Senin, 27 Januari 2014

Pemerintah Indonesia Jadikan 'Ancaman Luar' Alasan untuk Perbesar Belanja Pertahanan?

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan isu ‘ancaman eksternal’ ini sengaja dihembuskan sehingga ada alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Sebuah ironi saat negara ini dihadapkan dengan berbagai bencana, baik bencana alam maupun 'bencana korupsi'.

***

Melihat show-of-force dan alokasi anggaran, Pemerintah Indonesia tampaknya terus memperkuat sistem pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran Belanja yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] pun terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari dua kali lipat anggaran untuk ke polisian.

Kapal selam
Pertanyaan publik adalah mengapa anggaran terus diperbesar? Bukankah lebih baik anggaran untuk kesejahteraan masyarakan diperbesar seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain? Apakah memang karena Presidennya berlatar belakang militer, sehingga sang Presiden tahu apa yang dibutuhkan tentara nasional kita. Atau ada motif-motif lain, misalnya untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer sehingga perlu diistimewahkan? Pertanyaan terakhir relevan mengingat tahun 2014 ini adalah tahun politik sehingga wajar saja bila pertanyaan semacam itu muncul.

Pertanyaan lain yang muncul di benak publik adalah apakah belanja dan sistem pertahanan diperkuat karena ancaman eksternal meningkat. Contoh saja, potensi ancaman di laut China Selatan, akibat klaim perbatasan dan wilayah yang tumpang tindih antara China, Filipina dan Vietnam?
Pesawat tempur Sukhoi

Bila kita melihat anggaran pemerintah di APBN tahun 2014 ini, anggaran untuk pertahanan memang cukup besar. Untuk tahun 2014 saja, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp83,4 triliun, dua kali lipat anggaran untuk Kepolisian sebesar Rp41,5 triliun.

Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk memperkuat alat dan mesin-mesin pertahanan atau lebih dikenal [Alutsista atau alat utama sistem pertahanan negara], seperti pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, helikopter dan lain-lain. Di bawah Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Pertahanan, pemerintah tampaknya cukup agresif memperkuat alat dan sistem pertahanan.

Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan mengungkapkan secara terbuka rencana pemerintah untuk membeli pesawat perang. Indonesia, kata Purnomo, butuh satu skuadron Sukhoi yang terdir atas 16 pesawat, Su-30MK2 yang akan difungsikan sebagai jet tempur serang maritim. Pesawat-pesawat itu akan melengkapi 10 Sukhoi yang kini sudah dimiliki Indonesia sehingga nantinya genap menjadi satu skuadron yang ditempatkan di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga berencana membeli pesawat tempur T-50 atau light fighter buatan Korea Selatan sebanyak 16 unit (satu skuadron).

Saat Indonesia menghadapi berbagai bencana, rasanya miris saja melihat anggaran dan alokasi anggaran pemerintah untuk pertahanan tersebut. Dari sisi urgensi, justru yang diperlukan pemerintah saat ini adalah memperkuat sistem pertahanan internal agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh.

Potensi ancaman terbesar kita sebetulnya datang dari dalam, bukan dari luar. Lihat saja, gerakan atau kasus penembakan misterius yang terjadi di Papua Barat. Boleh jadi ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat lokal, karena bumi dan sumber daya di Papua dikeruk, tapi sedikit dana yang dikembalikan untuk menyejahterahkan masyarakat. Kalaupun ada peningkatan dana yang disalurkan, seperti yang diklaim pemerintah, dana tersebut ditilep atau dikorupsi. Hanya sedikit dana yang menetes ke bawah atau dirasakan masyarakat.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan alasan ‘ancaman eksternal’ ini hanya dijadikan alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

Salah satu anggota DPR yang getol mendukung langkah pemerintah tersebut adalah Susaningtyas Handayani Kertopati, politisi Hanura yang membidangi komisi pertahanan, inteligen dan hubungan luar negeri. Ia mengatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus lebih melihat ancaman dari luar (outward looking) karena telah muncul tanda-tanda meningkatnya ancaman. “Ancaman terbesar tentu saja dari Australia,” kata Susaningtyas.

Mungkin hanya segelintir saja yang mengiyakan pernyataan politisi ini. Apakah ancaman ini terkait dengan insiden baru-baru ini dimana angkatan laut australia melewati batas negara secara tidak sengaja saat menarik dan mendorong keluar para ‘boat people’(illegal immigrant) yang berusaha masuk ke Australia.

Rasa-rasanya tidak masuk akal dan sulit diterima publik bila insiden tersebut dijadikan alasan utama bagi pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp100 triliun untuk pertahanan. Yang jelas, ancaman terbesar datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Sehingga, perhatian pemerintah seharusnya ke dalam negeri, bukan ke luar (external threat). Publik tidak ingin dana tersebut hanya dijadikan obyek untuk dikorupsi oleh elit-elit politik di Republik ini. Masih banyak rakyat di Papua atau perbatasan Kalimantan-Malaysia atau di Timor Barat yang hingga saat ini belum mendapatkan listrik. Sebuah ironi. (*)

Senin, 20 Januari 2014

Kritikan Politisi Demokrat Ruhut Sitompul Tak Goyahkan Popularitas Jokowi




Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama pebalap MotoGP, 
Jorge Lorenzo, bersiap gowes sepeda (17/1/2014). 
Sosok Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, makin dicintai. Popularitasnya pun terus menanjak secara konsisten dalam setahun terakhir. Berbagai survei independen menunjukkan Jokowi tetap menjadi calon Presiden idaman publik. 

Survei Kompas terbaru menunjukkan bila Pemilihan Umum Presiden dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih menjadi Presiden. Survei tersebut juga menunjukkan pergeseran suara pada beberapa calon Presiden lain seperti Wiranto, Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Ada yang naik, ada yang turun. Pergeseran akan terus terjadi jelang Pemilu nanti. Namun, hanya satu sosok yang tetap konsisten menanjak, yaitu Jokowi.

Popularitas Jokowi membuat partai-partai lain mencoba menjegal Jokowi. Berbagai kritikan dan hujatan dan black campaign dilakukan untuk menghantam sosok yang bersahaja ini. Namun, semakin dia dikritik, semakin dihujat, semakin kuat pula popularitas mantan Walikota Solo ini.

Salah satu sosok yang paling terbuka mengkritik dan menjegal Jokowi adalah salah satu juru bicara Parai Demokrat Ruhut Sitompul. Ia menantang Jokowi untuk berdebat publik, tapi tidak diladeni oleh Jokowi. "Saya nggak suka diskusi, nggak suka debat. Senangnya kerja sajalah. Kalau mau debat ya cari yang pintar saja, yang suka debat," kata Jokowi di Balaikota. 

Jokowi tetap tegar dan melakukan apa yang dia lakukan seperti biasa, melayani masyarakat. Ia jarang sekali berada di kantor. Kalaupun ke kantor, itu hanya untuk mengadakan rapat dengan bawahannya atau melakukan koordinasi. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di luar kantor, mengunjungi waduk, sungai atau taman-taman, berdialog dengan masyarakat. Dengan cara itu, ia melihat dan merasakan langsung setiap persoalan yang dihadapi masyarakat ibu kota. Karena itu, walaupun persoalan silih berganti yang dihadapi warga, warga tetap merasa mempunyai pemimpin yang setia dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga ketika banjir yang melanda ibu kota. Jokowi hampir seluruh waktunya berada di luar kantor.

Berbagai kata-kata pedas dikeluarkan Ruhut Sitompul untuk menjegal laju Jokowi menjadi bakal calon Presiden Indonesia. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Ruhut pun seolah-oleh mendapatkan momentum untuk kembali menyerang sosok Jokowi.

“Dia berjanji untuk mengatasi banjir, tapi apa yang terjadi?” ucap Ruhut seperti dikutip vivanews.com. Memang sulit karena ia hanya seorang pengusaha furniture, lanjut Ruhut. Pernyataan Ruhut ini seolah menganggap remeh para pengusaha mebel. Padahal pengusaha mebel adalah salah satu penyumbang devisa negara. Jutaan pengusaha mebel dan pengusaha kecil di Indonesia menjadi penopang ekonomi Indonesia saat ekonomi dihantam badai krisis tahun 1998.  

Pernyataan Ruhut Sitompul ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya para elit Demokrat. Mereka tampak seperti ‘out of touch’ terhadap kehidupan nyata masyarakat. Pernyataan Ruhut yang mengkritisi para pembuat furniture juga menyinggung perasaan jutaan para pengusaha dan pekerja industri furniture di Tanah air yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.  

Menurut data BPS, industri furniture pada 2012 memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara sebesar US$2,6 miliar. Sekitar US$1,8 miliar disumbangkan oleh sektor furniture dan US$800 juta dari sektor kerajinan. Diperkirakan lima tahun kedepan ekspor mebel akan menyumbang US$5 miliar atau Rp50 triliun devisa negara.

Pada kesempatan lain, Ruhut mengatakan Jokowi ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Padahal yang tong kosong sebetulnya adalah Ruhut sendiri. Mendengar pernyataan politisi Demokirat ini, masyarakat umum hanya menggeleng kepala. Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari seorang wakil rakyat.

Boleh jadi Ruhut terus melancarkan ‘ocehan’ tidak berbobotnya lantaran Partai Demokrat terus dihantam badai. Berbagai kader Partai Demokrat terus menjadi penghuni ‘hotel prodeo’ (penjara) akibat terlibat kasus korupsi. Popularitas Partai Demokrat juga terus menurun. Popularitas para bakal calon Partai Presiden yang sedang mengikuti Konvensi Partai Demokrat pun masih rendah, termasuk Edhi Pramono yang disebut-sebut Ruhut Sitompul bakal mengalahkan Jokowi. 

Politisi Demokrat ini sebaiknya mengaca. Lebih baik dia memperbaiki internal partai daripada terus menghujamkan peluru ke Jokowi. Semakin dia ‘menembak’ Jokowi, semakin meningkat popularitas Jokowi. Walaupun Jokowi sebelumnya hanya seorang pengusaha furniture, fakta membuktikan bahwa sosok mantan Walikota Solo ini kian diperhitungkan publik untuk menjadi “the next Mr President Indonesia”. (*)
 

Selasa, 14 Januari 2014

Banjir Jakarta, Bukan Cuma Masalah Pemda DKI, Tapi Juga Pusat



Jakarta banjir lagi!!!
Setiap awal tahun, Jakarta bergelut dan berjuang mengatasi banjir. Dulu siklus banjir biasanya 5 tahun sekali, tapi kini siklus banjir semakin pendek menjadi 2-3 tahun sekali, dan bahkan kini terjadi setiap tahun.  Menarik melihat bagaimana sikap para politisi, masyarakat umum maupun pemerintah dalam menghadapi banjir di kota metropolitan Jakarta. Ada yang saling menyalahkan, ada yang bekerja dan bekerja  mengatasi banjir, ada yang menonton orang lain bekerja. Sikap yang tepat saat menghadapi banjir seperti ini adalah tidak saling menyalahkan, tapi mencari solusi. 

Di tengah perdebatan dan silang pendapat dalam mencari kambing hitam, yang jelas, siapapun yang tinggal di Jakarta hari ini merasakan dampak buruk dari banjir atau lebih tepatnya air tergenang dimana-mana. Entah itu pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, diplomat asing, pelajar, karyawan kantor, dan lainnya. Yang pasti, aktivitas terganggu. Banyak kegiatan masyarakat tertunda atau dibatalkan.  Mereka yang membawa kendaraan di jalan menderita kelelahan akibat macet yang terjadi dimana-mana, belum lagi bahan bakar minyak yang terbuang percuma. Jarak tempuh yang tadinya setengah jam, bisa menjadi tiga-empat jam. Ujung-ujungnya konsumsi BBM masyarakat melonjak.

Untuk mencari solusi, maka kita perlu memahami persoalan banjir di Jakarta, penyebabnya apa, lalu baru mencari solusi, baik solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang.  Ada beberapa fakta penting yang menarik bila kita melihat banjir di ibu kota.

Pertama, banjir di Jakarta tidak hanya terjadi dalam 10 tahun terakhir, tapi sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bila kita membaca berbagai lembaran sejarah, saat Jakarta masih bernama Batavia, banjir sudah terjadi.  Misalnya tahun 1878, banjir melanda hebat di Jakarta akibat hujan yang terus terjadi salama 40 hari. Setelah Indonesia merdeka, banjir besar juga sering terjadi, misalnya pada Januari 1952, 1953, 1954, 1956, 1950-60.

Sungai Ciliwung tempo doeloe
Sejarah juga mencatat terjadi banjir hebat tahun 1960-1970. Berbeda dengan banjir periode-periode sebelumnya, banjir di Jakarta semakin meluas. Yang terkena banjir kini tak lagi hanya daerah bantaran sungai-sungai yang saling silang (criss-cross) di Jakarta, tapi juga daerah pemukiman yang sebelumnya tidak terkena banjir. Dalam 10 tahun terakhir, terjadi kecenderungan baru, wilayah yang terkena banjir meluas dan siklus banjir semakin pendek dan bahkan hampir terjadi setiap 1-2 tahun. 

Kedua, terjadi pendangkalan sungai-sungai yang melintas di Ibu Kota. Lihat saja sungai Ciliwung atau sungai-sungai yang ada di Jakarta. Dasar sungai semakin dangkal akibat sedimentasi serta sampah. Sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan. Akibatnya, volume air yang melintasi jalur sungai semakin sempit dan akibatnya meluap ke rumah-rumah warga. Ulah masyarakat sendiri menjadi salah satu penyebab banjir.

Ketiga, hilangnya daerah resapan air. Ini tidak hanya terjadi di kawasan Puncak-Bogor tapi juga di daerah Ibu Kota. Ruang hijau semakin mengecil karena telah berubah jadi pemukiman. Daerah rawa-rawa seperti Kelapa Gading telah berubah menjadi pemukiman. Air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah, akibatnya mengalir di atas permukaan dan menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta.

Keempat, bencana banjir. Yang menarik dari pemberitaan belakangan ini, sebagian masyarakat dan media menganggap banjir di Jakarta sebagai bencana alam. Istilah bencana alam itu sendiri sebetulnya tidak tepat. Para praktisi kebencanaan telah menghindari penggunaan kata bencana alam, tapi fenomena alam. Bencana terjadi ketika fenomena alam menyebabkan kerusakan dan memakan korban. Gunung api yang meletus adalah fenomena alam. Yang menyebabkan terjadi bencana adalah manusia sendiri. Bila masyarakat tahu gunung api akan meletus, maka tindakan yang tepat adalah menjauh dari sumber potensi bencana.

Demikian juga banjir. Banjir adalah fenomena alam. Bila air meluap dan tidak ada masyarakat yang tinggal di pinggir sungai maka tidak terjadi bencana. Setiap tahun sungai-sungai di Kalimantan misalnya meluap. Tapi masyarakat sudah mengantisipasinya dengan membangun rumah panggung. Banjir ini juga terjadi akibat ulah manusia, yang membabat hutan-hutan di Kalimantan. Banjir yang terjadi di Jakarta juga akibat ulah manusia. 

Masalah banjir dan air yang tergenang dimana di Jakarta bukan cuma masalah Pemerintah DKI Jakarta tapi juga pemerintah pusat. Jakarta adalah juga Ibu Kota Negara. Maka pemerintah pusat berkepentingan mencari solusi penyebab banjir di Jakarta. Saatnya, para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di negeri ini bersatu mencari solusi. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang tegas sehingga bila terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengambil keputusan tegas, termasuk pemindahan ibu kota misalnya. Mengatasi banjir Jakarta bukan cuma dilakukan oleh Jokowi tapi juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara. (*)

Senin, 06 Januari 2014

Kisruh Harga LPG, Cermin Buruknya Sistem Komunikasi Pemerintah Indonesia


Tabung LPG 12 kg
Sebagian besar masyarakat Indonesia larut dalam merayakan kegembiraan merayakan tahun baru 2014. Beberapa jam kemudian, masyarakat dihebohkan oleh fakta naiknya harga LPG 12 kg menjadi Rp117.708 dari sebelumnya Rp70.200 per tabung, atau melonjak 67,7 persen. Fantastis!! Ini merupakan kado terpahit yang dialami masyarakat, menambah kado-kado pahit lainnya, seperti naiknya tarif listrik, tarif tol dan harga-harga lainnya akibat kenaikan tarif tersebut. Keputusan tersebut membuat kehebohan dan kekisruhan dalam 5 hari terakhir. Masyarakat menumpahkan kekesalan mereka melalui media mainstream maupun media sosial seperti di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. 

Keputusan Pertamina tersebut menyuguhkan dagelan dan panggung sandiwara baru. Menteri-menteri terkait membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan yang memprovokasi komentar pedas dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun tangan dengan mengadakan rapat mendadak pada akhir pekan lalu. Presiden SBY meminta Wakil Presiden Budiono untuk memanggil Pertamina agar mengevaluasi keputusan tersebut. Beberapa menteri mencoba mencuci tangan dengan mengatakan tidak tahu menahu dengan keputusan pemerintah tersebut. Keputusan tersebut merupakan tanggung jawab korporasi, Pertamina.

Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jero Wacik mengatakan tidak mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Aneh bin ajaib, seorang menteri ESDM kok tidak mengetahui keputusan kenaikan yang fantastis itu, padahal LPG (Elpiji) merupakan produk yang merupakan hajat hidup orang banyak. 

Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.

Menteri Jero Wacik kemudian meralat pernyataannya bahwa ia bukan tidak tahu. Ia baru mendapat pemberitahuan melalui surat yang ia terima tanggal 2 Januari, sementara keputusan Pertamina dibuat 2-3 hari sebelumnya. Tetap saja, tidak mungkin seorang Menteri ESDM tidak mengetahui keputusan Pertamina. 

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata. 

Dahlan Iskan sebagai Meneg BUMN seharusnya berpikir rasional juga dengan meloloskan keputusan Pertamina tersebut. Berbeda dengan menteri-menteri yang lain, Dahlan mencoba bertanggung jawab, “Itu salah saya”. Ya, salahnya Dahlan Iskan karena tidak melakukan koordinasi yang baik dengan menteri-menteri terkait. Mengapa Dahlan menyetujui keputusan tersebut? Ini menunjukkan DI tidak sensitif dengan kondisi masyarakat.

Dahlan pun membela diri bahwa kenaikan tersebut terpaksa dilakukan atas dasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa bisnis Elpiji Pertamina terus merugi. Dan Pertamina membiarkan itu terus terjadi. Dahlan Iskan mencoba membela diri dengan berargumen bahwa bila gas LPG 12 kg tidak naik, direksi Pertamina bisa dipenjara. 

Lagi-lagi kisruh harga LPG 12 kg tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen komunikasi pemerintah. Tidak ada komunikasi yang baik antara Presiden SBY, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Sepertinya anti-klimaks, pemerintah sore ini memutuskan untuk menurunkan kembali harga LPG 12 kg dari Rp117.708 menjadi Rp82.200 per tabung mulai besok pukul 00.00. Sebuah keputusan jungkir balik (flip-flop decision) dalam kurun waktu 6 hari. Yang jelas, pedagang yang membeli mahal beberapa hari terakhir akan menderita rugi, karena membeli dari Pertamina dengan harga mahal lalu menjual dengan harga rendah. Bila tidak, masyarakat akan protes. Ini salah satu harga yang dibayar akibat kegagalan Pertamina mengantisipasi reaksi masyarakat. 

Bagaimanapun menaikkan harga LPG hampir 68 persen tidak masuk akal. Mudah-mudahan Pertamina dan pemerintah belajar dari kisruh harga tabung gas LPG 12 kg tersebut. Mudah-mudah pemerintah berpikir matang sebelum membuat keputusan yang begitu strategis. Ini juga nanti berlaku pada keputusan-keputusan strategis lainnya, termasuk keputusan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir (seperti Blok Mahakam dan lainnya). Pemerintah perlu berpikir matang-matang dan bijak sebelum mengambil keputusan strategis. (*)