Kini,
para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator
Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat
umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang
terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan
berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero
risk)
Keputusan mengenai hak pengelolaan Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur, Indonesia, pasca 2017 tampaknya kian mendekati keputusan final, walaupun kondisi politik nasional kian gaduh jelang Pemilihan Umum 2014 mendatang.
Pemerintah punya beberapa opsi mengenai siapa dan bagaimana skema pengelolaan blok tua tersebut. Namun, dari pernyataan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terakhir [29 Agustus 2013], tampaknya pemerintah cenderung memilih untuk tetap melibatkan operator yang sekarang, Total E&P Indonesie, demi menjamin adanya manfaat yang lebih bagi negara, walaupun keputusan belum final. Benarkah demikian? Mengapa perlu tetap dilibatkan?
Berbagai opini di ruang publik berseliweran dan terkadang berbenturan dengan maksud untuk memenangkan hati dan simpati rakyat. Aroma politik terkadang mewarnai atau dipaksa mewarnai keputusan ekonomi, demikian sebaliknya.
Itulah risiko dan konsekuensi sebuah negara demokrasi. Keputusan yang diambil pemerintah tidak bisa begitu saja diambil. Terkadang pertimbangan seharusnya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kompetensi, business, kapasitas, namun, pada kenyataanya, ada aspek lain yang tetap perlu didengar oleh pemerintah. Toh, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk diambil setelah melakukan evaluasi mendalam dan menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko.
Itu tampaknya terjadi dengan Blok Mahakam. Menurut peraturan yang berlaku, operator sebuah blok dapat mengajukan perpanjangan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Mengapa 10 tahun? Itu bukan tanpa pertimbangan. Alasannya, investasi di sektor migas berorientasi jangka panjang. Investasi yang dilakukan saat ini, baru akan mulai memberikan manfaat atau hasil setelah 5 atau 10 tahun, atau bahkan belasan tahun.
Lihat saja Blok Masela. Operator blok tersebut, Inpex, telah mengeluarkan dana ratusan juta dolar mulai dari eksplorasi hingga persiapan pembangunan fasilitas produksi, sudah berjalan cukup lama, tapi belum memberikan hasil. Saat ini, Inpex sedang memasuki tahap tender pembangunan fasilitas FLNG (floating LNG). Bila berjalan sesuai rencana, produksi baru akan mulai tahun 2018 atau 2019, tertunda dari rencana awal 2017.
Namun, bisa tertunda juga bila operator tersebut belum mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2029. Inpex jauh jauh hari menginginkan keputusan pemerintah, mengingat investasi yang dikeluarkan bakal besar dan pengembalian investasi belum tentu break-even 10 tahun. Itu alasan Inpex.
Demikian juga Blok Mahakam. Total E&P Indonesia bersama mitranya non-operator Inpex Ltd, menurut berita-berita di media, telah menyampaikan keinginan mereka untuk memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam setelah 2017. Idealnya, memang keputusan perpanjangan atau tidak, atau skema baru, dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, tahun 2012, sudah ada keputusan terkait operatorship blok Mahakam pasca 2017.
Namun, keputusan belum terjadi. Operator dan berbagai pengamat migas maupun eksekutif di Indonesia Petroleum Association (IPA) mengatakan tahun 2013 tahun yang tepat untuk membuat keputusan operator blok Mahakam, karena tahun 2014 Indonesia sudah disibukkan dengan agenda pemilihan umum -- pemilihan wakil rakyat (DPR) dan Presiden.
Pertanyaannya, apakah hak pengelolaan Blok Mahakam diperpanjang, tidak diperpanjang atau dibuat skema baru melibatkan operator lama dan pemegang participating interest (PI) baru, dalam hal ini Pertamina?
Dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan terus berlangsung mengenai skema dan hak operatorship Blok Mahakam. Terakhir, seperti yang diberitakan di berbagai media, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengungkapkan Total E&P Indonesia tetap akan "dilibatkan" dalam pengelolaan Blok Mahakam yang berlokasi di pesisir Kalimantan Timur itu. Dia beralasan, blok tersebut tidak bisa dioperasionalkan sama seperti blok-blok minyak dan gas bumi pada umumnya.
Susilo mengatakan kondisi sumur-sumur di Blok Mahakam kini hasilnya 98% berwujud air sehingga dibutuhkan penangangan khusus. "Total akan tetap dilibatkan karena masalah ini tidak bisa hanya sekedar dijalani dengan seperti biasa," kata Susilo, seperti yang dikutip Detik.com , Kamis (29/8/2013).
Tentu Wakil Menteri tersebut tidak sekadar membuat pernyataan, tetapi telah melalui proses hasil evaluasi mendalam baik secara teknis maupun non-teknis serta aspek risiko. Ia menandaskan pertimbangan Kementerian ESDM semata-mata melihat mana yang terbaik bagi negara.
"Jadi semua itu kita evaluasi, yang jelas ESDM tidak berkepentingan untuk merugikan negara, tidak ada rencana permainan di zaman yang serba semua disadap, kalau misalkan ada tuduhan buat ini lah itu lah ya janganlah," kata Susilo.
Status operator sebuah blok migas memang hanya seperti penyangkul kebun atau sawah. Ia diberi kewenangan untuk menyangkul sawah (blok), sementara pemilik tetap negara yang diwakili oleh Negara. Karena itu, operator tetap harus tunduk terhadap keputusan sang pemilik blok, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini, blok migas, tetap berada dalam kekuasaan negara. Operator hanya berfungsi sebagai kontraktor yang menyangkul sawah atau blok.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengaku tetap memikirkan keberpihakan nasional dalam Blok Mahakam tersebut. Namun yang paling penting produksi gas yang ada di blok tersebut harus tetap berjalan walaupun adanya isu perpanjangan tersebut.
"Teman-teman jangan berpikir mengoperasikan Mahakam sama dengan mengoperasikan Banyu Urip. Banyu urip itu masih baru. Waktu produksi, begitu dibuka krannya masih minyak. Kalau di Mahakam itu 98 persennya sudah berwujud air. Oleh karena itu kompleksitas berbeda. Bukan berarti siapapun bisa menjalankan itu," ujar dia yang ditemui di Kantornya, Jakarta, Kamis (29/8).
Tampaknya, memang tidak semua elemen masyarakat memahami tingkat kompleksitas blok Mahakam.
Material yang muncul ke atas tidak hanya condensat dan gas, tapi juga sudah bercampur lumpur, pasir dan material lainnya. Hal ini bisa dipahami karena blok tersebut sudah berproduksi 40 tahun dan berada di tiga dunia, daratan, rawa-rawa dan lepas pantai. Kondisi ini turut membuat operasional blok tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati, agar mencapai titik zero risk.
Disamping itu produksi gas alam dan minyak cenderung menurun secara alamiah. Karena itu, perlu investasi baru untuk mempertahankan dan bila perlu meningkatkan produksi. Operator telah mengumumkan akan berinvestasi sekitar US$2.5-US$3 miliar setiap tahun atau sekitar US$7.3 miliar dalam 5 tahun mendatang untuk mempertahankan produksi. Saat ini, memang operator Blok Migas sedang membangun anjungan minyak dan gas baru di beberapa lapangan.
Pembangunan fasilitas tersebut diperkirakan akan selesai 1-2 tahun mendatang. Beberapa rencana investasi baru juga sedang disiapkan, namun, ditahan dulu sebelum ada keputusan dari pemerintah terkait hak pengelolaan blok pasca 2017.
Kini, para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang
terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan
berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero
risk)
Bila pemerintah membuat keputusan untuk melibatkan operator yang sekarang untuk kepentingan yang lebih besar, agar produksi tetap berjalan lancar, tidak ada risiko gangguan produksi, dan bahwa ada jaminan pemerintah akan memperoleh pendapatan lebih dari blok Mahakam dalam tahun-tahun mendatang, maka publik akan tentu memahami keputusan pemerintah, walaupun ada sekelompok elemen tidak menyetujui. (*)