Selasa, 17 Desember 2013

Kilas Balik 2013, Industri Minyak dan Gas Indonesia Mencapai Titik Kritis



Anjungan migas lepas pantai
Tahun 2013 beberapa lagi akan berakhir dan kita akan memasuki tahun baru, tahun 2014. Sebelum beranjak ke 2014, ada baiknya kita menengok ke belakang, melakukan review atau kilas balik industri minyak dan gas bumi (migas), salah satu industri yang strategis bagi bangsa ini. Industri migas strategis tidak perlu diperdebatkan lagi karena industri ini menyumbang sekitar 30 persen pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Industri ini juga menjadi lokomotif bagi industri-industri pendukung migas dan industri lainnya. Jutaan tenaga kerja bekerja di industri migas, baik yang bekerja secara langsung di perusaan migas, nasional dan internasional, serta yang  tidak langsung. Satu kesimpulan yang muncul ke permukaan bahwa INDUSTRI MIGAS MENCAPAI TITIK KRITIS tahun 2013.

Ya, tidak salah. Tahun 2013 ini merupakan tahun kritis, tahun krisis, tahun yang tidak memuaskan. Mengapa demikian? Pertama, dalam hal kegiatan eksplorasi, tidak ada penemuan cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan. Aktivitas eksplorasi minyak dan gas bumi, terutama di lepas pantai dan laut dalam tidak memberi hasil yang memuaskan. Perusahaan-perusahaan migas yang melakukan pengeboran, mencari cadangan baru, pulang dengan tangan kosong karena hanya menemukan sumur kering, sumur kosong a.k.a dryhole. Hanya segelintir perusahaan yang menemukan cadangan migas, yang nantinya dapat dikembangkan atau dikomersilkan.

Menurut siaran pers resmi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebanyak 12 kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas mencatat kerugiaan akumulasi hingga mencapai US$1,9 miliar atau Rp22 triliun akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut dalam di Indoensia. Cadangan migas di blok-blok tersebut terbukti tidak ekonomis. Kerugian tersebut tidak bisa diklaim ke pemerintah Indonesia melalui skema cost recovery.

Perusahan-perusahaan migas yang gagal menemukan cadangan migas, antara lain Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd. dan Murphy Oil Corp. Seperti yang telah dilaporakan beberapa media, Hess Corp telah menjual aset-aset migasnya di Indonesia. Sementara, Niko Resources memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan eksplorasi/pengeboran laut dalam yang bersifat multi-years. Tentu ini merupakan berita yang tidak menguntungkan, tidak hanya perusahaan yang bersangkutan tapi juga bagi industri migas Indonesia.

Sesuai peraturan, bila cadangan migas tidak ditemukan, maka biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diklaim. Sementara kalau cadangan migas ditemukan dan bernilai ekonomis, maka perusahaan-perusahaan migas itu dapat mengklaim dana yang telah diinvestasikan selama masa eksplorasi ke pemerintah saat memasuki masa produksi di kemudian hari. Lagi-lagi, ini menunjukkan aktivitas eksplorasi merupakan kegiatan high-risk, berisko tinggi. Tidak salah bila dikatakan kegiatan eksplorasi merupakan sebuah gambling, bisa untung bisa rugi. Dan fakta telah menunjukkan, tingkat keberhasilan eksplorasi hanya berkisar antara 10-20 persen. Artinya, kemungkinan kegagalan justru jauh lebih besar, ketimbang kemungkinan keberhasilan.

Oleh karena itu, tidak heran bila perusahaan KKKS migas besar saja yang berani mengambil risiko investasi eksplorasi, yang sebagian besar merupakan perusahaan migas asing (international oil company/IOC). Tanpa perusahaan migas global bermodal besar dan berani mengambil risiko, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan tambahan cadangan minyak dan gas bumi. Padahal penemuan cadangan sangat vital bagi kelanjutan produksi atau sustainable production di masa datang.

Pesan dari situasi ini adalah bahwa Indonesia masih membutuhkan oil majors, atau perusahaan-perusahaan migas besar dunia, untuk mengembangkan industri migas nasional. Sejauh ini, produsen minyak terbesar Indonesia masih dipegang Chevron (CPI) sementara produsen gas terbesar adalah Total E&P Indonesia. Produksi gas nasional terbesar datang dari blok Mahakam, walaupun kondisi blok ini semakin tua, namun masih bersifat strategis. Produksi gas bumi dari Blok Mahakam menyumbang sekitar 80 persen kebutuhan gas pada fasilitas produksi Bontang, di Kalimantan Timur.  

Faktor krisis kedua industri migas adalah, faktor KETIDAKPASTIAN yang berakbiat pada penurunan produksi dan sepinya aktivitas eksplorasi dan pengembangan industri migas. Situasi ketidakpastian ini dengan jelas digambarkan oleh sebuah lembaga internasional ternama, Business Monitor International. Menurut laporan terbaru Business Monitor tentang Industri Minyak dan Gas Indonesia, meningkatnya ketidakpastian hukum dan usaha akibat kampanye nasionalisasi yang disponsori oleh pihak-pihak dan kepentingan tertentu yang berujung pada perubahan kebijakan pemerintah pada sektor sumber daya alam, termasuk industri minyak dan gas bumi. 

Ketiga, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kini Rudi telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini sedang ditelusuri KPK. Publik berharap kasus gratifikasi akan menjadi titik balik pengetatan praktik good corporate governance, baik di lembaga SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku industri migas dan industri-industri pendukung migas. 

Situasi krisis ini tentu membuat kita prihatin apalagi melihat kenyataan bahwa cadangan minyak kita akan habis 12 tahun lagi bila tidak ditemukan cadangan baru, dan gas bumi sekitar 30-40 tahun lagi. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan. Pemerintah perlu mengirim sinyal ke investor migas bahwa Indonesia terbuka bagi investasi asing, khususnya di industri migas. Birokrasi, sistem perizinan, perlu disederhanakan. Kepastian hukum perlu diciptakan. Faktor ketidakpastian perlu dihilangkan, termasuk ketidakpastian perpanjangan blok-blok migas yang kontraknya akan habis. Perusahaan migas perlu diberi kepastian mengenai kelanjutan kontrak-kontrak migas yg akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Keputusan perlu dibuat dengan segera agar perusahaan-perusahaan migas dapat melakukan perencanaan investasi jauh-jauh hari. Investasi migas tidak dilakukan overnight. (*)

Selasa, 10 Desember 2013

Moody's: Ketergantungan Impor Tinggi, Aktivitas Akusisi di sektor Migas di Indonesia & Asia Meningkat

Ilustrasi: sebuah anjungan migas lepas pantai
 Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang kini tergantung pada minyak impor akibat terus merosotnya produksi dalam negeri. Permintaan konsumsi minyak dalam negeri mencapai sekitar 1,4-1,5 juta barel per hari, sementara produksi minyak terus menurun menjadi 830.000 bph, separuh dari puncak produksi minyak 1,65 juta bph tahun 1995. Untuk produksi gas bumi, saat ini masih stagnan, dan pada suatu saat akan menurun bila tidak ditemukan cadangan gas bumi baru. Lembaga rating internasional Moody’s memperkirakan ketergantungan impor migas di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akan mendorong aktivitas akuisisi di sektor hulu industri migas.

Akuisisi tersebut diperkirakan akan dilakukan tidak hanya oleh perusahaan migas besar dunia (oil majors) tapi juga perusahaan-perusahaan migas nasional di kawasan ini.

“Kami perkirakan ketergantungan Asia pada minyak dan gas bumi impor akan mendorong perusahaan-perusahaan migas negara-negara di kawasan Asia (national oil companies/NOCs) untuk melakukan akuisisi untuk mengamankan kebutuhan energi mereka,” kata Moody’s dalam laporannya.

Moody’s mencatat terjadi penurunan produksi minyak yang signifikan di negara-negara Asia dalam periode 2008-2012, terutama di Australia, Indonesia dan Malaysia, sementara pada saat yang sama permintaan domestik meningkat.

Untuk gas bumi atau liquefied natural gas (LNG), Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Sekitar 50% produksi LNG diekspor, sementara 50% dari produksi dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Berbeda dengan minyak, LNG yang sudah berproduksi saat ini sudah dikontrakkan ke pembeli jauh sebelum proyek-proyek LNG tersebut mulai berproduksi, seperti proyek di Badak LNG, BP Tangguh dan beberapa proyek LNG lainnya. Pada satu sisi, pemerintah telah meningkatkan alokasi output LNG ke pasar domestik, sementara pada sisi lain permintaan gas bumi dari dalam negeri meningkat tajam.

Mengingat output gas bumi saat ini sudah ada pembelinya, maka Indonesia bakal mengimpor LNG dari luar negeri untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri yang terus meningkat tajam. Dan itu, sudah terbukti. Pertamina beberapa hari lalu telah menandatangani perjanjian jual-beli (SPA) dengan sebuah perusahaan di Amerika Serikat untuk mengimpor LNG.

Ironis, Pertamina lebih memilih mengalokasikan dana miliaran dolar AS untuk mengimpor LNG untuk periode tertentu, ketimbang mengalokasikan dana miliaran dolar setiap tahun untuk mencari cadangan migas baru di dalam negeri. Pertamina lebih memilih jalan pintas dengan mengimpor LNG ketimbang bersusah-payah dan mengambil risiko dengan berinvestasi mencari cadangan migas baru.

Maka tidak mengherankan bila perusahaan migas global seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie, BP, Inpex, ENI, dan Chevron, yang menemukan cadangan migas dan berproduksi migas. Sementara Pertamina cenderung pasif, menunggu blok-blok migas tua habis masa kontraknya.

Kondisi ini tidak sehat dan tidak efisien bagi keuangan Pertamina, karena biaya investasi untuk meningkatkan produksi di lapangan-lapangan tua jauh lebih besar ketimbang lapangan greenfield, lapangan baru.  Akibatnya, return on asset (ROA) dari investasi sangat tipis dan kadang rugi. Lapangan ONWJ, misalnya, Pertamina perlahan dapat meningkatkan produksi, tapi biaya investasinya pun sangat besar. Tahun 2012 saja, Pertamina mengalokasikan dana hampir US$1 miliar dolar untuk memperbaiki beberapa anjungan yang sudah tua, dan fasilitas produksi lainnya.

Demikian juga blok Siak yang akan segera dikembalikan ke Pemerintah, dibutuhkan biaya lebih besar untuk meningkatkan produksi blok tersebut yang kini berproduksi sekitar 1,800-2000 bph. Pertanyaannya, apakah dana yang dikeluarkan setimpal dengan produksi? Demikian juga blok-blok migas tua lainnya, yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Sekitar 80 persen cadangan blok Mahakam telah dieksploitasi/diproduksi, sehingga jumlah cadangan yang masih tersisa sekitar 20% atau kurang.

Karena itu, operator yang mengelola Blok Mahakam pasca 2017, dituntut untuk meningkatkan investasi untuk menambah cadangan dan mempertahankan produksi dari sumur-sumur dan lapangan-lapangan minyak yang ada. Pertanyaannya, apakah efisien dan produktif bila blok Mahakam dikelola seluruhnya oleh Pertamina? Diperkirakan 2-3 miliar dana harus dikeluarkan setiap tahun untuk mempertahankan produksi di Blok Mahakam.

Saat ini pemerintah memiliki tiga opsi untuk mengembangkan Blok Mahakam, pasca 2017. Pertamina, kontrak operator yang sekarang (Total E&P) diperpanjang, opsi kedua, tidak diperpanjang, dan opsi ketiga, melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie bersama mitranya Inpex) serta mengakomodasi kepentingan perusahaan migas nasional Pertamina. Dari sisi pemerintah, pertimbangan utama adalah produksi Blok Mahakam lebih dioptimalkan lagi dan risiko dapat ditekan ke titik nol.

Pemerintah kemungkinan tak akan mengambil risiko dengan menyerahkan seluruh tanggungjawab pengelolaan blok tua-raksasa tersebut kepada operator baru. Terlalu riskan dan tidak efisien. Maka opsi joint-operating, kolaborasi operator lama dan pemain baru merupakan opsi yang ideal dan efisien.

Dari konteks ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan dari dalam negeri, maka opsi ketiga tersebut tampaknya lebih tepat bagi Indonesia yang kini terus berupaya mengamankan ketahanan energi dalam negeri. Mempertahankan produksi migas di lapangan atau blok-blok yang berproduksi perlu tetap dilakukan Indonesia, dan pada saat yang sama terus meningkatkan investasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. (*)

Kamis, 05 Desember 2013

Rhoma Irama, antara Mimpi Jadi Calon Presiden Indonesia dan Nasionalisasi SDA



Mimpi, stres atau benaran?(karikatur oleh Robbigandamana)
Memasuki tahun politik 2014, ada-ada saja berita yang menggelitik muncul. Reaksi pun bermacam-macam. Ada yang menggeleng-geleng heran, ada yang tertawa sinis, ada yang mengkritik dan ada pula yang serius menanggapi. Salah satu contoh adalah soal pernyataan Rhoma Irama bahwa salah satu cara untuk memakmurkan bangsa adalah “mengambil semua konsesi asing”. Beberapa hari sebelumnya ia bahkan melemparkan wacana untuk menggandeng Jokowi jadi pasangan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum 2014 nanti.

 Tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya sang raja dangdut melontarkan pernyataan untuk membubarkan Mahkamah Konstitusi dan menggabungkan lembaga tersebut dengan Mahkamah Agung (MA). Bagi Rhoma, eksistensi MK hanya memboroskan uang negara. Pernyataan Rhoma pun mendapat reaksi keras dari publik. Mantan ketua MK Mahfud MD, para hakim MK pun mengkritik balik Rhoma dengan mengatakan, raja dangdut itu perlu belajar Undang-Undang dulu. Bahwa sebuah lembaga negara seperti MK, tidak jatuh dari langit begitu saja, atau DPR kelewat kreatif mengarang, eh,  membentuk lembaga seperti MK.

Anggota DPR Ruhut Sitompul, yang juga sering dikritik publik karena sering melontarkan pernyataan kontroversial dan tidak bermutu, ikut nimbrung. Ia menyarankan Rhoma agar mengangkat juru bicara, kalau ia memang serius untuk maju menjadi cawapres.

Pertanyaannya, apa alasan atau latar belakang Rhoma melontarkan berbagai pernyataan kontroversial, yang kadang tidak bermutu itu, ke ruang publik? Lalu kenapa pula media baik cetak maupun elektronik tertarik memuat berita pernyataan bang Rhoma tersebut? Bukankah masih ada tokoh-tokoh lain yang lebih berbobot yang bisa membuat pernyataan yang dapat mendidik publik?

Pertanyaan tersebut tidak untuk mendapat jawaban, hanya sekadar memancing rasa ingin tahu. Tapi jelas Indonesia saat ini ibarat panggung sandiriwara. Tokoh-tokoh dengan lakon masing-masing dan plot masing-masing hasil kreasi sendiri atau tim dibalik panggung masuk dan keluar panggung sesuka hati untuk menarik perhatian publik. Bukan esensi dan pernyataan atau tindakan yang ingin ditampilkan, melainkan sekadar ingin muncul dan terlihat di pandangan mata publik. Berbagai tokoh atau calon tokoh publik berupaya mendapat perhatian di ruang publik.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, adalah salah satu yang ingin mentokohkan diri tadi. Ia memang sudah dikenal dan terkenal di republik dangdut. Ia bahkan berupaya menjegal beberapa penyanyi dangdut hanya karena mereka tampil sedikit terbuka dan terkesan kurang bahan, seperti Inul Darastista. Ia berusaha menjadi ‘polisi moral’, berupaya menentukan pakaian apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan para penyanyi dangdut.

Padahal moral Rhoma Irama sendiri patut di pertanyaan. Publik tahu ia punya beberapa istri dan pernah beberapa kali terlibat nikah siri kemudian dilepas begitu saja. Oh, publik banyak tidak bahwa bang Rhoma pernah menjadi anggota DPR? Tidak jelas apa yang dikerjakannya ketika menjadi anggota DPR. Sulit untuk melihat jejak-jejak hasil karyanya ketika menjadi anggota parlemen. Tidak beda dengan artis-artis lain yang mencoba mengadu nasib menjadi anggota DPR dengan memanfaatkan popularitas. Substansi hasil kerja tidak penting. Hanya sedikit mantan artis yang berhasil menunjukkan eksistensi mereka di parlemen.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, memang seorang figur kontroversial. Saat ramai-ramainya pemilihan gubernur DKI, ia melontarkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mempertanyakan agama Jokowi. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal Jokowi menjadi gubernur DKI. Tapi kebenaran muncul sebagai kebenaran. Yang salah dihukum. Jokowi muncul menjadi pemenang pemilihan gubernur DKI bersama wakilnya Basuki Rachmat (Ahok).

Saat ramai-ramainya para pengamat membahas sumber daya alam, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, Rhoma Irama pun tidak mau ketinggalan kereta. Ia ingin tampil agar terlihat tidak ketinggalan isu. Ia tahu isu nasionalisasi dapat dijual jelang pemilihan umum. Ia pun melontarkan pernyataan.

"Ini juga harus disiasati dengan komponen pertama, yakni migas misalnya, harus kita akuisi. Kita tahu semua alam kita jadi konsesi perusahaan asing. Salah satu jalan makmurkan bangsa ini, kita harus akuisi semua konsesi asing," kata Rhoma Irama seperti yang dikutip Gatra.com.

Yang jelas, Indonesia bukan negara rimba. Indonesia adalah negara modern yang menjadi bagian dari ekonomi global. Indonesia adalah negara hukum, transaksi-transaksi bisnis, kontrak-kontrak business dilakukan berdasarkan hukum. Dunia bisnis, industri dan ekonomi hanya maju bila ada panglima yang menjadi pegangan bersama, yakni hukum. Tanpa itu, ekonomi suatu negara akan menjadi seperti hutan rimba. Siapa kuat dia yang menang. Yang besar akan menerkam yang kecil. Tidak ada rambu-rambu yang mengawasi.

Dan Indonesia, sebagai negara demokratis (emerging democratic country), telah melangkah cukup jauh sejak reformasi, walaupun belum sempurna. Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dunia. Cita-cita itu hanya bisa tercipta bila ada rambu-rambu hukum, rambu-rambu etika dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh anak bangsa.

Kita tidak ingin Indonesia menjadi negara rimba, mencaplok apa saja yang telah menjadi hak orang lain. Isu nasionalisasi, atau mengambil semua konsesi asing di pertambangan, blok-blok migas termasuk blok Mahakam, seperti yang dilontarkan Rhoma Irama, tidak seharusnya dipakai sebagai barang dagangan jelang Pemilihan Umum. Semua ada aturan mainnya, dan semua yang berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia ini harus tunduk pada hukum yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa.  Generasi ini tidak boleh menjadi generasi yang akan dikenang sebagai generasi penghancur bangsa, tapi harus menjadi generasi pencipta landasan kokoh, agar Indonesia bisa terbang lebih tinggi lagi, seperti burung rajawali. (*)

Rabu, 27 November 2013

Pemerintah Indonesia Belum Bersikap, Blok Siak di Persimpangan Jalan



Pompa Angguk (sumber: Infoduri)
Hari ini, 27 November 2013, merupakan hari yang penting bagi Blok Siak yang terletak di Riau, Sumatera. Kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk mengelola blok tersebut berakhir. Namun, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum menentukan apakah memperpanjang atau tidak kontrak CPI mengelola blok minyak tersebut. 

Mengapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkesan tidak berani mengambil keputusan dan membiarkan waktu terus berlalu hingga batas akhir? Apakah hal ini terjadi akibat banyaknya lobi-lobi politik di belakang layar untuk mempengaruhi pemerintah dalam mengambil keputusan? Siapa saja yang bermain di belakang layar? Siapa bakal menang? Apa yang terjadi berikutnya setelah tenggat waktu hari ini lewat? 

Banyak pertanyaan yang mungkin muncul di benak publik terkait nasib Blok Siak tersebut, namun, belum tentu akan mendapatkan jawaban yang pas dan memuaskan. Sebagian besar masyarakat mungkin hanya menduga-duga apa yang terjadi. Di atas permukaan mungkin terlihat hanya riak-riak kecil, tapi di bawah permukaan terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan. Welcome to the jungle!.

Bila kita melihat Blok Siak, sebetulnya blok ini tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional. Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar 320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.

Walaupun produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan dapat dioptimalkan.

CPI sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih bernama PT California Texas Indonesia.  CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat ini belum diputuskan pemerintah.  Selain CPI sebagai exising operator yang tertarik memperpanjang pengelolaan blok Siak, ada beberapa perusahaan lain yang terus melakukan lobby kepada pemerintah agar blok tersebut diberikan ke pihak lain.

Dua perusahaan yang terang-terangan tertarik untuk mengelola Blok Mahakam adalah PT Bumi Siak Pusako, perusahaan milik pemerintah daerah, serta PT Pertamina. 

Belakangan rumor pun bermunculan, para pengusaha menggunakan lobi-lobi politik dan melibatkan petinggi-petinggi pemerintah untuk mendesak pemerintah agar Blok Siak tidak diperpanjang. Ada pelobi yang masuk melalui SKK Migas, ada yang masuk melalui pintu ESDM, ada yang masuk melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Tidak heran, Menteri ESDM Jero Wacik pun tidak berani mengambil keputusan. 

Pemerintah terkesan ragu-ragu dan tidak berani mengambil risiko mengambil keputusan. Industri minyak dan gas merupakan industri yang strategis karena menyumbang 25 persen pendapatan ke negara (APBN). Industri migas juga merupakan salah satu motor penting pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. 

Keputusan kontrak Blok Siak kini berada di tangan Menteri ESDM Jero Wacik. Hingga saat ini Jero Wacik belum memberikan keterangan. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Edy Hermantoro mengatakan untuk sementara CPI tetap mengoperasikan Blok Siak hingga pemerintah membuat keputusan.

Kasus Blok Siak yang kontraknya masih terus digantung hingga hari terakhir kontrak, seharusnya langsung diambilalih Presiden dan membuat keputusan tegas. Pemerintah sudah punya parameter dalam memperpanjang sebuah blok migas, tidak tunduk begitu saja pada tekanan-tekanan berbagai kelompok masyarakat. 

Boleh jadi, pemerintah dibuat galau oleh begitu banyaknya bisikan, tekanan, sementara pemerintah sendiri terkesan takut mengambil risiko. Salah membuat keputusan bisa-bisa menjadi sasaran empuk lawan politik, apalagi menjelang Pemilu 2014. Kasus blok Siak bisa juga menjadi kesempatan emas bagi Kementerian Energi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil sikap tegas, walaupun keputusan tersebut mungkin tidak popular, tapi strategis dan penting bagi negara.

Kemungkinan lain mengapa pemerintah menunda keputusan hingga batas akhir lewat, karena peraturan terkait perpanjangan sebuah blok Migas yang kontraknya berakhir masih belum final. Bisa jadi, pemerintah tidak mau mengambil risiko dengan membuat keputusan. Pemerintah mungkin membutuhkan sebuah payung hukum yang akan menjadi landasan dan pegangan bagi pemerintah dalam membuat keputusan terkait perpanjangan Blok Siak maupun blok-blok migas lainnya yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam, yang kontraknya berakhir tahun 2017. 

Kita berharap penundaan tersebut tidak akan terjadi pada Blok Migas raksasa, Blok Mahakam. Blok Mahakam tergolong blok tua karena sudah 40 tahun berproduksi. Sekitar 80 persen cadangan migas telah berproduksi dan masih ada sisa 20 persen. Sisa cadangan tersebut akan semakin sulit diproduksi karena tekanan sumur-sumur sudah melemah. Material yang terangkat juga sudah bercampur lumpur dan air, sehingga harus memisahkan berbagai elemen tersebut. Apalagi kondisi blok yang berada di daerah rawa-rawa dengan reservoir kecil-kecil dan tersebar, sehingga menyulitkan proses produksi. 

Blok Mahakam tergolong blok yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, sehingga dibutuhkan operator yang memiliki kemampuan, pengalaman, teknologi dan komitmen investasi besar agar blok tersebut terus berproduksi. Untuk konteks Blok Mahakam, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh, opsi apa yang akan diambil pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan segala aspek termasuk aspek optimalisasi produksi, risiko, kontribusi bagi negara, investasi, teknologi dalam memutuskan operator. 

Saat ini pemerintah sedang menggodok peraturan tentang perpanjangan blok migas. Diperkirakan isinya menyangkut parameter yang dipertimbangkan pemerintah, masa transisi, dan sebagainya. Mudah-mudah peraturan tersebut segera terbit, sehingga pemerintah dapat segera membuat keputusan terkait blok migas yang kontraknya segera berakhir, yakni Blok Siak, Blok Mahakam, dan lainnya. Untuk blok Mahakam, waktu yang ideal membuat keputusan adalah tahun 2013 ini, karena tahun 2014 pemerintah sudah sibuk dengan agenda politik, sehingga dikhawatirkan pemerintah tidak berani membuat keputusan. (*)

Selasa, 19 November 2013

Indonesia Dapat Mendongkrak Produksi Minyak dan Gas, Kenapa Tidak?



Saat negara-negara lain mencatat kemajuan signifikan dalam pengembangan industri minyak, Indonesia justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Gas bumi memang sedikit menggembirakan bila melihat tingkat produksi dan cadangan terbukti, namun akan habis juga dalam beberapa puluh tahun kedepan bila tidak ada penambahan cadangan terbukti. Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menambah cadangan minyak dan gas bumi (migas).  

Cadangan minyak Indonesia saat ini tinggal 3,7 miliar, ibarat sebuah sebuah titik hitam di tengah lapangan bola bila dibandingkan dengan cadangan minyak Venezuela yang mencapai 297,57 miliar per akhir 2012, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia.  Tanpa ada penambahan cadangan baru, maka produksi minyak Indonesia akan mencapai titik nadir atau zero, 10 tahun lagi. Produksi minyak pun terus menunjukkan tren penurunan, sekitar 830.000 barel per hari saat ini, di bawah target APBN 840.000 barel per hari. Produksi minyak saat ini hanya separuh dari puncak produksi sebesar 1,6 juta bph tahun 1995. Indonesia darurat minyak!. 

Untuk cadangan gas bumi, data Kementerian ESDM menunjukkan cadangan gas bumi Indonesia mencapai 152,89 triliun standard cubic feet (tscb), tersebar di 11 basin. Dari ttoal cadangan tersebut, 104,71 tscf merupakan cadangant erbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potential. Pemerintah memperkirakan bila tak ada penambahan cadangan gas bumi, maka cadangan yang ada saat ini masih cukup untuk 50 tahun kedepan. Artinya, pada suatu titik, cadangan akan habis bila tidak ada penambahan.

Bila kita melihat keluar, peta industri minyak dan gas bumi kedepan bakal berubah. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Amerika akan menjadi salah satu produsen minyak dan gas dunia. Amerka akan menjadi salah satu produsen minyak terbesar tahun 2015, melewati Arab Saudi dan Russia.  Produksi minyak Paman Sam tersebut melonjak, didorong oleh lonjakan produksi negara bagian Texas dan North Dakota.

Kehebohan produksi minyak di Texas dan North Dakota yang telah melahirkan milioner-milioner minyak baru di Texas dan North Dakota tersebut didukung oleh teknik horizonal drilling dan teknik hydraulic fracturing atau fracking, sebuah metode penggunaan cairan untuk memisahkan gas dari shale atau bebatuan (rock). Ini menunjukkan pemanfaatan teknologi dan eksplorasi yang terus menerus dapat meningkatkan cadangan serta produksi.

Industri minyak dan gas bumi Brasil juga menunjukkan kemajuan pesat. Beberapa lembaga internasional memperkirakan Brasil tidak lama lagi akan menjadi produsen minyak dan gas bumi ke-6 di dunia. Kunci keberhasilan Brasil tidak lain dari keseriusan negara tersebut melakukan eksplorasi migas, termasuk di lepas pantai. Sebagian besar lapangan migas berada di laut dalam (dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter).

Investasi Eksplorasi
Indonesia sebetulnya dapat melakukan apa yang dilakukan negara-negara lain dalam mendongkrak industri minyak dan gas bumi. Kunci utamanya adalah EKSPLORASI. Dan ini bukan kunci rahasia. Semua pelaku industri, pemerintah juga tahu. Namun, kata eksplorasi ini mudah diucap, tapi sulit untuk direalisasikan. Paling tidak, itu yang terlihat saat ini. Investasi untuk eksplorasi migas saat ini masih jauh dari yang diharapkan, akibat iklim investasi yang tidak mendukung.

Birokrasi, ketidakpastian hukum, tumpang tindih peraturan, kondisi social masyarakat yang tidak mendukung, turut menghambat investasi migas. Belum lagi isu-isu nasionalisasi industri migas, yang ditiup sekelompok LSM dan vested interest, yang mengadu-domba dan memprovokasi masyarakat, turut memperunyam industri migas. Padahal integritas kelompok-kelompok LSM tersebut meragukan karena sebagian besar tidak pernah bergelut di industri migas. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk memetakan berbagai masalah yang menghambat laju pertumbuhan industri migas.

Disamping mengatasi isu-isu non-teknis di atas, pemerintah terus mendorong pelaku industri migas untuk menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Beberapa perusahaan minyak besar telah menerapkan Enhanced Oil Recovery (EOR), seperti yang dilakukan oleh CPI di lapangan minyak tua mereka di Minas ataupun di Duri.

Total E&P Indonesie juga telah menerapkan Improved Gas Recovery (IGR) untuk untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di Blok Mahakam. Seperti yang diucapkan oleh salah satu eksekutif Total E&P Indonesie beberapa hari lalu, dari awal 2000, Total sudah menerapkan IGR. Namun, perlu disadari teknologi terus berkembang dan perusahaan migas asal Perancis tersebut menerapkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di lapangan-lapangan tua, Blok Mahakam.

Pada dasarnya, potensi minyak dan gas bumi Indonesia, masih bisa dikembangkan. Masih ada beberapa cekungan (basin) di Indonesia timur yang belum dieksplorasi, yang sebagian besar berada di lepas pantai. Mengesplorasi cekungan tersebut tidak mudah karena membutuhkan dana investasi besar dan teknologi. Risiko investasinya juga besar. Kini teknologi juga terus berkembang, dan bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, untuk mengoptimalkan produksi seperti yang dilakukan Total E&P Indonesie di Blok Mahakam.

Tugas pemerintah adalah mendorong perusahaan-perusahaan migas baik nasional maupun internasional atau oil majors seperti Chevron, ExxonMobil, Total E&P, BP, Inpex untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia. Tugas pemerintah, baik yang sedang berkuasa maupun pemerintahbaru nanti adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menghilangkan berbagai ketidakpastian, termasuk birokrasi perizinan yang rumit, peraturan yang tumpang tindih serta memberikan kepastian perpanjangan blok-blok yang akan segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. 

Penundaan keputusan tentu berdampak pada penundaan rencana investasi. Padahal disatu sisi kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa terhenti bila tidak didukung oleh suplai energi yang cukup, khususnya minyak dan gas bumi. (*)