopati, politisi Hanura yang membidangi komisi pertahanan, inteligen dan hubungan luar negeri. Ia mengatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus lebih melihat ancaman dari luar (outward looking) karena telah muncul tanda-tanda meningkatnya ancaman. “Ancaman terbesar tentu saja dari Australia,” kata Susaningtyas.

Mungkin hanya segelintir saja yang mengiyakan pernyataan politisi ini. Apakah ancaman ini terkait dengan insiden baru-baru ini dimana angkatan laut australia melewati batas negara secara tidak sengaja saat menarik dan mendorong keluar para ‘boat people’(illegal immigrant) yang berusaha masuk ke Australia.

Rasa-rasanya tidak masuk akal dan sulit diterima publik bila insiden tersebut dijadikan alasan utama bagi pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp100 triliun untuk pertahanan. Yang jelas, ancaman terbesar datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Sehingga, perhatian pemerintah seharusnya ke dalam negeri, bukan ke luar (external threat). Publik tidak ingin dana tersebut hanya dijadikan obyek untuk dikorupsi oleh elit-elit politik di Republik ini. Masih banyak rakyat di Papua atau perbatasan Kalimantan-Malaysia atau di Timor Barat yang hingga saat ini belum mendapatkan listrik. Sebuah ironi. (*)

Senin, 20 Januari 2014

Kritikan Politisi Demokrat Ruhut Sitompul Tak Goyahkan Popularitas Jokowi




Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama pebalap MotoGP, 
Jorge Lorenzo, bersiap gowes sepeda (17/1/2014). 
Sosok Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, makin dicintai. Popularitasnya pun terus menanjak secara konsisten dalam setahun terakhir. Berbagai survei independen menunjukkan Jokowi tetap menjadi calon Presiden idaman publik. 

Survei Kompas terbaru menunjukkan bila Pemilihan Umum Presiden dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih menjadi Presiden. Survei tersebut juga menunjukkan pergeseran suara pada beberapa calon Presiden lain seperti Wiranto, Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Ada yang naik, ada yang turun. Pergeseran akan terus terjadi jelang Pemilu nanti. Namun, hanya satu sosok yang tetap konsisten menanjak, yaitu Jokowi.

Popularitas Jokowi membuat partai-partai lain mencoba menjegal Jokowi. Berbagai kritikan dan hujatan dan black campaign dilakukan untuk menghantam sosok yang bersahaja ini. Namun, semakin dia dikritik, semakin dihujat, semakin kuat pula popularitas mantan Walikota Solo ini.

Salah satu sosok yang paling terbuka mengkritik dan menjegal Jokowi adalah salah satu juru bicara Parai Demokrat Ruhut Sitompul. Ia menantang Jokowi untuk berdebat publik, tapi tidak diladeni oleh Jokowi. "Saya nggak suka diskusi, nggak suka debat. Senangnya kerja sajalah. Kalau mau debat ya cari yang pintar saja, yang suka debat," kata Jokowi di Balaikota. 

Jokowi tetap tegar dan melakukan apa yang dia lakukan seperti biasa, melayani masyarakat. Ia jarang sekali berada di kantor. Kalaupun ke kantor, itu hanya untuk mengadakan rapat dengan bawahannya atau melakukan koordinasi. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di luar kantor, mengunjungi waduk, sungai atau taman-taman, berdialog dengan masyarakat. Dengan cara itu, ia melihat dan merasakan langsung setiap persoalan yang dihadapi masyarakat ibu kota. Karena itu, walaupun persoalan silih berganti yang dihadapi warga, warga tetap merasa mempunyai pemimpin yang setia dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga ketika banjir yang melanda ibu kota. Jokowi hampir seluruh waktunya berada di luar kantor.

Berbagai kata-kata pedas dikeluarkan Ruhut Sitompul untuk menjegal laju Jokowi menjadi bakal calon Presiden Indonesia. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Ruhut pun seolah-oleh mendapatkan momentum untuk kembali menyerang sosok Jokowi.

“Dia berjanji untuk mengatasi banjir, tapi apa yang terjadi?” ucap Ruhut seperti dikutip vivanews.com. Memang sulit karena ia hanya seorang pengusaha furniture, lanjut Ruhut. Pernyataan Ruhut ini seolah menganggap remeh para pengusaha mebel. Padahal pengusaha mebel adalah salah satu penyumbang devisa negara. Jutaan pengusaha mebel dan pengusaha kecil di Indonesia menjadi penopang ekonomi Indonesia saat ekonomi dihantam badai krisis tahun 1998.  

Pernyataan Ruhut Sitompul ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya para elit Demokrat. Mereka tampak seperti ‘out of touch’ terhadap kehidupan nyata masyarakat. Pernyataan Ruhut yang mengkritisi para pembuat furniture juga menyinggung perasaan jutaan para pengusaha dan pekerja industri furniture di Tanah air yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.  

Menurut data BPS, industri furniture pada 2012 memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara sebesar US$2,6 miliar. Sekitar US$1,8 miliar disumbangkan oleh sektor furniture dan US$800 juta dari sektor kerajinan. Diperkirakan lima tahun kedepan ekspor mebel akan menyumbang US$5 miliar atau Rp50 triliun devisa negara.

Pada kesempatan lain, Ruhut mengatakan Jokowi ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Padahal yang tong kosong sebetulnya adalah Ruhut sendiri. Mendengar pernyataan politisi Demokirat ini, masyarakat umum hanya menggeleng kepala. Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari seorang wakil rakyat.

Boleh jadi Ruhut terus melancarkan ‘ocehan’ tidak berbobotnya lantaran Partai Demokrat terus dihantam badai. Berbagai kader Partai Demokrat terus menjadi penghuni ‘hotel prodeo’ (penjara) akibat terlibat kasus korupsi. Popularitas Partai Demokrat juga terus menurun. Popularitas para bakal calon Partai Presiden yang sedang mengikuti Konvensi Partai Demokrat pun masih rendah, termasuk Edhi Pramono yang disebut-sebut Ruhut Sitompul bakal mengalahkan Jokowi. 

Politisi Demokrat ini sebaiknya mengaca. Lebih baik dia memperbaiki internal partai daripada terus menghujamkan peluru ke Jokowi. Semakin dia ‘menembak’ Jokowi, semakin meningkat popularitas Jokowi. Walaupun Jokowi sebelumnya hanya seorang pengusaha furniture, fakta membuktikan bahwa sosok mantan Walikota Solo ini kian diperhitungkan publik untuk menjadi “the next Mr President Indonesia”. (*)